Selasa, 28 Oktober 2014

Perkembangan Feodalisme

PERKEMBANGAN FEODALISME

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pengampuh Dr. Suranto


Paper


Oleh:

NUR MA’RIFA        120210302087

KELAS B





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

1.    Konsep Dasar Munculnya Feodalisme
Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga memberikan tiga pengertian mendasar feodalisme itu. Feodalisme merupakan: (1) sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; (2) sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; (3) sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.
Feodalisme dapat ditafsirkan dalam berbagai pengertian. Orang-orang Marxis mengartikan feodalisme sebagai suatu tingkat yang lebih maju dari perkembangan masyarakat budak, yaitu suatu sistem politik dan militer yang merupakan dasar bagi pemenrintahan lokal, keadilan, pembuatan undang-undang, angkatan perang dan seluruh kekuasaan eksekutif. Ditinjau dari asal katanya, feodalisme bersal dari bahasa latin yaitu beneficum (kemudian berubah menjadi feudum atau fief) yang berarti pinjaman yaitu pinjaman sebidang tanah dari tuan kepada vazalnya. Dalam perkembangannya tidak hanya tuan tanah yang dipinjamkan tetapi juga kedudukan yang lama kelamaan menjadi turun temurun.
Dapat ditarik kesimpulan feodalisme berkaitan dengan susunannya negara dan susunan kemasyarakatan. Dikatakan berkaitan dengan susunan negara, karena dalam negara menganut sistem feodalisme mempunyai ciri pemerintahan yang berbeda dengan negara bukan penganut sistem feodalisme. Cirinya adalah pemerintahan pusat (raja) tidak memegang sendiri kedaulatan pemerintahannya secara mutlak. Kedaulatannya pemerintahan terpecah pecah menjadi kedaulatan daerah yang dipegang oleh kepala kepala daerah.
Faham feodal dikatakan berkaitan dengan susunan masyarakat karena suatu negara yang menganut sistem feodalisme, masyarakatnya akan terbagi menjadi beberapa lapisan yang pada hakekatnya semula berdasarkan sistem kepemilikan tanah. Dalam kehidupan masyarakat yang menganut pandangan hidup feodalisme, rakyat berkepercayaan bahwa golongan ningrat berhak menguasai mereka, memerintah rakyat, memeras dan menghina rakyat, hidup mewah dan sebagainya.
Sejarah feodalisme berkaitan dengan Dark Ages (Jaman Kegelapan) pada abad ke-5 tengah melanda Eropa. Sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M, hampir seluruh Eropa mengalami kemunduran dan kemerosotan di banyak bidang, terutama bidang ekonomi. Kemunduran tersebut juga memaksa Eropa yang sebelumnya menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di dunia pada masa itu beralih menjadi masyarakat agraris. Perubahan menjadi masyarakat agraris tersebut dipilih sebagai jalan tengah untuk tetap survive (bertahan hidup) di tengah keterpurukan.
Lambat laun pilihan itu tidak hanya berpengaruh terhadap aspek ekonomi saja, namun secara sosiologis pilihan tersebut juga mempertegas pelapisan sosial yang telah ada. Pelapisan sosial yang ditandai dengan adanya kelas-kelas di dalam masyarakat Eropa pada masa itu, sejatinya dipicu oleh sistem pengaturan tanah yang dinamai feodalisme. Secara etimologis, feodalisme berasal dari kata feodus yang dalam Bahasa Latin berarti “perjanjian”. Secara sepintas, feodalisme dapat dimaknai sebagai sebuah paham yang lahir dari tata-aturan yang dibuat oleh negara atau raja yang bertujuan mengatur peminjaman tanah kaum bangsawan.
Bangsawan yang memperoleh pinjaman tanah itu kemudian menyewakan tanahnya kepada para petani dengan sistem bagi hasil atau sewa tenaga. Keadaan ini menyebabkan pengaruh bangsawan pada masa itu menjadi sedemikian besarnya. Bangsawan-bangsawan berupaya tetap memelihara “hubungan baik” mereka dengan negara atau raja lewat berbagai cara, meski harus mengorbankan para buruh dan petani penggarap tanah mereka. Feodalisme juga memicu lahirnya tuan-tuan tanah yang menggarap tanah mereka hanya untuk peningkatan hasil/produksi semata. Tentu saja hal tersebut dilakukan para tuan tanah untuk menjaga “hubungan baik” mereka dengan bangsawan yang tanahnya mereka sewa, tanpa mempersulikan kesejahteraan buruh dan petani penggarap tanah mereka.
Seorang raja hidup dalam lingkaran yang dikelilingi oleh para kepala penyewa tanah tersebut. Kepala-kepala penyewa tanah tersebut diikat oleh suatu perjanjian yang menyatakan bahwa mereka diwajibkan menjalankan tugas-tugas tertentu sebagai imbalan atas pinjaman tanah yang diterima dari raja. Tugas-tugas tersebut antara lain, para vasal harus menyediakan segala keperluan raja, seperti: uang, tentara, dan pelayanan-pelayanan lainnya. Selain itu seorang vasal harus berlutut dan menyatakan sumpah setia kepada raja dan dan sebaliknya raja akan memberikan perlindungan kepada vasal-vasalnya. Demikianlah aturan pokok dalam sistem feodalisme.
Para vasal itu kemudian membagi tanahnya dalam fief-fief yang lebih kecil dan dan meminjamkannya lagi kepada para sub-vasal yang sering disebut juga vasal kedua. Disini terdapat aturan sebagaimana yang terdapat dalam hubungan antara raja dengan  vasalnya yang pertama. Selanjutnya, fieef-fief itu dibagi-bagi lagi dalam bentuk yang lebih kecil. Unit yang yang paling kecil dari fief dinamakan manor dan pemiliknya bergelar lord. Hubungan timbal balik dengan petani-petani dalam manor tersebut sama halnya dengan hubungan antara raja dengan vasalnya.

