PERKEMBANGAN FEODALISME
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pengampuh Dr. Suranto
Paper
Oleh:
NUR
MA’RIFA 120210302087
KELAS B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
1.
Konsep
Dasar Munculnya Feodalisme
Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
ketiga memberikan tiga pengertian mendasar feodalisme itu. Feodalisme merupakan: (1) sistem sosial atau politik yang memberikan
kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; (2) sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau
pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; (3) sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai
oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.
Feodalisme dapat ditafsirkan dalam berbagai
pengertian. Orang-orang Marxis mengartikan feodalisme sebagai suatu tingkat
yang lebih maju dari perkembangan masyarakat budak, yaitu suatu sistem politik dan
militer yang merupakan dasar bagi pemenrintahan lokal, keadilan, pembuatan
undang-undang, angkatan perang dan seluruh kekuasaan eksekutif.
Ditinjau
dari asal katanya, feodalisme bersal dari bahasa latin yaitu beneficum (kemudian berubah menjadi feudum atau fief) yang berarti pinjaman yaitu pinjaman sebidang tanah dari tuan
kepada vazalnya. Dalam perkembangannya tidak hanya tuan tanah yang dipinjamkan
tetapi juga kedudukan yang lama kelamaan menjadi turun temurun.
Dapat ditarik kesimpulan
feodalisme
berkaitan dengan susunannya
negara dan susunan kemasyarakatan. Dikatakan berkaitan dengan
susunan negara, karena dalam negara menganut sistem feodalisme mempunyai ciri pemerintahan yang
berbeda dengan negara bukan penganut sistem feodalisme. Cirinya adalah
pemerintahan pusat (raja) tidak memegang sendiri kedaulatan pemerintahannya
secara mutlak. Kedaulatannya pemerintahan terpecah pecah menjadi kedaulatan
daerah yang dipegang oleh kepala kepala daerah.
Faham feodal dikatakan berkaitan dengan susunan
masyarakat karena suatu negara yang menganut sistem feodalisme,
masyarakatnya akan terbagi
menjadi beberapa lapisan yang pada hakekatnya semula berdasarkan sistem
kepemilikan tanah. Dalam kehidupan masyarakat yang menganut pandangan
hidup feodalisme, rakyat berkepercayaan bahwa golongan
ningrat berhak menguasai mereka, memerintah rakyat,
memeras
dan menghina rakyat, hidup
mewah dan sebagainya.
Sejarah feodalisme berkaitan dengan Dark Ages (Jaman
Kegelapan) pada abad ke-5 tengah melanda Eropa. Sejak runtuhnya Kekaisaran
Romawi Barat pada tahun 476 M, hampir seluruh Eropa mengalami kemunduran dan
kemerosotan di banyak bidang, terutama bidang ekonomi.
Kemunduran tersebut juga
memaksa Eropa yang sebelumnya menjadi salah satu pusat perdagangan
terbesar di dunia pada masa itu beralih menjadi masyarakat agraris. Perubahan menjadi
masyarakat agraris tersebut dipilih sebagai jalan tengah untuk tetap survive (bertahan hidup) di tengah
keterpurukan.
Lambat laun pilihan itu tidak hanya berpengaruh terhadap aspek
ekonomi saja, namun secara sosiologis pilihan tersebut juga mempertegas
pelapisan sosial yang telah ada. Pelapisan sosial yang ditandai dengan adanya
kelas-kelas di dalam masyarakat Eropa pada masa itu, sejatinya dipicu oleh
sistem pengaturan tanah yang dinamai feodalisme.
Secara etimologis,
feodalisme berasal dari kata feodus yang
dalam Bahasa Latin berarti “perjanjian”. Secara sepintas, feodalisme dapat dimaknai
sebagai sebuah paham yang lahir dari tata-aturan yang dibuat oleh negara atau
raja yang bertujuan mengatur peminjaman tanah kaum bangsawan.
Bangsawan yang memperoleh pinjaman tanah itu
kemudian menyewakan tanahnya kepada para petani dengan sistem bagi hasil atau sewa tenaga.
Keadaan ini menyebabkan pengaruh bangsawan pada masa itu menjadi
sedemikian besarnya. Bangsawan-bangsawan berupaya tetap memelihara “hubungan
baik” mereka dengan negara atau raja lewat berbagai cara, meski harus
mengorbankan para buruh dan petani penggarap tanah mereka. Feodalisme juga
memicu lahirnya tuan-tuan tanah yang menggarap tanah mereka hanya untuk
peningkatan hasil/produksi semata. Tentu saja hal tersebut dilakukan para tuan tanah untuk
menjaga “hubungan baik” mereka dengan bangsawan yang tanahnya mereka sewa,
tanpa mempersulikan
kesejahteraan buruh dan petani penggarap tanah mereka.
Seorang
raja hidup dalam lingkaran yang dikelilingi oleh para kepala penyewa tanah
tersebut. Kepala-kepala penyewa tanah tersebut diikat oleh suatu perjanjian
yang menyatakan bahwa mereka diwajibkan menjalankan tugas-tugas tertentu
sebagai imbalan atas pinjaman tanah yang diterima dari raja. Tugas-tugas
tersebut antara lain, para vasal harus menyediakan segala keperluan raja,
seperti: uang, tentara, dan pelayanan-pelayanan lainnya. Selain itu seorang
vasal harus berlutut dan menyatakan sumpah setia kepada raja dan dan sebaliknya
raja akan memberikan perlindungan kepada vasal-vasalnya. Demikianlah aturan
pokok dalam sistem feodalisme.
Para
vasal itu kemudian membagi tanahnya dalam fief-fief yang lebih kecil dan dan
meminjamkannya lagi kepada para sub-vasal yang sering disebut juga vasal kedua.
Disini terdapat aturan sebagaimana yang terdapat dalam hubungan antara raja
dengan vasalnya yang pertama.
Selanjutnya, fieef-fief itu dibagi-bagi lagi dalam bentuk yang lebih kecil. Unit
yang yang paling kecil dari fief dinamakan manor
dan pemiliknya bergelar lord. Hubungan
timbal balik dengan petani-petani dalam manor tersebut sama halnya dengan
hubungan antara raja dengan vasalnya.
2.
Perkembangan
Feodalisme Abad Pertengahan Romawi
Dalam
periode abad pertengahan (abad V-XV) keadaan di Eropa sebagian besar berupa
desa-desa dan penduduknya kebnyakan pula hidup di desa-desa. Oleh karena itu
masyarakat Eropa pada abad pertengahan merupakan masyarakat petani dan manor
yang merupakan masyarakat terkecil. Yang dimkasud dengan manor adalah satuan
wilayah kekuasaan dan kepunyaan seorang bangsawan. Dalam hal ini petani
merupakan produsen bagi seluruh kebutuhan masyarakat feodal.
Di
antara para petani tersebut, terdapat tingkatan-tingkatan yaitu petani merdeka,
Villins dan Serf. Villins adalah petani merdeka tetapi tidak boleh meninggalkan
manor karena mempunyai hutang kepada lord.
Sedangkan Serf adalah petani yang dapat diperjual-belikan atau dipindahkan
bersama tanah yang dikerjakan serta bajak dan lembunya. Jika seorang lord menjual tanahnya, maka Serf yang
tinggal pada tanah tersebut ikut terjual. Mereka harus ikut dan memberikan
pelayanan kepada tuannya yang baru. Serf tidak sama dengan budak karena serf
tidak dapat diperjual belikan. Mereka hanya ikut terjual jika tanah yang mereka
kerjakan dijual oleh pemiliknya. Oleh karena itu Kaum Marxis mengatakan serfdom
abad tengah setingkat lebih maju dari perkembangan masyarakat budak.
Pada
zaman Romawi sudah terdapat praktek semacam serfdom ini. Pada waktu itu
terdapat tanah pertanian yang disebut villa yang dikerjakan oleh petani-petani
merdeka. Kemudian untuk meningkatkan hasil pertanian dibuatlah undang-undang
yang isinya melarang petani-petani tersebut meninggalkan tanah pertanian
mereka. Petani-petani tersebut disebut coloni yang keadaannya mirip dengan
serf. Atas dasar inilah para ahli berpendapat bahwa kerajaan Romawi mempunyai
sumbangan terhadap terbentuknya sistem feodalisme.