2.    Perkembangan Feodalisme Abad Pertengahan Romawi
Dalam periode abad pertengahan (abad V-XV) keadaan di Eropa sebagian besar berupa desa-desa dan penduduknya kebnyakan pula hidup di desa-desa. Oleh karena itu masyarakat Eropa pada abad pertengahan merupakan masyarakat petani dan manor yang merupakan masyarakat terkecil. Yang dimkasud dengan manor adalah satuan wilayah kekuasaan dan kepunyaan seorang bangsawan. Dalam hal ini petani merupakan produsen bagi seluruh kebutuhan masyarakat feodal.
Di antara para petani tersebut, terdapat tingkatan-tingkatan yaitu petani merdeka, Villins dan Serf. Villins adalah petani merdeka tetapi tidak boleh meninggalkan manor karena mempunyai hutang kepada lord. Sedangkan Serf adalah petani yang dapat diperjual-belikan atau dipindahkan bersama tanah yang dikerjakan serta bajak dan lembunya. Jika seorang lord menjual tanahnya, maka Serf yang tinggal pada tanah tersebut ikut terjual. Mereka harus ikut dan memberikan pelayanan kepada tuannya yang baru. Serf tidak sama dengan budak karena serf tidak dapat diperjual belikan. Mereka hanya ikut terjual jika tanah yang mereka kerjakan dijual oleh pemiliknya. Oleh karena itu Kaum Marxis mengatakan serfdom abad tengah setingkat lebih maju dari perkembangan masyarakat budak.
Pada zaman Romawi sudah terdapat praktek semacam serfdom ini. Pada waktu itu terdapat tanah pertanian yang disebut villa yang dikerjakan oleh petani-petani merdeka. Kemudian untuk meningkatkan hasil pertanian dibuatlah undang-undang yang isinya melarang petani-petani tersebut meninggalkan tanah pertanian mereka. Petani-petani tersebut disebut coloni yang keadaannya mirip dengan serf. Atas dasar inilah para ahli berpendapat bahwa kerajaan Romawi mempunyai sumbangan terhadap terbentuknya sistem feodalisme.
Di muka telah dijelaskan bahwa penguasa sebuah manor adalah lord. Dalam prakteknya lord tidak hanya memiliki sebuah manor. Kadang-kadang ia memiliki tiga atau empat manor bahkan ada yang sampai puluhan manor. Tugas utama seorang lord adalah memberikan perlindungan kepada orang-orangnya. Sebagai tempat pertahanan lord juga memiliki sejumlah tentara. Keberadaan tentara ini merupakan lambang prestasi seorang lord. Anggaran untuk membiayai tentara ini diperoleh dari hasil-hasil tanah milik lord sendiri. Mengingat hasil yang diperoleh lord itu kadang-kadang tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan lord, maka berbagai macam cara ua lakukan untuk menarik pajak dari para petani. Berbagai macam pajak tersebut antara lain : pajak kepala, pajak kekayaan, pajak musiman dan pajak yang dipungut pada waktu seorang petani mewariskan tanah kepada anaknya. Di samping pajak-pajak tersebut di atas, dalam hal-hal tertentu seorang petani diwajibkan memberikan bantuan kepada lord misalnya :
a.     Menyediakan uang tebusan apabila lordnya tertawan dalam peperangan
b.    Menyokong biaya perkawinan
c.     Menyokong biaya untuk upacara atau perayaan dari putera lord
d.    Kewajiban kerja untuk lord dalam jumlah hari tertentu
Foedalisme mulai tumbuh pada percampuran kebudayaan Roma dan Jerman.Tentu saja percampuran kedua kebudayaan ini kemudian menimbulkan sebuah sistem baru yang disebut foedalisme. Unsur kebudayaan yang membentuk feodalisme adalah
a.       Budaya militer suku-suku bangsa Jerman, berupa kebiasaan para pemimpin pasukan untuk membagikan rampasan perang kepada para prajurit sebagai imbalan atas pelayanan mereka. Pola ini merupakan dasar hubungan feodal (lord-vassal).
b.      Sistem kepemilikan tanah Romawi yg menjadi semakin penting ketika perdagangan mundur akibat perang. Para petani miskin yang tidak mampu membayar pajak sering mengalihkan tanahnya kepada bangsawan atau tuan tanah, yang kemudian meminjamkan tanah itu kepada para petani miskin untuk dikelola. Pada praktiknya para petani yg terikat pada tanah yang bukan miliknya ini berkedudukan setengah budak. Orang-orang Jerman lambat laun mengadopsi kebiasaan ini.
Evolusi menuju pemerintahan foedal dapat kita telusuri pada Kerajaan Franka. Di pusat Kerajaan Franka, awal foedalisme mulai tumbuh menuju kedewasaan kokoh. Di tengah situasi yang kacau, anarkis, merosotnya keadaan ekonomi di Eropa akibat runtuhnya perdagangan dan juga runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, makin banyak orang bebas mencari perlindungan kepada kaum elit militer pemegang kuasa di pedalaman. Masyarakat pedalaman terdiri dari petani kecil, prajurit tak bertuan dan pengungsi dari kota yang terbengkalai itu mengikat diri menjadi penyewa tanah dan prajurit keluarga tuan tanah yang semakin besar.
Kerajaan Franka yang dibangun oleh dinasti Meroving lambat laun menghadapi dilema politik. Hal ini karena penyerbuan dari dari suku-suku barbar. Sehingga mereka tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali menghadiahkan kedudukan pemerintahan kepada ksatia dan uskup baik dari golongan sekuler maupun kegerejaan. Hadiah itu berupa tanah perdikan yang dihibahkan seumur hidup kepada para uskup tersebut dengan persyaratan tetap setia pada mereka. Pada perkembangnya, para uskup tersebut mengingkari perjanjian untuk tetap setia kepada Dinasti Meroving. Dari hal ini seyogyanya tanah yang dihibahkan tersebut bersifat sementara, tetapi ternyata beerubah menjadi hak kepemilikan tetap dan diwariskan. Tentu saja hal ini berpengaruh pada kurangnya kewibawaan Dinasti tersebut dan berakibat digantikannya oleh kekuasaan Dinasti Karoling.
Ketika Dinasti Karoling berkuasa, terjadi perubahan luar biasa yang digagas oleh Charmelagne sebagai penguasa terkenal pada masa itu. Tradisi tanah dan kepenguasaan yang semula telah merosot dicoba untuk ditata. Berkat keberhasilan dalam menghimpun pasukan-pasukan kavaleri yang mulai dirintis oleh penguasa pendahulunya, berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaannya.Sepeninggal Charmelagne, tanda-tanda kelahiran foedalisme mulai menunjukkan bentuknya. Hal ini sekali lagi dipengaruhi oleh serbuan orang-orang barbar dari Skandinavia yang merupakan jelmaan dari suku Viking yang terkenal kejam dan buas, penguasa Franka harus membangun pertahanan baru yang kuat yang berupa tembok-tembok tebal dan puri berbenteng. Pertahan yang berupa benteng yang kokoh itu mendorong para buruh tani mulai memadati daerah daerah sekitar yang berada dalam naungan perlindungannya.

3.    Perkembangan Feodalisme di Indonesia
Struktur feodal di Jawa berbeda sekali dengan struktur feodal di Eropa pada abad pertengahan (Semma,2008;Burger,1962). Sistem feodal di Jawa dilandasi oleh kebudayaan Jawa Kuno yang dipengaruhi oleh Agama Hindu dan Islam. Di Jawa sistem feodalnya bersifat total berdasarkan masyarakat pertanian (Schireke,1960). Feodalisme membentuk relasi atas-bawah yang dibangun dengan loyalitas. Feodalisme Jawa yang memiliki nilai kebudayaan yang direproduksi dan diwariskan secara turun temurun. Feodalisme Jawa dibangun atas kekuasaan penguasa didasarkan atas jumlah pengikut dan diikat oleh konsep bersatunya kawula dan gusti, atau bawahan dan atasan.
Raja dianggap sebagai pusat dari segala kekuasaan dan alam semesta, serta pemilik jagad raya. Paham ini menempatkan raja sebagai pemilik tanah kerajaan dengan kekuasaan mutlak. Dalam situasi demikian itu, maka kawula hanya mengenal hak pakai atas tanah dengan sistem hanggadhuh. Terhadap kaum keluarga dan kerabat kerja serta para pegawai kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam berupa tanah apanase untuk kaum keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem), dan lungguh atau bengkok untuk para pegawai kerajaan (Abdi Dalem). Disamping itu dalam hal-hal khusus, raja menghadiahi tanah kepada sekelompok warga masyarakat tertentu dengan tugas-tugas tertentu. Dari kejadian ini lahirlah tanah-tanah perdika mutihan dan sebagainya
Kedudukan pemimpin dalam masyarakat Jawa identik dengan kaum priyayi dan Bangsawan dan sangat dipandang tinggi dan mulia. Yang namanya trah bangsawan maupun priyayi memiliki citra khusus dan istimewa, selain ”berdarah biru” mereka dianggap mumpuni dan waskita dalam pergaulan masyarakat kebanyakan. Dan ketika orang-orang  berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma moral orang-orang  yang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma moral orang-orang yang berkedudukan tinggi, apalagi mengkritik atau meminta pertanggung jawaban mereka, maka atasan dengan sendirinya dianggap benar, tidak pernah salah dan dengan demikian menjadi standar moral  yang akan ditiru oleh bawahannya.
Struktur feodalisme dalam pandangan masa kini bisa di katakan tidak ada ketidakadilan dan memang itulah yang ada dalam sistem feodalisme. Yang paling berkuasalah yang mengatur segalanya dari segi politik, dia yang mempunyai lahan yang luas dan mempunyai harta kekayaan dialah yang berkuasa(bangsawan), tetapi ada juga yang secara turun-temurun berkuasa karena atas dasar  banyak pengikutnya dan dipercaya oleh para  pengikutnya (Raja). Sedangkan para abdi dalem itu hanya orang-orang yang setia pada raja atas dasar loyalitas dan sudah melayani dan berbakti pada raja dengan jangka watu yang tidak lama, serta para keluarga raja. Dan para petani dan wong cilik hanya sebagai bagian dari stratifikasi sosial yang sebenarnya sangat berperan penting dalam struktur feodal, seperti rakyat. Dalam era yang sekarang pun unsur rakyat sangat penting dalam sebuah negara tanpa adanya rakyat maka tidak bisa disebut negara, begitu pula dengan struktur feodalisme semakin sedikit rakyat maka kerajaannya pun semakin lemah. Karena pada masa feodalisme ini sektor pertanian sangatlah penting dan pertanian tidak akan berjalan tanpa adanya petani yang banyak pula mengingat semakin besar hasil produksinya maka kerajaan itu akan semakin maju.

a)      Rakyat Indonesia pada masa komunal primitif menuju perbudakan (1500 SM-300M)
Dari berbagai penelitian tentang sukubangsa di Indonesia dapat pula diketahui bahwa terdapat dua ras penting yang merupakan penduduk asli Indonesia yaitu dari ras Negrito (sekarang ada di Papua) dan Wedda. Mereka hidup dalam sistem komunal primitif, dimana tidak ada klas sosial sehinggga tidak ada suprastruktur kekuasaan milik klas yang berkuasa. Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam dengan cara berburu dan meramu. Kedatangan ras ‘Mon Khmer’ dari Yunnan (Tiongkok Selatan) pada tahun 1500 SM menyebabkan terjadinya perang antara penduduk asli dan pendatang. Karena kemajuan peradaban dan persenjataan yang dimiliki ‘Mon Khmer’ maka penduduk asli Indonesia dapat dikalahkan. Penduduk asli yang kalah lantas dijadikan budak oleh ras pendatang. Peristiwa ini menandai dimulainya masa kepemilikan budak dalam sejarah Indonesia.
Cirinya ialah banyak terjadi perang antar kelompok (komunal) dalam satu wilayah untuk memperebutkan sumber makanan yang kian hari kian terbatas sehingga jumlah budak yang akibat kalah perang semakin bertambah. Selain itu, penegakan batas-batas kekuasaan atas tanah (monopoli) oleh tuan budak juga mulai ada. Hal ini juga menandakan bahwa masa feodal dimana terdapat penguasaan tanah oleh raja mulai tumbuh.