Di
muka telah dijelaskan bahwa penguasa sebuah manor adalah lord. Dalam prakteknya
lord tidak hanya memiliki sebuah manor. Kadang-kadang ia memiliki tiga atau
empat manor bahkan ada yang sampai puluhan manor. Tugas utama seorang lord
adalah memberikan perlindungan kepada orang-orangnya. Sebagai tempat pertahanan
lord juga memiliki sejumlah tentara. Keberadaan tentara ini merupakan lambang
prestasi seorang lord. Anggaran untuk membiayai tentara ini diperoleh dari
hasil-hasil tanah milik lord sendiri. Mengingat hasil yang diperoleh lord itu
kadang-kadang tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan lord, maka berbagai
macam cara ua lakukan untuk menarik pajak dari para petani. Berbagai macam
pajak tersebut antara lain : pajak kepala, pajak kekayaan, pajak musiman dan
pajak yang dipungut pada waktu seorang petani mewariskan tanah kepada anaknya.
Di samping pajak-pajak tersebut di atas, dalam hal-hal tertentu seorang petani
diwajibkan memberikan bantuan kepada lord misalnya :
a.
Menyediakan uang tebusan apabila lordnya
tertawan dalam peperangan
b.
Menyokong biaya perkawinan
c.
Menyokong biaya untuk upacara atau
perayaan dari putera lord
d.
Kewajiban kerja untuk lord dalam jumlah
hari tertentu
Foedalisme mulai tumbuh pada percampuran kebudayaan Roma dan
Jerman.Tentu saja percampuran kedua kebudayaan ini kemudian menimbulkan sebuah
sistem baru yang disebut foedalisme. Unsur kebudayaan yang membentuk feodalisme
adalah
a. Budaya militer suku-suku bangsa
Jerman, berupa kebiasaan para pemimpin pasukan untuk membagikan rampasan perang
kepada para prajurit sebagai imbalan atas pelayanan mereka. Pola ini merupakan
dasar hubungan feodal (lord-vassal).
b. Sistem kepemilikan tanah Romawi yg
menjadi semakin penting ketika perdagangan mundur akibat perang. Para petani
miskin yang tidak mampu membayar pajak sering mengalihkan tanahnya kepada
bangsawan atau tuan tanah, yang kemudian meminjamkan tanah itu kepada para
petani miskin untuk dikelola. Pada praktiknya para petani yg terikat pada tanah
yang bukan miliknya ini berkedudukan setengah budak. Orang-orang Jerman lambat
laun mengadopsi kebiasaan ini.
Evolusi menuju pemerintahan foedal dapat kita telusuri pada
Kerajaan Franka. Di pusat Kerajaan Franka, awal foedalisme mulai tumbuh menuju
kedewasaan kokoh. Di tengah situasi yang kacau, anarkis, merosotnya keadaan
ekonomi di Eropa akibat runtuhnya perdagangan dan juga runtuhnya Kekaisaran
Romawi Barat, makin banyak orang bebas mencari perlindungan kepada kaum elit
militer pemegang kuasa di pedalaman. Masyarakat pedalaman terdiri dari petani
kecil, prajurit tak bertuan dan pengungsi dari kota yang terbengkalai itu
mengikat diri menjadi penyewa tanah dan prajurit keluarga tuan tanah yang
semakin besar.
Kerajaan Franka yang dibangun oleh dinasti Meroving lambat
laun menghadapi dilema politik. Hal ini karena penyerbuan dari dari suku-suku
barbar. Sehingga mereka tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali
menghadiahkan kedudukan pemerintahan kepada ksatia dan uskup baik dari golongan
sekuler maupun kegerejaan. Hadiah itu berupa tanah perdikan yang dihibahkan
seumur hidup kepada para uskup tersebut dengan persyaratan tetap setia pada
mereka. Pada perkembangnya, para uskup tersebut mengingkari perjanjian untuk
tetap setia kepada Dinasti Meroving. Dari hal ini seyogyanya tanah yang
dihibahkan tersebut bersifat sementara, tetapi ternyata beerubah menjadi hak
kepemilikan tetap dan diwariskan. Tentu saja hal ini berpengaruh pada kurangnya
kewibawaan Dinasti tersebut dan berakibat digantikannya oleh kekuasaan Dinasti
Karoling.
Ketika Dinasti Karoling berkuasa, terjadi perubahan luar
biasa yang digagas oleh Charmelagne sebagai penguasa terkenal pada masa itu. Tradisi
tanah dan kepenguasaan yang semula telah merosot dicoba untuk ditata. Berkat keberhasilan
dalam menghimpun pasukan-pasukan kavaleri yang mulai dirintis oleh penguasa
pendahulunya, berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaannya.Sepeninggal
Charmelagne, tanda-tanda kelahiran foedalisme mulai menunjukkan bentuknya. Hal
ini sekali lagi dipengaruhi oleh serbuan orang-orang barbar dari Skandinavia
yang merupakan jelmaan dari suku Viking yang terkenal kejam dan buas, penguasa
Franka harus membangun pertahanan baru yang kuat yang berupa tembok-tembok
tebal dan puri berbenteng. Pertahan yang berupa benteng yang kokoh itu
mendorong para buruh tani mulai memadati daerah daerah sekitar yang berada
dalam naungan perlindungannya.
3.
Perkembangan
Feodalisme di Indonesia
Struktur feodal di Jawa berbeda sekali dengan struktur feodal di Eropa pada
abad pertengahan (Semma,2008;Burger,1962). Sistem feodal di Jawa dilandasi oleh
kebudayaan Jawa Kuno yang dipengaruhi oleh Agama Hindu dan Islam. Di Jawa
sistem feodalnya bersifat total berdasarkan masyarakat pertanian (Schireke,1960).
Feodalisme membentuk relasi atas-bawah yang dibangun dengan loyalitas.
Feodalisme Jawa yang memiliki nilai kebudayaan yang direproduksi dan diwariskan
secara turun temurun. Feodalisme Jawa dibangun atas kekuasaan penguasa
didasarkan atas jumlah pengikut dan diikat oleh konsep bersatunya kawula dan
gusti, atau bawahan dan atasan.
Raja dianggap sebagai pusat dari segala kekuasaan dan alam semesta, serta
pemilik jagad raya. Paham ini menempatkan raja sebagai pemilik tanah kerajaan
dengan kekuasaan mutlak. Dalam situasi demikian itu, maka kawula hanya mengenal
hak pakai atas tanah dengan sistem hanggadhuh. Terhadap kaum keluarga dan
kerabat kerja serta para pegawai kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam
berupa tanah apanase untuk kaum keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem),
dan lungguh atau bengkok untuk para pegawai kerajaan (Abdi Dalem). Disamping
itu dalam hal-hal khusus, raja menghadiahi tanah kepada sekelompok warga
masyarakat tertentu dengan tugas-tugas tertentu. Dari kejadian ini lahirlah
tanah-tanah perdika mutihan dan sebagainya
Kedudukan pemimpin dalam
masyarakat Jawa identik dengan kaum priyayi dan Bangsawan dan sangat dipandang
tinggi dan mulia. Yang namanya trah bangsawan maupun priyayi memiliki citra
khusus dan istimewa, selain ”berdarah biru” mereka dianggap mumpuni dan waskita
dalam pergaulan masyarakat kebanyakan. Dan ketika orang-orang
berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma moral orang-orang yang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma moral
orang-orang yang berkedudukan tinggi, apalagi mengkritik atau meminta
pertanggung jawaban mereka, maka atasan dengan sendirinya dianggap benar, tidak
pernah salah dan dengan demikian menjadi standar moral yang akan ditiru
oleh bawahannya.
Struktur feodalisme dalam
pandangan masa kini bisa di katakan tidak ada ketidakadilan dan memang itulah
yang ada dalam sistem feodalisme. Yang paling berkuasalah yang mengatur
segalanya dari segi politik, dia yang mempunyai lahan yang luas dan mempunyai
harta kekayaan dialah yang berkuasa(bangsawan), tetapi ada juga yang secara
turun-temurun berkuasa karena atas dasar banyak pengikutnya dan dipercaya
oleh para pengikutnya (Raja). Sedangkan para abdi dalem itu hanya
orang-orang yang setia pada raja atas dasar loyalitas dan sudah melayani dan
berbakti pada raja dengan jangka watu yang tidak lama, serta para keluarga
raja. Dan para petani dan wong cilik hanya sebagai bagian dari stratifikasi
sosial yang sebenarnya sangat berperan penting dalam struktur feodal, seperti
rakyat. Dalam era yang sekarang pun unsur rakyat sangat penting dalam sebuah
negara tanpa adanya rakyat maka tidak bisa disebut negara, begitu pula dengan
struktur feodalisme semakin sedikit rakyat maka kerajaannya pun semakin lemah.
Karena pada masa feodalisme ini sektor pertanian sangatlah penting dan
pertanian tidak akan berjalan tanpa adanya petani yang banyak pula mengingat
semakin besar hasil produksinya maka kerajaan itu akan semakin maju.
a)
Rakyat
Indonesia pada masa komunal primitif menuju perbudakan (1500 SM-300M)
Dari
berbagai penelitian tentang sukubangsa di Indonesia dapat pula diketahui bahwa
terdapat dua ras penting yang merupakan penduduk asli Indonesia yaitu dari ras
Negrito (sekarang ada di Papua) dan Wedda. Mereka hidup dalam sistem komunal
primitif, dimana tidak ada klas sosial sehinggga tidak ada suprastruktur
kekuasaan milik klas yang berkuasa. Kehidupan mereka sangat bergantung pada
alam dengan cara berburu dan meramu. Kedatangan ras ‘Mon Khmer’ dari Yunnan
(Tiongkok Selatan) pada tahun 1500 SM menyebabkan terjadinya perang antara
penduduk asli dan pendatang. Karena kemajuan peradaban dan persenjataan yang
dimiliki ‘Mon Khmer’ maka penduduk asli Indonesia dapat dikalahkan. Penduduk
asli yang kalah lantas dijadikan budak oleh ras pendatang. Peristiwa ini
menandai dimulainya masa kepemilikan budak dalam sejarah Indonesia.
Cirinya
ialah banyak terjadi perang antar kelompok (komunal) dalam satu wilayah untuk
memperebutkan sumber makanan yang kian hari kian terbatas sehingga jumlah budak
yang akibat kalah perang semakin bertambah. Selain itu, penegakan batas-batas
kekuasaan atas tanah (monopoli) oleh tuan budak juga mulai ada. Hal ini juga
menandakan bahwa masa feodal dimana terdapat penguasaan tanah oleh raja mulai
tumbuh.
b)
Rakyat
Indonesia pada masa setengah perbudakan menuju feodalisme (300–1602 M)
Kepemilikan
perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai puncaknya dan
memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan budak di mana-mana.
Hal ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan secara relatif budak
dan memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup (makanan dan
pakaian). Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri dengan membangun
suprastruktur kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai raja atas sebuah
wilayah, mempekerjakan budak-budak yang memiliki kebebasan secara relatif di
atas tanah dan juga membangun kekuatan militer atau prajurit, yang dipimpin
oleh para tukang pukul dan anak-anak tuan budak. Inilah yang menjadi awal mula
munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di Indonesia. Hal ini
menandai lahirnya era setengah perbudakan dan perkembangan feodalisme.
Ini
berarti pula beberapa pikiran dan kajian sejarah selama ini yang selalu melihat
zaman kemunculan kerajaan di Indonesia hanya sebagai era feodalisme adalah
tidak tepat. Memang benar ketika dikatakan bahwa kekuasaan pada waktu itu
mengambil bentuk feodal yaitu kerajaan, akan tetapi hakekat hubungan produksi
dan tenaga-tenaga produktif yang ada jelas lebih tepat bila dikatakan sebagai
setengah perbudakan. Pembuatan candi-candi yang mempekerjakan rakyat tanpa
dibayar, perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari kalangan kaum tani
tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan milik Raja,
raja yang menentukan apakah seseorang itu adalah orang bebas atau tidak,
merupakan beberapa bukti yang menguatkan karakter masyarakat setengah
perbudakan.
Masa
berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari masa setengah
perbudakan untuk bisa hidup dan mempertahankan syarat-syarat penindasannya.
Sehingga kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan sebagai kehancuran dari
suprastruktur setengah perbudakan. Bagaimana dengan Feodalisme? Cikal-bakal
feodalisme telah tumbuh pada masa setengah perbudakan yang semakin menonjol
dengan berdirinya kekuasaan para raja yang sebelumnya adalah tuan budak dan
pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan tanah. Perubahan ini sebagai akibat
perkembangan kekuatan produktif dalam hal ini para budak yang tidak lagi sesuai
dengan hubungan produksi perbudakan yang menindas mereka. Klas-klas sosial
dalam masyarakat setengah perbudakan sengaja disamarkan dalam ajaran agama
Hindu dengan ajarannya tentang Kasta. Ajaran Hindu tentang kasta sosial
tersebut kemudian dilawan oleh Islam yang mulai hadir di Indonesia pada Abad 14
Masehi.
Akan
tetapi Islam tidak melawan perkembangan feodalisme yang mencirikan penguasaan
tanah luas oleh para bangsawan dan tokoh-tokoh agama. Islam hanya melawan sistem
setengah perbudakan yang masih ada dan di sisi yang lain semakin memberikan
kekuatan bagi tumbuh dan berkembangnya feodalisme. Yang perlu dicatat bahwa
pada saat itu feodalisme sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena
kekuasaan ekonomi maupun politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat.
Tidak ada kota yang sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat
kekuasaan yang betul-betul tersentral. Mereka masih terdiri dari tuan
tanah-tuan tanah lokal (raja-raja lokal) yang melakukan monopoli atas tanah dan
segala kekayaan alam lainnya. Konsolidasi dan pematangan feodalisme di
Indonesia dilakukan di kemudian hari oleh kolonialisme.
c)
Rakyat
Indonesia pada masa feodalisme dan kolonialisme (1602 M-1830 M)
Bangsa
asing datang ke Indonesia dalam misi dagang secara langsung dimulai pada awal
abad 17, terutama Belanda dan Portugis. Mereka secara sengaja mencari jalur
perdagangan dan penghasil rempah-rempah yang banyak diperjual belikan di Eropa
untuk kebutuhan menghadapi musim dingin. Pada tahun 1596 Cornelis de Houtman
berlayar dan mendarat di Banten, untuk memulai perdagangan secara langsung
dengan bangsa Indonesia.
Pengusaha-pengusaha
Belanda lantas membuat Kongsi Dagang pada tahun 1602 yang di kenal sebagai VOC
(Verenigde Oost Indische Compagnie). Tujuannya untuk menguasai monopoli
peradagangan melalui pengkonsolidasian kekuasaan politik dan ekonomi lokal.
Sudah barang tentu upaya-upaya tersebut mendapat tantangan yang keras dari
rakyat Indonesia, salah satunya pada tahun 1621, munculnya tragedi van
Bandanaira, meskipun bisa dihancurkan VOC selama 2 minggu.
VOC
dengan dukungan penuh militer Republik Belanda Bersatu menguasai Banten
kemudian memenangkan peperangan melawan Sultan Agung yang heroik pada tahun
1628-1629. Konsolidasi kekuasaan terus dilakukan oleh VOC seiring dengan
pembangunan struktur kekuasaan lokal yang berasal dari bangsawan-bangsawan yang
merupakan tuan tanah lokal. Mereka diharuskan untuk membayar upeti kepada VOC
sama seperti ketika mereka membayar upeti kepada Sultan Agung, atau kepada raja
lainnya di Nusantara.
Tahun
1799, VOC dinyatakan bubar karena mengalami kebangkrutan dan menanggung banyak
beban hutang. Besarnya biaya perang yang harus dikeluarkan dan korupsi yang
merajalela di dalamnya telah mempercepat kebangkrutannya. Akan tetapi mereka telah
berhasil menancapkan kekuasaan di Indonesia dengan mengkonsolidasikan semua
kekuasaan politik dan ekonomi di Batavia. Yang sebelumnya tidak pernah terjadi,
termasuk oleh Majapahit dan Sultan Agung. Dengan demikian memaksa semua kekuasaan
lokal tunduk pada Gubernur Jenderal VOC dan merombak birokrasi kerajaan sesuai
dengan kebutuhan VOC serta memaksa mereka membayar upeti kepada VOC. Dan hal
ini baru berhasil dilakukan VOC kurang lebih dalam waktu 200 tahun.