b)      Rakyat Indonesia pada masa setengah perbudakan menuju feodalisme (300–1602 M)
Kepemilikan perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai puncaknya dan memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan budak di mana-mana. Hal ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan secara relatif budak dan memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup (makanan dan pakaian). Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri dengan membangun suprastruktur kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai raja atas sebuah wilayah, mempekerjakan budak-budak yang memiliki kebebasan secara relatif di atas tanah dan juga membangun kekuatan militer atau prajurit, yang dipimpin oleh para tukang pukul dan anak-anak tuan budak. Inilah yang menjadi awal mula munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di Indonesia. Hal ini menandai lahirnya era setengah perbudakan dan perkembangan feodalisme.
Ini berarti pula beberapa pikiran dan kajian sejarah selama ini yang selalu melihat zaman kemunculan kerajaan di Indonesia hanya sebagai era feodalisme adalah tidak tepat. Memang benar ketika dikatakan bahwa kekuasaan pada waktu itu mengambil bentuk feodal yaitu kerajaan, akan tetapi hakekat hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif yang ada jelas lebih tepat bila dikatakan sebagai setengah perbudakan. Pembuatan candi-candi yang mempekerjakan rakyat tanpa dibayar, perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari kalangan kaum tani tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan milik Raja, raja yang menentukan apakah seseorang itu adalah orang bebas atau tidak, merupakan beberapa bukti yang menguatkan karakter masyarakat setengah perbudakan.
Masa berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari masa setengah perbudakan untuk bisa hidup dan mempertahankan syarat-syarat penindasannya. Sehingga kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan sebagai kehancuran dari suprastruktur setengah perbudakan. Bagaimana dengan Feodalisme? Cikal-bakal feodalisme telah tumbuh pada masa setengah perbudakan yang semakin menonjol dengan berdirinya kekuasaan para raja yang sebelumnya adalah tuan budak dan pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan tanah. Perubahan ini sebagai akibat perkembangan kekuatan produktif dalam hal ini para budak yang tidak lagi sesuai dengan hubungan produksi perbudakan yang menindas mereka. Klas-klas sosial dalam masyarakat setengah perbudakan sengaja disamarkan dalam ajaran agama Hindu dengan ajarannya tentang Kasta. Ajaran Hindu tentang kasta sosial tersebut kemudian dilawan oleh Islam yang mulai hadir di Indonesia pada Abad 14 Masehi.
Akan tetapi Islam tidak melawan perkembangan feodalisme yang mencirikan penguasaan tanah luas oleh para bangsawan dan tokoh-tokoh agama. Islam hanya melawan sistem setengah perbudakan yang masih ada dan di sisi yang lain semakin memberikan kekuatan bagi tumbuh dan berkembangnya feodalisme. Yang perlu dicatat bahwa pada saat itu feodalisme sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena kekuasaan ekonomi maupun politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat. Tidak ada kota yang sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat kekuasaan yang betul-betul tersentral. Mereka masih terdiri dari tuan tanah-tuan tanah lokal (raja-raja lokal) yang melakukan monopoli atas tanah dan segala kekayaan alam lainnya. Konsolidasi dan pematangan feodalisme di Indonesia dilakukan di kemudian hari oleh kolonialisme.

c)      Rakyat Indonesia pada masa feodalisme dan kolonialisme (1602 M-1830 M)
Bangsa asing datang ke Indonesia dalam misi dagang secara langsung dimulai pada awal abad 17, terutama Belanda dan Portugis. Mereka secara sengaja mencari jalur perdagangan dan penghasil rempah-rempah yang banyak diperjual belikan di Eropa untuk kebutuhan menghadapi musim dingin. Pada tahun 1596 Cornelis de Houtman berlayar dan mendarat di Banten, untuk memulai perdagangan secara langsung dengan bangsa Indonesia.
Pengusaha-pengusaha Belanda lantas membuat Kongsi Dagang pada tahun 1602 yang di kenal sebagai VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Tujuannya untuk menguasai monopoli peradagangan melalui pengkonsolidasian kekuasaan politik dan ekonomi lokal. Sudah barang tentu upaya-upaya tersebut mendapat tantangan yang keras dari rakyat Indonesia, salah satunya pada tahun 1621, munculnya tragedi van Bandanaira, meskipun bisa dihancurkan VOC selama 2 minggu.
VOC dengan dukungan penuh militer Republik Belanda Bersatu menguasai Banten kemudian memenangkan peperangan melawan Sultan Agung yang heroik pada tahun 1628-1629. Konsolidasi kekuasaan terus dilakukan oleh VOC seiring dengan pembangunan struktur kekuasaan lokal yang berasal dari bangsawan-bangsawan yang merupakan tuan tanah lokal. Mereka diharuskan untuk membayar upeti kepada VOC sama seperti ketika mereka membayar upeti kepada Sultan Agung, atau kepada raja lainnya di Nusantara.
Tahun 1799, VOC dinyatakan bubar karena mengalami kebangkrutan dan menanggung banyak beban hutang. Besarnya biaya perang yang harus dikeluarkan dan korupsi yang merajalela di dalamnya telah mempercepat kebangkrutannya. Akan tetapi mereka telah berhasil menancapkan kekuasaan di Indonesia dengan mengkonsolidasikan semua kekuasaan politik dan ekonomi di Batavia. Yang sebelumnya tidak pernah terjadi, termasuk oleh Majapahit dan Sultan Agung. Dengan demikian memaksa semua kekuasaan lokal tunduk pada Gubernur Jenderal VOC dan merombak birokrasi kerajaan sesuai dengan kebutuhan VOC serta memaksa mereka membayar upeti kepada VOC. Dan hal ini baru berhasil dilakukan VOC kurang lebih dalam waktu 200 tahun.
Kekuasaan kolonial ini diperkuat cengkeramannya oleh Gubernur Hindia Belanda paska VOC, terutama oleh Raffles (1811-1816) dan Daendels (1808-1811). Dua orang Gubernur Jenderal di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis, yang sangat ambisius melaksanakan program modernisasi atas birokrasi tanah jajahan. Mereka menerapkan penarikan pajak seperti pada zaman Feodalisme Eropa, terutama pajak tanah dan hasil bumi. Sistem upeti yang selama ini berlaku di Indonesia diganti dengan Pajak Tanah (Land Rent) yang dibayar dengan penyerahan wajib (Verlichte leveraties) hasil panen; demikian pula dengan struktur pemerintahan kolonial juga dirubah sedemikian rupa hingga menjangkau desa, akan tetapi tetap menggunakan tenaga-tenaga bangsawan lokal (tuan-tuan tanah) dengan jabatan asisten Residen, wedana dan asisten wedana, hingga demang. Pada masa tersebut telah dilakukan pengenalan sistem sewa secara resmi atas tanah.
Penderitaan rakyat sangat parah dan menyedihkan. Mereka ditindas oleh dua kekuasaan sekaligus. Di satu sisi harus membayar pajak tanah kepada pemerintahan kolonial dan di sisi yang lain harus menyerahkan upeti dan penggunaan tenaga secara cuma-cuma bagi penghidupan para bangsawan lokal. Perang paling akhir dan paling lama yang mendatangkan kerugian terbesar sepanjang sejarah kekuasaan kolonial pada masa itu yang dilancarkan oleh Diponegoro (1825-1830), adalah salah satu jawaban rakyat atas penindasan ini. Perang Jawa atau perang Diponegoro disambut rakyat dan juga didukung oleh beberapa pimpinan Islam pedesaan.
Rakyat mendukung perang ini karena penghisapan yang dilakukan oleh penguasa di mana kerajaan Mataram bekerjasama dengan Penjajah Belanda. Penindasan itu berupa beban pajak yang terlalu tinggi yang sebenarnya merupakan pajak tidak langsung dari kerajaan Mataram. Ditambah kebencian rakyat atas rumah-rumah bea-cukai yang oleh kerajaan disewakan kepada orang-orang Tionghoa, dimana mereka semaunya menaikkan tarikan bea-cukai. Akibat dari perang ini, telah menyebabkan kebangkrutan total keuangan negeri Belanda yang saat itu juga baru bebas dari kekuasaan Perancis. Kebangkrutan ekonomi inilah yang membuat kolonialisme Belanda menerapkan sistem jajahan yang sangat menindas dan menghisap rakyat Indonesia waktu itu yaitu Sistem Tanam Paksa (STP) atau cultuur stelsel.
Terkonsolidasikannya kekuasaan raja-raja lokal yang pada hakekatnya adalah tuan feodal besar oleh Belanda serta dikontrolnya secara ketat kekuasaan yang ada menunjukkan bahwa kekuasaan feodal mulai melapuk. Pun dengan diperkenalkannya sistem sewa-tanah sejak Rafless hingga tetap dipertahankan bahkan dijadikan dasar bagi STP, maka ini juga menjadi bukti bahwa mode produksi feodalisme sudah tidak lagi dalam bentuk murninya.