Kekuasaan
kolonial ini diperkuat cengkeramannya oleh Gubernur Hindia Belanda paska VOC,
terutama oleh Raffles (1811-1816) dan Daendels (1808-1811). Dua orang Gubernur
Jenderal di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis, yang sangat ambisius
melaksanakan program modernisasi atas birokrasi tanah jajahan. Mereka
menerapkan penarikan pajak seperti pada zaman Feodalisme Eropa, terutama pajak
tanah dan hasil bumi. Sistem upeti yang selama ini berlaku di Indonesia diganti
dengan Pajak Tanah (Land Rent) yang dibayar dengan penyerahan wajib (Verlichte
leveraties) hasil panen; demikian pula dengan struktur pemerintahan kolonial
juga dirubah sedemikian rupa hingga menjangkau desa, akan tetapi tetap
menggunakan tenaga-tenaga bangsawan lokal (tuan-tuan tanah) dengan jabatan
asisten Residen, wedana dan asisten wedana, hingga demang. Pada masa tersebut
telah dilakukan pengenalan sistem sewa secara resmi atas tanah.
Penderitaan
rakyat sangat parah dan menyedihkan. Mereka ditindas oleh dua kekuasaan
sekaligus. Di satu sisi harus membayar pajak tanah kepada pemerintahan kolonial
dan di sisi yang lain harus menyerahkan upeti dan penggunaan tenaga secara
cuma-cuma bagi penghidupan para bangsawan lokal. Perang paling akhir dan paling
lama yang mendatangkan kerugian terbesar sepanjang sejarah kekuasaan kolonial
pada masa itu yang dilancarkan oleh Diponegoro (1825-1830), adalah salah satu
jawaban rakyat atas penindasan ini. Perang Jawa atau perang Diponegoro disambut
rakyat dan juga didukung oleh beberapa pimpinan Islam pedesaan.
Rakyat
mendukung perang ini karena penghisapan yang dilakukan oleh penguasa di mana
kerajaan Mataram bekerjasama dengan Penjajah Belanda. Penindasan itu berupa
beban pajak yang terlalu tinggi yang sebenarnya merupakan pajak tidak langsung
dari kerajaan Mataram. Ditambah kebencian rakyat atas rumah-rumah bea-cukai
yang oleh kerajaan disewakan kepada orang-orang Tionghoa, dimana mereka
semaunya menaikkan tarikan bea-cukai. Akibat dari perang ini, telah menyebabkan
kebangkrutan total keuangan negeri Belanda yang saat itu juga baru bebas dari
kekuasaan Perancis. Kebangkrutan ekonomi inilah yang membuat kolonialisme
Belanda menerapkan sistem jajahan yang sangat menindas dan menghisap rakyat
Indonesia waktu itu yaitu Sistem Tanam Paksa (STP) atau cultuur stelsel.
Terkonsolidasikannya
kekuasaan raja-raja lokal yang pada hakekatnya adalah tuan feodal besar oleh
Belanda serta dikontrolnya secara ketat kekuasaan yang ada menunjukkan bahwa
kekuasaan feodal mulai melapuk. Pun dengan diperkenalkannya sistem sewa-tanah
sejak Rafless hingga tetap dipertahankan bahkan dijadikan dasar bagi STP, maka
ini juga menjadi bukti bahwa mode produksi feodalisme sudah tidak lagi dalam
bentuk murninya.
d)
Rakyat
Indonesia di bawah penindasan Kolonial dan Setengah-Feodal (1830 -1949)
Paska
perang Diponegoro, kekuasaan kolonialisme Belanda tidak lagi tertandingi oleh
kekuasaan feodal yang ada dan masih berupaya mempertahankan sekaligus
memperbaharui syarat-syarat penindasannya. Terkecuali di beberapa tempat di
luar Jawa, seperti Bali, Lombok dan Tapanuli peperangan baru benar-benar
berakhir pada awal abad 20. Secara ekonomi dan politik kekuasaan telah
terkonsentrasi di Batavia. Akan tetapi para petinggi kolonial sadar betul bahwa
pengaruh tuan tanah sangat kuat, hal ini bisa dilihat dari pertentangan bahkan
perang yang harus mereka hadapi dan mahal harganya. Maka itu mereka tidak punya
pilihan lain kecuali melibatkan para tuan tanah lokal dalam struktur sekaligus
di bawah kontrol penuh pemerintahan jajahan.
Hal
inilah yang kemudian dipahami dan dilaksanakan dengan sangat baik oleh Van De
Bosch dalam memulai Sistem Tanam Paksa. Yaitu, menggabungkan antara usaha
membangun perkebunan dan pertanian yang menanam tanaman komoditi yang sangat
menguntungkan serta pabrik pengolahannya dengan administrasi yang modern, akan
tetapi dalam mobilisasi tanah dan tenaga kerja adalah tanggung jawab para tuan
tanah-tuan tanah yang memiliki pengaruh yang kuat hingga tingkat desa.
Akan
tetapi yang harus diingat, bahwa Sistem Tanam Paksa tidak merencanakan apalagi
berkehendak untuk membangun industri di Indonesia seperti perkembangan
kapitalis industri yang sedang gencar di Eropa waktu itu. Mereka hanya
membangun perkebunan besar yang diurus secara modern dengan komoditi-komoditi
yang dibawa dari berbagai belahan dunia seperti kopi, teh, gula nila, tembakau,
kayu manis dan kapas yang menjadi primadona dalam perdagangan dunia saat itu.
Mereka hanya menyiapkan komoditi pertanian dan perkebunan untuk diperdagangkan
di pasar dunia dan tidak untuk keperluan domestik.
Demikian
pula, mereka hanya menyiapkan beberapa bahan mentah seperti kapas yang sangat
dibutuhkan untuk keperluan industri tekstil kapitalis yang saat itu sedang
berkembang di negeri Belanda, mengikuti perkembangan industri kapitalis di
Eropa lainnya. Singkatnya, Indonesia hanya menjadi pelayan kerakusan kapitalis
dagang atas hasil-hasil perkebunan. Kemudian berkembang menjadi pelayan
keserakahan akan bahan mentah dan tenaga kerja murah para kapitalis industri di
Belanda dan Eropa pada umumnya, untuk kebutuhan perputaran roda industri imperialis
mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan pendirian NHM (Nederlandsche Handels
Maatschappij) pada tahun 1824, pemegang monopoli hak pengangkutan dan
perdagangan hasil produksi di Jawa ke pasar dunia.
Sistem
Tanam Paksa dapat dilakukan secara efektif bila tidak didukung oleh kekuatan
tuan tanah feodal STP yang dimotori oleh Van de Bosch, adalah sistem ekonomi
jajahan yang sangat menindas apabila diperiksa hubungan produksi dengan tenaga
produktifnya. Dimulai dengan program mobilisasi tanah untuk keperluan
perkebunan dan penanaman komoditas baru yang sangat laku di pasar Eropa. Para
petani harus menyerahkan 1/5 dari tanahnya untuk tanaman wajib, termasuk
tanah-tanah pusaka (tanah waris) harus diserahkan. Mereka diberi konpensasi
dibebaskan dari pajak tanah. Demikian pula berdasarkan peraturan yang resmi
penduduk pedesaan terkena kerja wajib 66 hari setahun dengan mendapat plantloon
(upah tanam).
Akan
tetapi kenyataannya jauh lebih menindas daripada hukumnya sendiri yang
mengesahkan penindasan tersebut. Tanah yang diserahkan oleh petani pada
kenyataannya tidaklah seperlima melainkan duapertiga bahkan terkadang
seluruhnya; bekerja wajib tidak 66 hari melainkan paling minimal tiga bulan dan
tanpa dibayar. Mereka hanya diberi makan dan tempat tinggal diatas perkebunan
yang menyerupai kandang kambing, sehingga banyak yang mati karena menderita
kelaparan dan terjangkit berbagai jenis penyakit. Di Deli, pembangunan
perkebunan Sumatera Timur memerlukan sangat banyak tenaga kerja untuk membuka
hutan, mengolah hingga menanam tanaman tembakau. Semula tenaga kerja
didatangkan dari Tiongkok, akan tetapi pada tahun 1885 mereka mulai
mendatangkan tenaga kerja dari Jawa, karena tenaga yang tidak mencukupi dan
mahal.
Perkebunan
mengeluarkan apa yang disebut Poenale Sanctie, sebuah peraturan yang sangat
menindas para buruh. Yaitu keharusan bagi pekerja untuk tidak meninggalkan
pekerjaan sebelum habis kontrak. Mobilisasi tenaga kerja besar-besaran dengan
cara paksa ini telah melahirkan golongan baru dalam masyarakat Indonesia yaitu
klas buruh. Dari hari ke hari klas buruh bertambah jumlah dan kualitasnya
seiring dengan semakin banyaknya petani kehilangan tanah, kerja paksa dan
rendahnya pendapatan dari hasil pertanian. Demikian pula dengan pembangunan
tranportasi modern seperti kereta api telah melahirkan buruh kereta api.
Berdirinya bengkel mesin telah melahirkan buruh bengkel, bertambahnya
buruh-buruh pelabuhan, buruh angkut dan lain sebagainya. Hal ini sebenarnya
telah berlangsung sejak zaman Daendels dan Raffles. Proletarisasi juga ada
kaitannya dengan penggunaan uang sebagai alat tukar, baik untuk upah maupun
dalam tansaksi jual beli.
Residen,
Wedana, asisten Wedana dan demang adalah ujung tombak pihak perkebunan dan
pabrik gula dalam melakukan pemaksaan tanam dan kerja wajib. Mereka juga yang
melakukan perampasan tanah-tanah rakyat untuk kebutuhan penanaman tebu dan
pendirian pabrik gula. Sebagai birokrat jajahan mereka dibayar sangat mahal
dengan menggunakan uang dan insentif yang jumlahnya mengalahkan gaji seorang
menteri di Kerajaan Belanda.
Sebagai
gambaran, Residen memperoleh 15.000 gulden/tahun dengan tambahan persen 25.000
gulden/tahun. Para Bupati mendapat 15.000 dan Wedana 1500. Sedangkan gaji
menteri di Belanda hanya 15.000 gulden/tahun. Sementara keuntungan yang diperoleh
oleh STP yang langsung menjadi bagian Pemerintah Kerajaan Belanda 725 juta
Gulden pada tahun 1870, merupakan seperlima hingga sepertiga pendapatan negara
Belanda. Inilah sumber keuangan pokok yang digunakan untuk melunasi utang
Kerajaan Belanda, menurunkan pajak di Belanda, subsidi pabrik tenun di Belanda,
pembangunan perkeretaapian negara dan pembuatan bangunan pertahanan serta
pembangunan pelabuhan Amsterdam dan aktifitas pelayaran lainnya.
Di
lain sisi, dalam negeri terjadi kelaparan akibat gagal panen, tingginya pajak
tanah dan harus dibayar dengan uang, rendahnya upah kerja di perkebunan dan
pabrik gula, kerja wajib yang melampaui aturan, pemaksaan penyerahan tanah
diluar seperlima, beban kerja yang terus bertambah selain mengolah tanah
ditambah juga dengan menjadi buruh angkut dan tidak dibayar, dan penyakit
menular membuat banyak sekali petani yang meninggal dunia mencapai 7% dari
buruh tani setiap tahunnya. Penderitaan akibat penindasan dan penghisapan
diluar batas kemanusiaan ini dijawab oleh para petani, buruh tani, kaum
herediensten dengan pemberontakan, pemogokan dari bentuk yang paling damai
hingga bentuk yang paling keras dan berdarah.
Antara
tahun 1810-1870 terjadi 19 kali huru hara akibat kerja paksa dan beban pajak.
Di Jawa huru hara praktis tidak pernah berhenti. Antara tahun 1840 hingga tahun
1875 hanya enam tahun tidak terjadi kerusuhan. Perlawanan kebanyakan dipimpin
oleh elit agama atau bangsawan yang penuh dendam. Perlawanan ditujukan pada
orang kulit putih, yang asing dan kafir dan juga terhadap penguasa pribumi.
Pada tahun bulan Juli 1882, terjadi pemogokan besar-besaran oleh kaum buruh di
tiga kabupaten, Sleman, Bantul, dan Kalasan. Pemogokan melanda 30 buah pabrik
dan perkebunan yang meliputi enam pabrik gula, delapan perkebunan tebu, 14
perkebunan nila dan dua perkebunan tembakau dengan melibatkan 10.000 orang
pemogok yang berlansung selama tiga bulan.
Dalam
pemogokan ini solidaritas antara berbagai sektoral telah terjadi, kaum buruh
yang bekerja di pabrik, kaum herendiensten dan kaum tani pada umumnya. Tuntutan
dan penyebab pemogokan hampir sama dengan tempat-tempat yang lain. Yaitu,
beratnya beban kerja, banyaknya pekerjaan yang tidak dibayar padahal di luar
kerja wajib, upah rendah di pabrik dan upah tanam yang rendah. Pada Bulan
November 1885, pemberontakan serupa terjadi di Kawedanan Pulung, kabupaten
Ponorogo, karesidenan Madiun. Beratnya tanggungan pajak yang harus dipikul
petani dari seharusnya hanya 6,1% dari penghasilan pada kenyataannya ditarik
sebesar 16,1%.
Di
Banten pada tahun 1888, akibat beratnya beban pajak dan kerja rodi meledak
sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini ditujukan pada penguasa Belanda dan
penguasa pribumi yang mendukung Belanda. Dalam huru hara tersebut delapan orang
penguasa Belanda dan sembilan orang penguasa pribumi dibunuh. Sementara rakyat
30 orang mati, 200 lebih ditangkap, 11 diantaranya digantung di muka umum. Dan
kurang lebih 90 orang dikenai kerja paksa bertahun-tahun, dan kurang lebih 90
orang dibuang. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sangat
lokalistik akan tetapi mengangkat isu yang hampir sama yaitu beratnya beban
yang harus ditanggung oleh rakyat dalam STP.
Tidaklah
benar tanam paksa diakhiri karena perdebatan parlemen antara kaum liberal
dengan kalangan konservatif, melainkan karena perlawanan dan pemberontakan
rakyat yang telah meledakkan sekaligus menghancurkan keuntungan yang sedang
dibangun, karena penindasan dan penghisapan diluar batas. Para kaum liberal
tidak pernah peduli akan nasib penduduk jajahan. Hal ini terbukti ketika mereka
mulai masuk ke Indonesia dan menguasai pabrik-pabrik gula, perkebunan dan
pertanian pada umumnya, penindasan tidak berkurang akan tetapi justru semakin
bertambah, karena semakin banyaknya para tuan tanah dan bangsawan pada umumnya
yang direkrut menjadi bagian dari pemerintahan kolonial.
Artinya
bahwa kaum liberal hanya memanfaatkan pemberontakan rakyat yang sedang massif
dan memuncak dengan maksud mendesak kalangan konservatif untuk menyerahkan
usaha di tanah jajahan kepada mereka. Politik Etis yang dikemudian hari dikenal
sebagai politik “balas budi” pada prinsipnya adalah upaya untuk mengukuhkan
kekuasaan politik mereka. Khususnya program pendidikan untuk kalangan priyayi
bertujuan untuk mengefisienkan birokrasi, sementara irigasi pada dasarnya
hanyalah untuk melayani kemajuan industri gula dan perkebunan pada umumnya,
sedangkan transmigrasi jelas hanya untuk mobilisasi tenaga kerja murah dengan
cara membuka lahan baru untuk perkebunan.
Peralihan
usaha-usaha dari STP ke tangan pengusaha swasta, mulai dari perkebunan dan
pabrik gula, serta beberapa perusahaan lainnya termasuk NHM, harus diakui telah
membawa perubahan dan perkembangan baru dalam ekonomi tanah jajahan. Hal ini
terutama dengan masuknya investor-investor dari Eropa baik dari Belanda sendiri
maupun dari Eropa lainnya, karena dukungan kebijakan dari pemerintahan
kolonial. Dukungan yang paling nyata dan kongkrit adalah lahirnya Agrarische
Wet pada tahun 1870. Agrarische wet adalah hukum kolonial yang memberikan
kesempatan kepada pemerintahan kolonial untuk merampas semakin banyak tanah.