d)     Rakyat Indonesia di bawah penindasan Kolonial dan Setengah-Feodal (1830 -1949)
Paska perang Diponegoro, kekuasaan kolonialisme Belanda tidak lagi tertandingi oleh kekuasaan feodal yang ada dan masih berupaya mempertahankan sekaligus memperbaharui syarat-syarat penindasannya. Terkecuali di beberapa tempat di luar Jawa, seperti Bali, Lombok dan Tapanuli peperangan baru benar-benar berakhir pada awal abad 20. Secara ekonomi dan politik kekuasaan telah terkonsentrasi di Batavia. Akan tetapi para petinggi kolonial sadar betul bahwa pengaruh tuan tanah sangat kuat, hal ini bisa dilihat dari pertentangan bahkan perang yang harus mereka hadapi dan mahal harganya. Maka itu mereka tidak punya pilihan lain kecuali melibatkan para tuan tanah lokal dalam struktur sekaligus di bawah kontrol penuh pemerintahan jajahan.
Hal inilah yang kemudian dipahami dan dilaksanakan dengan sangat baik oleh Van De Bosch dalam memulai Sistem Tanam Paksa. Yaitu, menggabungkan antara usaha membangun perkebunan dan pertanian yang menanam tanaman komoditi yang sangat menguntungkan serta pabrik pengolahannya dengan administrasi yang modern, akan tetapi dalam mobilisasi tanah dan tenaga kerja adalah tanggung jawab para tuan tanah-tuan tanah yang memiliki pengaruh yang kuat hingga tingkat desa.
Akan tetapi yang harus diingat, bahwa Sistem Tanam Paksa tidak merencanakan apalagi berkehendak untuk membangun industri di Indonesia seperti perkembangan kapitalis industri yang sedang gencar di Eropa waktu itu. Mereka hanya membangun perkebunan besar yang diurus secara modern dengan komoditi-komoditi yang dibawa dari berbagai belahan dunia seperti kopi, teh, gula nila, tembakau, kayu manis dan kapas yang menjadi primadona dalam perdagangan dunia saat itu. Mereka hanya menyiapkan komoditi pertanian dan perkebunan untuk diperdagangkan di pasar dunia dan tidak untuk keperluan domestik.
Demikian pula, mereka hanya menyiapkan beberapa bahan mentah seperti kapas yang sangat dibutuhkan untuk keperluan industri tekstil kapitalis yang saat itu sedang berkembang di negeri Belanda, mengikuti perkembangan industri kapitalis di Eropa lainnya. Singkatnya, Indonesia hanya menjadi pelayan kerakusan kapitalis dagang atas hasil-hasil perkebunan. Kemudian berkembang menjadi pelayan keserakahan akan bahan mentah dan tenaga kerja murah para kapitalis industri di Belanda dan Eropa pada umumnya, untuk kebutuhan perputaran roda industri imperialis mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan pendirian NHM (Nederlandsche Handels Maatschappij) pada tahun 1824, pemegang monopoli hak pengangkutan dan perdagangan hasil produksi di Jawa ke pasar dunia.
Sistem Tanam Paksa dapat dilakukan secara efektif bila tidak didukung oleh kekuatan tuan tanah feodal STP yang dimotori oleh Van de Bosch, adalah sistem ekonomi jajahan yang sangat menindas apabila diperiksa hubungan produksi dengan tenaga produktifnya. Dimulai dengan program mobilisasi tanah untuk keperluan perkebunan dan penanaman komoditas baru yang sangat laku di pasar Eropa. Para petani harus menyerahkan 1/5 dari tanahnya untuk tanaman wajib, termasuk tanah-tanah pusaka (tanah waris) harus diserahkan. Mereka diberi konpensasi dibebaskan dari pajak tanah. Demikian pula berdasarkan peraturan yang resmi penduduk pedesaan terkena kerja wajib 66 hari setahun dengan mendapat plantloon (upah tanam).
Akan tetapi kenyataannya jauh lebih menindas daripada hukumnya sendiri yang mengesahkan penindasan tersebut. Tanah yang diserahkan oleh petani pada kenyataannya tidaklah seperlima melainkan duapertiga bahkan terkadang seluruhnya; bekerja wajib tidak 66 hari melainkan paling minimal tiga bulan dan tanpa dibayar. Mereka hanya diberi makan dan tempat tinggal diatas perkebunan yang menyerupai kandang kambing, sehingga banyak yang mati karena menderita kelaparan dan terjangkit berbagai jenis penyakit. Di Deli, pembangunan perkebunan Sumatera Timur memerlukan sangat banyak tenaga kerja untuk membuka hutan, mengolah hingga menanam tanaman tembakau. Semula tenaga kerja didatangkan dari Tiongkok, akan tetapi pada tahun 1885 mereka mulai mendatangkan tenaga kerja dari Jawa, karena tenaga yang tidak mencukupi dan mahal.
Perkebunan mengeluarkan apa yang disebut Poenale Sanctie, sebuah peraturan yang sangat menindas para buruh. Yaitu keharusan bagi pekerja untuk tidak meninggalkan pekerjaan sebelum habis kontrak. Mobilisasi tenaga kerja besar-besaran dengan cara paksa ini telah melahirkan golongan baru dalam masyarakat Indonesia yaitu klas buruh. Dari hari ke hari klas buruh bertambah jumlah dan kualitasnya seiring dengan semakin banyaknya petani kehilangan tanah, kerja paksa dan rendahnya pendapatan dari hasil pertanian. Demikian pula dengan pembangunan tranportasi modern seperti kereta api telah melahirkan buruh kereta api. Berdirinya bengkel mesin telah melahirkan buruh bengkel, bertambahnya buruh-buruh pelabuhan, buruh angkut dan lain sebagainya. Hal ini sebenarnya telah berlangsung sejak zaman Daendels dan Raffles. Proletarisasi juga ada kaitannya dengan penggunaan uang sebagai alat tukar, baik untuk upah maupun dalam tansaksi jual beli.
Residen, Wedana, asisten Wedana dan demang adalah ujung tombak pihak perkebunan dan pabrik gula dalam melakukan pemaksaan tanam dan kerja wajib. Mereka juga yang melakukan perampasan tanah-tanah rakyat untuk kebutuhan penanaman tebu dan pendirian pabrik gula. Sebagai birokrat jajahan mereka dibayar sangat mahal dengan menggunakan uang dan insentif yang jumlahnya mengalahkan gaji seorang menteri di Kerajaan Belanda.
Sebagai gambaran, Residen memperoleh 15.000 gulden/tahun dengan tambahan persen 25.000 gulden/tahun. Para Bupati mendapat 15.000 dan Wedana 1500. Sedangkan gaji menteri di Belanda hanya 15.000 gulden/tahun. Sementara keuntungan yang diperoleh oleh STP yang langsung menjadi bagian Pemerintah Kerajaan Belanda 725 juta Gulden pada tahun 1870, merupakan seperlima hingga sepertiga pendapatan negara Belanda. Inilah sumber keuangan pokok yang digunakan untuk melunasi utang Kerajaan Belanda, menurunkan pajak di Belanda, subsidi pabrik tenun di Belanda, pembangunan perkeretaapian negara dan pembuatan bangunan pertahanan serta pembangunan pelabuhan Amsterdam dan aktifitas pelayaran lainnya.
Di lain sisi, dalam negeri terjadi kelaparan akibat gagal panen, tingginya pajak tanah dan harus dibayar dengan uang, rendahnya upah kerja di perkebunan dan pabrik gula, kerja wajib yang melampaui aturan, pemaksaan penyerahan tanah diluar seperlima, beban kerja yang terus bertambah selain mengolah tanah ditambah juga dengan menjadi buruh angkut dan tidak dibayar, dan penyakit menular membuat banyak sekali petani yang meninggal dunia mencapai 7% dari buruh tani setiap tahunnya. Penderitaan akibat penindasan dan penghisapan diluar batas kemanusiaan ini dijawab oleh para petani, buruh tani, kaum herediensten dengan pemberontakan, pemogokan dari bentuk yang paling damai hingga bentuk yang paling keras dan berdarah.
Antara tahun 1810-1870 terjadi 19 kali huru hara akibat kerja paksa dan beban pajak. Di Jawa huru hara praktis tidak pernah berhenti. Antara tahun 1840 hingga tahun 1875 hanya enam tahun tidak terjadi kerusuhan. Perlawanan kebanyakan dipimpin oleh elit agama atau bangsawan yang penuh dendam. Perlawanan ditujukan pada orang kulit putih, yang asing dan kafir dan juga terhadap penguasa pribumi. Pada tahun bulan Juli 1882, terjadi pemogokan besar-besaran oleh kaum buruh di tiga kabupaten, Sleman, Bantul, dan Kalasan. Pemogokan melanda 30 buah pabrik dan perkebunan yang meliputi enam pabrik gula, delapan perkebunan tebu, 14 perkebunan nila dan dua perkebunan tembakau dengan melibatkan 10.000 orang pemogok yang berlansung selama tiga bulan.
Dalam pemogokan ini solidaritas antara berbagai sektoral telah terjadi, kaum buruh yang bekerja di pabrik, kaum herendiensten dan kaum tani pada umumnya. Tuntutan dan penyebab pemogokan hampir sama dengan tempat-tempat yang lain. Yaitu, beratnya beban kerja, banyaknya pekerjaan yang tidak dibayar padahal di luar kerja wajib, upah rendah di pabrik dan upah tanam yang rendah. Pada Bulan November 1885, pemberontakan serupa terjadi di Kawedanan Pulung, kabupaten Ponorogo, karesidenan Madiun. Beratnya tanggungan pajak yang harus dipikul petani dari seharusnya hanya 6,1% dari penghasilan pada kenyataannya ditarik sebesar 16,1%.
Di Banten pada tahun 1888, akibat beratnya beban pajak dan kerja rodi meledak sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini ditujukan pada penguasa Belanda dan penguasa pribumi yang mendukung Belanda. Dalam huru hara tersebut delapan orang penguasa Belanda dan sembilan orang penguasa pribumi dibunuh. Sementara rakyat 30 orang mati, 200 lebih ditangkap, 11 diantaranya digantung di muka umum. Dan kurang lebih 90 orang dikenai kerja paksa bertahun-tahun, dan kurang lebih 90 orang dibuang. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sangat lokalistik akan tetapi mengangkat isu yang hampir sama yaitu beratnya beban yang harus ditanggung oleh rakyat dalam STP.
Tidaklah benar tanam paksa diakhiri karena perdebatan parlemen antara kaum liberal dengan kalangan konservatif, melainkan karena perlawanan dan pemberontakan rakyat yang telah meledakkan sekaligus menghancurkan keuntungan yang sedang dibangun, karena penindasan dan penghisapan diluar batas. Para kaum liberal tidak pernah peduli akan nasib penduduk jajahan. Hal ini terbukti ketika mereka mulai masuk ke Indonesia dan menguasai pabrik-pabrik gula, perkebunan dan pertanian pada umumnya, penindasan tidak berkurang akan tetapi justru semakin bertambah, karena semakin banyaknya para tuan tanah dan bangsawan pada umumnya yang direkrut menjadi bagian dari pemerintahan kolonial.
Artinya bahwa kaum liberal hanya memanfaatkan pemberontakan rakyat yang sedang massif dan memuncak dengan maksud mendesak kalangan konservatif untuk menyerahkan usaha di tanah jajahan kepada mereka. Politik Etis yang dikemudian hari dikenal sebagai politik “balas budi” pada prinsipnya adalah upaya untuk mengukuhkan kekuasaan politik mereka. Khususnya program pendidikan untuk kalangan priyayi bertujuan untuk mengefisienkan birokrasi, sementara irigasi pada dasarnya hanyalah untuk melayani kemajuan industri gula dan perkebunan pada umumnya, sedangkan transmigrasi jelas hanya untuk mobilisasi tenaga kerja murah dengan cara membuka lahan baru untuk perkebunan.
Peralihan usaha-usaha dari STP ke tangan pengusaha swasta, mulai dari perkebunan dan pabrik gula, serta beberapa perusahaan lainnya termasuk NHM, harus diakui telah membawa perubahan dan perkembangan baru dalam ekonomi tanah jajahan. Hal ini terutama dengan masuknya investor-investor dari Eropa baik dari Belanda sendiri maupun dari Eropa lainnya, karena dukungan kebijakan dari pemerintahan kolonial. Dukungan yang paling nyata dan kongkrit adalah lahirnya Agrarische Wet pada tahun 1870. Agrarische wet adalah hukum kolonial yang memberikan kesempatan kepada pemerintahan kolonial untuk merampas semakin banyak tanah.
Undang-undang ini pada hakekatnya adalah pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom) dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum. Di sisi lain tanah-tanah yang tidak digarap adalah tanah milik negara, dalam hal ini pemerintahan kolonial. Tanah inilah yang kemudian diberikan kepada para investor asing, dan juga mereka dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah milik penduduk sekaligus dapat menjadi buruhnya. Konsesi yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada para investor tersebut lagi-lagi telah mengakibatkan rakyat kehilangan tanah secara besar-besaran. Itu berarti semakin banyak yang terpaksa menjadi buruh tani, buruh industri atau bekerja di perkebunan-perkebunan besar milik kaum kapitalis tersebut.
Sementara perkembangan lainnya adalah berdirinya beberapa bank di tanah jajahan yang dipelopori oleh perubahan status NHM yang dulunya adalah perusahaan monopoli dagang dan jasa pengangkutan barang dagangan menjadi bank yang mendukung perluasan pabrik gula dan perkebunan komoditi lainnya. Dukungan kapitalis finance ini telah mengakibatkan semakin luasnya ranah usaha kaum imperialis di Indonesia. Mereka mulai merambah pertambangan minyak, batu bara. Perusahaan pertambangan minyak seperti BPM dan Shell mulai melakukan eksplorasi demikian juga dengan pertambangan timah di Bangka-Blitung, yang sebenarnya sudah dimulai sejak VOC. Tentu saja hal ini menambah jumlah buruh modern atau proletariat modern di Indonesia, yang selama ini tidak ada.
Sistem Tanam Paksa dan berikutnya ekspansi besar-besaran investor Eropa paska tanam paksa, telah menyeret rakyat ke jurang penderitaan yang sukar diterima akal sehat. Mereka dipaksa secara sistemis menjadi buruh-buruh perkebunan-pabrik gula, menjadi buruh-buruh di pertambangan-pertambangan dengan upah rendah, demikian pula sebagai buruh kereta api, kurang lebih sama penderitaannya. Kaum tani kehilangan tanah karena tidak sanggup menanggung beban pajak dan semakin lama terjerumus dalam lingkaran hutang pada bangsa Tionghoa, keadaan ini tidak pernah berkurang bahkan bertambah parah pada krisis ekonomi karena persaingan harga gula internasional tahun 1888. Hal yang sama terulang kembali paska perang dunia pertama, penderitaan rakyat tiada habis-habisnya.
Situasi ini kembali dijawab dengan perlawanan yang tiada putus-putusnya oleh kaum buruh, kaum tani dan beberapa kalangan terpelajar yang mulai terbit kesadarannya akan nasib rakyat yang tertindas. Organisasi rakyat yang modern mulai bermunculan di mana-mana. Mereka mulai mengorganisir diri untuk melawan para imperialis asing maupun kalangan pribumi sendiri yang menjadi antek mereka dalam mengeruk keuntungan atau nilai lebih. Akan tetapi organisasi rakyat yang terbentuk tidak selalu melawan kaum imperialisme secara langsung akan tetapi terkadang mereka hadir hanya untuk menangani beberapa persoalan yang tengah dihadapi. Dalam perkembangannya, karena kesadaran anggota yang berada di tengah-tengah perderitaan rakyat yang terus bertambah dari hari ke hari pada akhirnya organisasi tersebut memilih jalan perjuangan melawan Imperialisme.