Undang-undang
ini pada hakekatnya adalah pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom)
dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum.
Di sisi lain tanah-tanah yang tidak digarap adalah tanah milik negara, dalam
hal ini pemerintahan kolonial. Tanah inilah yang kemudian diberikan kepada para
investor asing, dan juga mereka dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah milik
penduduk sekaligus dapat menjadi buruhnya. Konsesi yang diberikan oleh
pemerintah kolonial kepada para investor tersebut lagi-lagi telah mengakibatkan
rakyat kehilangan tanah secara besar-besaran. Itu berarti semakin banyak yang
terpaksa menjadi buruh tani, buruh industri atau bekerja di
perkebunan-perkebunan besar milik kaum kapitalis tersebut.
Sementara
perkembangan lainnya adalah berdirinya beberapa bank di tanah jajahan yang
dipelopori oleh perubahan status NHM yang dulunya adalah perusahaan monopoli
dagang dan jasa pengangkutan barang dagangan menjadi bank yang mendukung
perluasan pabrik gula dan perkebunan komoditi lainnya. Dukungan kapitalis
finance ini telah mengakibatkan semakin luasnya ranah usaha kaum imperialis di
Indonesia. Mereka mulai merambah pertambangan minyak, batu bara. Perusahaan
pertambangan minyak seperti BPM dan Shell mulai melakukan eksplorasi demikian
juga dengan pertambangan timah di Bangka-Blitung, yang sebenarnya sudah dimulai
sejak VOC. Tentu saja hal ini menambah jumlah buruh modern atau proletariat
modern di Indonesia, yang selama ini tidak ada.
Sistem
Tanam Paksa dan berikutnya ekspansi besar-besaran investor Eropa paska tanam
paksa, telah menyeret rakyat ke jurang penderitaan yang sukar diterima akal
sehat. Mereka dipaksa secara sistemis menjadi buruh-buruh perkebunan-pabrik
gula, menjadi buruh-buruh di pertambangan-pertambangan dengan upah rendah,
demikian pula sebagai buruh kereta api, kurang lebih sama penderitaannya. Kaum
tani kehilangan tanah karena tidak sanggup menanggung beban pajak dan semakin
lama terjerumus dalam lingkaran hutang pada bangsa Tionghoa, keadaan ini tidak
pernah berkurang bahkan bertambah parah pada krisis ekonomi karena persaingan
harga gula internasional tahun 1888. Hal yang sama terulang kembali paska
perang dunia pertama, penderitaan rakyat tiada habis-habisnya.
Situasi
ini kembali dijawab dengan perlawanan yang tiada putus-putusnya oleh kaum
buruh, kaum tani dan beberapa kalangan terpelajar yang mulai terbit
kesadarannya akan nasib rakyat yang tertindas. Organisasi rakyat yang modern
mulai bermunculan di mana-mana. Mereka mulai mengorganisir diri untuk melawan
para imperialis asing maupun kalangan pribumi sendiri yang menjadi antek mereka
dalam mengeruk keuntungan atau nilai lebih. Akan tetapi organisasi rakyat yang
terbentuk tidak selalu melawan kaum imperialisme secara langsung akan tetapi
terkadang mereka hadir hanya untuk menangani beberapa persoalan yang tengah
dihadapi. Dalam perkembangannya, karena kesadaran anggota yang berada di
tengah-tengah perderitaan rakyat yang terus bertambah dari hari ke hari pada
akhirnya organisasi tersebut memilih jalan perjuangan melawan Imperialisme.
e)
Rakyat
Indonesia di bawah Penindasan Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (1949-sekarang)
Revolusi
Burjuis Agustus 1945 adalah puncak dari pergolakan yang membakar kesadaran
massa rakyat sejak awal abad ke-17, dan pergolakan yang paling massif sejak
awal abad 20. Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan langsung atau
menghancurkan pemerintahan jajahan yang ada di Indonesia. Akan tetapi gagal
membebaskan diri sepenuhnya dari cengkeraman Imperialis, karena masih bercokolnya
kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik mereka di Indonesia, terutama melalui
komprador-kompradornya di dalam negeri. Hal ini ditandai dengan disepakatinya
hasil KMB 1949 oleh Hatta-Syahrir.
Demikian
pula Revolusi Agustus 1945 gagal menghancurkan kekuatan feodalisme yang
senantiasa bersekutu dengan kaum imperialis agar bisa mempertahankan
syarat-syarat hidupnya. Akibat dari semua kegagalan ini adalah, tidak adanya
perombakan hubungan produksi dan perkembangan tenaga produktif baru yang
memajukan kesejahteraan hidup rakyat, terutama kaum buruh dan kaum tani.
Hal
di atas disebabkan konsentrasi kepemilikan tanah hanya beralih dari pemerintah
jajahan kepada pemerintah burjuasi komprador, yang pada hakekatnya juga untuk
sepenuhnya melayani kepentingan modal kaum imperialis. Demikian pula penguasaan
perkebunan dan pabrik-pabrik serta pertambangan justru dijamin kepemilikannya
oleh pemerintah burjuasi agar tidak dilikuidasi oleh kaum buruh, buruh tani dan
rakyat pada umumnya. Sehingga tidak terjadi perombakan dalam struktur
kepemilikan dalam perusahaan tersebut.
4.
Pengaruh
Pelaksanaan Feodalisme
a) Pengaruh Feodalisme di Eropa
Unsur-unsur pertama dari feodalisme Eropa muncul di Perancis dan Jerman
pada abad 9 dan 10. Hal ini bertepatan dengan kekuatan militer besar yang
diselenggarakan oleh Normandia. Elemen rezim Romawi dipindahkan ke feodalisme
Eropa. Villa Romawi dan tanah mereka diberikan kepada para pemimpin militer
secara sementara sebagai hadiah karena kesetiaan mereka kepada Roma dan kaisar.
Itu juga tradisional untuk Roma mengelilingi diri dengan prajurit setia yang
memberikan kekuatan perang yang besar dan perlindungan yang ditawarkan. Ide-ide
ini diadopsi di Eropa. Bangsawan Eropa meningkat kekuasaan mereka dari hibah
tanah dari raja sebagai imbalan untuk layanan militer. Feodalisme Eropa lahir. Penyebaran feodalisme Eropa tumbuh pesat. Dari
Prancis feodalisme menyebar ke negara-negara Eropa utama termasuk Jerman,
Spanyol, Italia, Skandinavia, Inggris dan negara-negara Slavia.
Hirarki Feodalisme Eropa terjadi dengan mudah. Sebuah hirarki piramida
berbentuk alami telah dikembangkan dipimpin oleh raja, yang dikelilingi oleh
bangsawan. Dorongan untuk negara-negara besar di Eropa untuk melawan dan
memperoleh tanah baru dan wilayah menyebabkan hierarki feodalisme Eropa dan
keunggulan utamanya adalah bahwa laki-laki yang yang tidak lahir mulia bisa
memanjat piramida feodalisme kekuasaan. Jika seorang pria membuktikan dirinya
dalam pertempuran dan sebagai pendukung setia ia dihargai dengan tanah (disebut
tanah garapan a) Dalam kembali untuk tanah pendukung setia atau bawahan akan
bersumpah suatu Sumpah setia dan memberi hormat kepada tuannya atau Raja.
Efek menyebar dan akhir dari feodalisme Eropa memiliki pengaruh yang
signifikan pada masyarakat. Dari feodalisme Eropa muncul berbagai bentuk
pemerintahan konstitusional. Ide-ide baru menyebabkan resistensi dan
pembangkangan penguasa feodal. Hak-hak mayoritas dan pengembangan lembaga
perwakilan awal muncul. Ini adalah efek kuat selama penurunan feodalisme Eropa.
b) Pengaruh
Feodalisme di Indonesia
Masyarakat kita terutama masyarakat jawa, sangatlah
memiliki prinsip yang lemah, tak hayal, mereka mudah berubah prinsip, karena
hanya mengejar hal hal sesaat, dengan kata lain masyarakat ini lebih menganut
prinsip pragmatis atau mengutamakan hal hal yang mereka butuhkan saat ini. Oleh
karena itu, jika kita melihat, masyarakat kita lemah dalam hal erkompetisi,
mereka lebh senang tergantung dengan orang lain hal itulah yang kemudian mereka
tidak memliki daya saing. Masyarakat jawa memang kita kenal memiliki tutur kata
dan perilaku yang halus, sopan dan sangat menghargai orang lain yang berada di
sekitarnya, akan tetapi sebenarnya hal tersebut hanyalah merupakan topeng dari
perilaku mereka yang sebenarnya, perilaku, perkataan ataupun sikap yang selama
ini mereka tunjukkan kepada orang lain hanyalah untuk menutupi kebusukan dan
keburukan sikap mereka yang sebenarnya. Di samping itu, sikap sikap dan
kepribadian masyarakat jawa yang kita kenal baik, hanyalah menjadi sebuah
formalitas belaka dalam pergaulan keseharian aktivitas masyarakat tersebut.
Misalnya kita dapat mengambil contoh ketika masyarakat muslim sedang merayakan
hari raya Idul Fitri, hari raya idul fitri pada masyarakat kita sangat erat
denga tradisi maaf maafan, atau istilah jawanya berarti sungkem. Dalam kegiatan
ini pada umumnya orang yang lebih muda melakukan sungkem kepada orang yang
lebih tua atau dituakan. Namun, apakah maaf maafan tersebut dilakukan secara
sungguh sungguh yang mengartikan bahwa yang meminta maaf adalah orang orang
yang sadar dengan kesalahan mereka dan begitu sebaliknya, atau sungkem tersebut
hanyalah sebagai pelengkap dari adanya perayaan Idul Fitri. Yang lebih
memprihatinkan pada saat ini, tradisi sungkem tersebut beralih menjadi sebuah
ucapan maaf yang dikirim lewat selembar kartu ucapan atau lewat media lain
seperti telepon, HP, sms, dan media sosial lainnya. dengan mengetahui hal ini
apakah masih dapat kita menganggap bahwa tradisi tersebut memiliki muatan
religious kepada mereka yang melakukan. Tentunya kita tidak dapat mengetahui
motif sebenarnya yang terjadi dari sebuah interaksi tersebut, akan tetapi yang
lebih penting kita harus memberi muatan lebih terhadap tradisi sungkem tersebut
yang terlihat seperti tradisi yang berbau formalitas saja.
Kondisi lain dari masyarakat jawa yang dapat di
soroti yaitu mengenai sistem kekuasaan yang berjalan sampai sekarang ini.
Tradisi feodal masyarakat jawa dahulu yang di bawa sampai sekarang, tidak hanya
berpengaruh pada kondisi agama masyarakat jawa saat ini, akan tetapi juga
berpengaruh pada sistem kekuasaan dan pemerintahan. Tak dapat dipungkiri, jika
sistem pemerintahan kita masih mengadopsi sistem masyarakat feodal dahulu,
yaitu monarki atau kerajaan. Hal ini dapat kita lihat saat ini, mayoritas
penguasa saat ini merupakan pihak pihak yang memiliki kondisi strategis yang
memungkinkan untuk berkuasa. Yang menjadi pejabat atau penguasa tentunya juga
bukan dari golongan orang yang masih muda, akan tetapi, masyarakat Indonesia
masih terbayang bayang oleh pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang yang
memiliki karisma atau wibawa, dan bukan dari kalangan akdemis yang memiliki
kapasitas dan pengalaman lebih daripada sekedar wibawa. Akan tetapi, harapan
masyarakat Indonesia tersebut sesungguhnya menjadi boomerang sendiri bagi
masyarakat kita. Para pemimpin yang dianggap ‘dewasa’ dan mampu menjadi
pemimpin kini hanyalah menjadi seorang yang merugikan bawahannya sendiri,
akibat dari prinsip yang menganggap bahwa seorang pemimpin merupakan seseorang
yang harus dihormati dan kebijakannya merupakan hal yang tidak bisa diganggu
gugat, dalam hal ini berarti kepemimpinan yang dianut pada masyarakat kita
merupakan kepemimpinan otoriter. Akibatnya pun dapat kita rasakan, tidak
sedikit para pejabat pejabat kita yang bertindak melewati batas, seperti
melakukan suap atau korupsi, yang sekarang ini sedang hangat hangatnya
diperbincangkan. Di samping itu, tradisi memberikan upeti pada penguasa juga
masih dilegalkan pada saat ini. Misal, ketika kita ingin dimudahkan menjalani
sebuah proses dministrasi di salah satu lembaga pemerintah kita harus
memberikan uang ‘pelicin’ agar proses tersebut dapat segera terselesaikan. Hal
tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal menjamurnya budaya korupsi di
Indonesia ini. Dan lebih parahnya lagi, hal hal semacam ini telah merasuk pada
sendi sendi masyarakat kita termasuk pada lingkungan akademis kita. Lantas
masih dapatkah kita berkata bahwa budaya korupsi di negeri ini dapat luntur,
jika kebiasaan kebiasaan sepele tersebut belumlah hilang dan bahkan menjadi
sebuah hal yang dilegalkan. Dan perlu kita sadari, jika budaya suap menyuap
telah kita lakukan sejak munculnya masyarakat feodal dan kerajaan di Indonesia.
Dengan menjamurnya budaya budaya suap tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa kita
semakin terjerumus pada masalah yang lebih serius yaitu kapitalisme, yang
semakin lama, semakin memperparah kondisi kehidupan di Indonesia. sehingga
dapat kita simpulkan jika tradisi feodal yang selama ini kita pertahankan,
telah sedikit banyak menimbulkan pengaruh pengaruh negatif pada masyarakat kita
saat ini. Memang tidak salah jika kita melestarikan tradisi dan budaya kita,
tetapi, akan lebih baik jika kita selektif terhadap tradisi tradisi yang kita
anut, karena di khawatirkan tradisi tersebut akan berdampak negative bagi
masyarakat itu sendiri.
c) Pengaruh
Feodalisme di Polandia
Literatur
sejarah, pemahaman feodalisme hanya karakter klasik, membantah adanya
feodalisme di Polandia, dan sporadis karena hukum feodal dalam hubungan
internal negara, hanya di Silesia, Pomerania Barat, Rus dan Mazovia. Feodalisme
terjadi ketika dalamhubungan eksternal, raja Polandia dilaksanakan kedaulatan
sementara atau permanen atas bawahan lahan yang berdekatan (termasuk Prusia,
serta sistem sosial dan ekonomi, meskipun dengan beberapa penundaan
dibandingkan dengan Barat, karena hanya pembentukan negara pada saat Piast
dipercepat lapisan stratifikasi Kmiec masih dibeda-bedakan. Feodalisme di
Polandia dapat dibagi menjadi empat periode:
1) Wczesnofeudalny:
pertengahan abad kedua belas
2) Ekonomi
sewa dari pertengahan Desember sampai pertengahan abad kelima belas
3) Ekonomi
berkenaan dgn tanah milik bangsawan feodal: sejak pertengahan lima belas ke
pertengahan abad ke-kedelapan belas
4) Krisis
ekonomi berkenaan dgn tanah milik bangsawan feodal: sejak pertengahan-XVIII
(Reformasi tanah) ke pertengahan abad kesembilan belas
Fenomena serupa dengan feodalisme
di Eropa terjadi, dan bahkan terjadi juga di bagian lain dunia, karakter mereka
tergantung pada lingkungan di mana mereka terjadi. Cara termudah ini dapat
dilihat dalam masyarakat nomaden, hak untuk penggunaan eksklusif rumput
tertentu diberikan dalam budaya ini, kepala suku, yang membiarkan mereka
mendapatkan keuntungan dari masing-masing individu tergantung lain (tidak hanya
ketergantungan ekonomi, tetapi juga pribadi). Di Timur Jauh, feodalisme
dikembangkan langsung pada pembentukan masyarakat asli, co-ada dengan sistem
perbudakan. Di Cina, hubungan feodal telah dikembangkan berdasarkan
patrymonializmu birokrasi. Di Jepang, organisasi bakufu berevolusi dari Shogun
di atas. Definisi akurat feodalisme masih subjek sengketa antara wakil-wakil
dari berbagai cabang ilmu pengetahuan.
d) Pengaruh
Feodalisme di Jepang
Sejak pemerintahan militer berdiri
di Jepang, yaitu pada masa Kamakura, babak baru sejarah Jepang yang disebut
zaman feodalisme dimulai. Karakteristik terpenting dalam sistem politik pada
zaman itu adalah adanya dikotomi kekuasaan yaitu pemerintahan sipil dan agama
yang berpusat di istana tennou di Kyouto yang yang mempunyai kekuasaan sangat kecil
dan pemerintahan militer, yang saat itu dibentuk oleh Yoritomo di Kamakura.