e)      Rakyat Indonesia di bawah Penindasan Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (1949-sekarang)
Revolusi Burjuis Agustus 1945 adalah puncak dari pergolakan yang membakar kesadaran massa rakyat sejak awal abad ke-17, dan pergolakan yang paling massif sejak awal abad 20. Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan langsung atau menghancurkan pemerintahan jajahan yang ada di Indonesia. Akan tetapi gagal membebaskan diri sepenuhnya dari cengkeraman Imperialis, karena masih bercokolnya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik mereka di Indonesia, terutama melalui komprador-kompradornya di dalam negeri. Hal ini ditandai dengan disepakatinya hasil KMB 1949 oleh Hatta-Syahrir.
Demikian pula Revolusi Agustus 1945 gagal menghancurkan kekuatan feodalisme yang senantiasa bersekutu dengan kaum imperialis agar bisa mempertahankan syarat-syarat hidupnya. Akibat dari semua kegagalan ini adalah, tidak adanya perombakan hubungan produksi dan perkembangan tenaga produktif baru yang memajukan kesejahteraan hidup rakyat, terutama kaum buruh dan kaum tani.
Hal di atas disebabkan konsentrasi kepemilikan tanah hanya beralih dari pemerintah jajahan kepada pemerintah burjuasi komprador, yang pada hakekatnya juga untuk sepenuhnya melayani kepentingan modal kaum imperialis. Demikian pula penguasaan perkebunan dan pabrik-pabrik serta pertambangan justru dijamin kepemilikannya oleh pemerintah burjuasi agar tidak dilikuidasi oleh kaum buruh, buruh tani dan rakyat pada umumnya. Sehingga tidak terjadi perombakan dalam struktur kepemilikan dalam perusahaan tersebut.