Sistem politik ini terus dijalankan hampir selama 700 tahun sampai pada masa
kekuasaan Tokugawa.
Dalam kurun waktu 700 tahun, sampai
akhir abad ke 16 ini feodalisme berkembang secara alami di Jepang, dan semakin
berkembang dari satu wilayah ke wilayah lain. Antara tempat satu dan yang lain
hanya ada perbedaan rincian dan perbedaan pemakaian istilah saja. Maka dari
itu, saat itu pemerintah mengambil kebijakan untuk menstaratifikasi masyarakat
secara jelas dan tegas. Selain ditujukan untuk menertibkan dan mnyeragamkan
tatanan sosial, kebijakan ini juga ditujukan sebagai antisipasai terhadap
gekokujo yang sering muncul pada masa lalu. Gekokujo adalah penumbangan
kekuasaan penguasa yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah.
Dalam praktek-praktek feodalisme di
Jepang, terdapat pembagian susunan kelas-kelas yang menandakan adanya tingkat
sosial yang berbentuk piramida. Susunan kelas masyarakat tersebut, yaitu:
a) Kuge
adalah kelas masyarakat yang paling tinggi. Kelas ini terdiri para keturunan
bangsawan. Tennou dan para bangsawan-bangsawan di istana masuk dalam kelas
masyarakat ini.
b) Buke,
terdiri dari para Shogun, Daimyou dan keluarga - keluarganya. Kelas kedua
setelah kuge. Merekalah penentu kebijakan-kebijakan dalam kehidupan sosial,
politik dan ekonomi masyarakat.
c) Samurai,
adalah prajurit yang menjadi pengikut setia para daimyou dan shogun yang
berjumlah sekitar dua juta orang. Selain melakukan pekerjaan militer, para
samurai juga melakukan pekerjaan administrasi dalam pemerintahan shogun dan
daimyo.
d) Petani
(hyakushou), secara teoritis merupakan kelas yang berada langsung di bawah
samurai dan diatas chounin. Kelas ini harus menjamin hidup golongan kuge, buke
dan samurai.
e) Chounin,
kelas yang terdiri dari para pengrajin dan pedagang. Kelas pengrajin dan
pedagang inilah yang menjadi kelas pertengahan dengan kehidupan paling makmur.
f) Eta,
adalah kelas masyarakat yang tidak termasuk dalam kelas-kelas yang telah
ditetapkan. Kelas ini terdiri dari para penjagal, penggali kubur, penyamak
kulit, dan lain -lain.
Alasan populer pemerintah Jepang
menerapkan pembagian kelas masyarakat dari mulai kelas yang paling suci sampai
kelas yang paling bawah, salah satunya adalah antisipasi pemberontakan kelas
bawah. Namun, pemantapan posisi bakufu dan pengkerdilan kekuasaan kaisar juga
mungkin bisa dijadikan alasan. Fakta – fakta menunjukkan bahwa hal tersebut
mungkin terjadi. Tennou dan bangsawan-bangsawan kaisar yang digaji oleh bakufu,
Tennou yang hanya boleh setahun sekali mengunjungi rakyatnya, sampai
pengangkatan pejabat kaisar yang harus dengan persetujuan bakufu adalah bukti
nyata bahwa bakufu berusaha mendominasi mendominasi pada saat itu.
KESIMPULAN
Saya setuju
dengan dilaksanakan sistem feodalisme, karena dengan adanya sistem itu pihak
yang duduk pada kursi pemerintahan bisa langsung melakukan koordinasi dengan
bawahannya. Dengan adanya komunikasi tersebut pemerintahan dapat berjalan
dengan lancar. Misalnya pada sistem sewa tanah yang kemudian dikenal dengan
nama landeljk stelsel bukan saja
diharapkan dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada para petani
dan merangsang juga arus pendapatan negara yang mantap. Kebijakan yang
dikeluarkan oleh Raffles ini diharapkan bisa menguntungkan petani Indonesia.
Perubahan yang dilakukan Raffles bisa dikatakan revolusioner, karena mengandung
perubahan azazi, yaitu dihilangkannya unsur paksaan atas rakyat dan
digantikannya dengan sistem hubungan ekonomi antara pemerintah di satu pihak
dan rakyat di lain pihak berdasarkan kontrak yang diadakan sukarela oleh kedua
belah pihak.
Dalam
melakukan pembayaran pajak, rakyat langsung membayar ke pusat tidak melalui
perantara penguasa daerah karena supaya tidak terjadi korupsi dan pemerasan
terhadap rakyat. Pengaruh dari Revolusi Perancis mengilhami Raffles dalam
mengeluarkan kebijakan sewa tanah. Kebijakan ini diharapkan bisa menambah
pendapatan petani dan pemerintah. Petani diberi kebebasan untuk mengolah
tanahnya sendiri agar bisa menghasilkan pendapatan yang maksimal. Dari
pendapatan ini akan ditarik pajak penghasilan dan dibayar berupa uang. Bisa
dikatakan kebijakan ini merupakan perubahan yang revolusioner karena menyangkut
hal yang asasi yaitu menghapus sistem feodal. Dampak positifnya antara lain:
Memperkenalkan sewa tanah dengan titik berat pada pajak dan ekonomi uang atau
moneter. Menunjukkan pemerintahan yang sentralistis. Menunjukkan gaya yang
memadukan otoriter versus demokrasi. Dihapuskannya kerja rodi dan upeti. Kopi merupakan
sumber pendapatan pemerintah yang terjamin.
DAFTAR
PUSTAKA
Soejono,
R.P. 1984. Sejarah Nasional Indonesia
Jilid 1. Jakarta: Balai Pustaka.
anonim. Feodalisme. [serial online]
Khobidu Ahmad. 2009. Sejarah Perkembangan Masyarakat. [serial online] http://ahmadkhobidu.blogspot.com/2009/06/sejarah-perkembangan-masyarakat_2357.html.
[diakses pada tanggal 22 September 2014]
Hardika. 2012. Jeratan Feodalisme Pada Era Modernisasi di Indonesia. [serial online]
http://hardika.blog.fisip.uns.ac.id/2012/09/15/jeratan-feodalisme-pada-era-modernisasi-di-indonesia/.
[diakses pada tanggal 22 September 2014]
Wulan Danar. 2011. Tentang
Feodalisme di Indonesia. [serial online]
http://danarwulan.blogspot.com/2011/01/tentang-feodalisme-di-indonesia.html. [diakses pada tanggal 21 September 2014]
Saya Widya Okta, saya ingin memberi kesaksian tentang karya bagus Tuhan dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari pinjaman di Asia dan sebagian lain dari kata tersebut, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman yang curang di sini di internet, tapi mereka tetap asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban penipuan pemberi pinjaman 6-kredit, saya kehilangan banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka.
BalasHapusSaya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya yang saya jelaskan situasi saya, kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang andal yaitu SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya sebesar Rp900.000.000 dari SANDRAOVIALOANFIRM dengan tarif rendah 2% dalam 24 jam yang saya gunakan tanpa tekanan atau tekanan. Jika Anda membutuhkan pinjaman Anda dapat menghubungi dia melalui email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
Jika Anda memerlukan bantuan dalam melakukan proses pinjaman, Anda juga bisa menghubungi saya melalui email: (widyaokta750@gmail.com) dan beberapa orang lain yang juga mendapatkan pinjaman mereka Mrs. Jelli Mira, email: (jellimira750@gmail.com). Yang saya lakukan adalah memastikan saya tidak pernah terpenuhi dalam pembayaran cicilan bulanan sesuai kesepakatan dengan perusahaan pinjaman.
Jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus Tuhan melalui SANDRAOVIALOANFIRM, karena dia mengubah hidup saya dan keluarga saya. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinya.
Benar ² informasi yang bagus,mampir kesini gara² anime fantasi yang ngambil latar feodalisme
BalasHapus