4.    Pengaruh Pelaksanaan Feodalisme
a)    Pengaruh Feodalisme di Eropa
Unsur-unsur pertama dari feodalisme Eropa muncul di Perancis dan Jerman pada abad 9 dan 10. Hal ini bertepatan dengan kekuatan militer besar yang diselenggarakan oleh Normandia. Elemen rezim Romawi dipindahkan ke feodalisme Eropa. Villa Romawi dan tanah mereka diberikan kepada para pemimpin militer secara sementara sebagai hadiah karena kesetiaan mereka kepada Roma dan kaisar. Itu juga tradisional untuk Roma mengelilingi diri dengan prajurit setia yang memberikan kekuatan perang yang besar dan perlindungan yang ditawarkan. Ide-ide ini diadopsi di Eropa. Bangsawan Eropa meningkat kekuasaan mereka dari hibah tanah dari raja sebagai imbalan untuk layanan militer. Feodalisme Eropa lahir. Penyebaran feodalisme Eropa tumbuh pesat. Dari Prancis feodalisme menyebar ke negara-negara Eropa utama termasuk Jerman, Spanyol, Italia, Skandinavia, Inggris dan negara-negara Slavia.
Hirarki Feodalisme Eropa terjadi dengan mudah. Sebuah hirarki piramida berbentuk alami telah dikembangkan dipimpin oleh raja, yang dikelilingi oleh bangsawan. Dorongan untuk negara-negara besar di Eropa untuk melawan dan memperoleh tanah baru dan wilayah menyebabkan hierarki feodalisme Eropa dan keunggulan utamanya adalah bahwa laki-laki yang yang tidak lahir mulia bisa memanjat piramida feodalisme kekuasaan. Jika seorang pria membuktikan dirinya dalam pertempuran dan sebagai pendukung setia ia dihargai dengan tanah (disebut tanah garapan a) Dalam kembali untuk tanah pendukung setia atau bawahan akan bersumpah suatu Sumpah setia dan memberi hormat kepada tuannya atau Raja.
Efek menyebar dan akhir dari feodalisme Eropa memiliki pengaruh yang signifikan pada masyarakat. Dari feodalisme Eropa muncul berbagai bentuk pemerintahan konstitusional. Ide-ide baru menyebabkan resistensi dan pembangkangan penguasa feodal. Hak-hak mayoritas dan pengembangan lembaga perwakilan awal muncul. Ini adalah efek kuat selama penurunan feodalisme Eropa.

b)   Pengaruh Feodalisme di Indonesia
Masyarakat kita terutama masyarakat jawa, sangatlah memiliki prinsip yang lemah, tak hayal, mereka mudah berubah prinsip, karena hanya mengejar hal hal sesaat, dengan kata lain masyarakat ini lebih menganut prinsip pragmatis atau mengutamakan hal hal yang mereka butuhkan saat ini. Oleh karena itu, jika kita melihat, masyarakat kita lemah dalam hal erkompetisi, mereka lebh senang tergantung dengan orang lain hal itulah yang kemudian mereka tidak memliki daya saing. Masyarakat jawa memang kita kenal memiliki tutur kata dan perilaku yang halus, sopan dan sangat menghargai orang lain yang berada di sekitarnya, akan tetapi sebenarnya hal tersebut hanyalah merupakan topeng dari perilaku mereka yang sebenarnya, perilaku, perkataan ataupun sikap yang selama ini mereka tunjukkan kepada orang lain hanyalah untuk menutupi kebusukan dan keburukan sikap mereka yang sebenarnya. Di samping itu, sikap sikap dan kepribadian masyarakat jawa yang kita kenal baik, hanyalah menjadi sebuah formalitas belaka dalam pergaulan keseharian aktivitas masyarakat tersebut. Misalnya kita dapat mengambil contoh ketika masyarakat muslim sedang merayakan hari raya Idul Fitri, hari raya idul fitri pada masyarakat kita sangat erat denga tradisi maaf maafan, atau istilah jawanya berarti sungkem. Dalam kegiatan ini pada umumnya orang yang lebih muda melakukan sungkem kepada orang yang lebih tua atau dituakan. Namun, apakah maaf maafan tersebut dilakukan secara sungguh sungguh yang mengartikan bahwa yang meminta maaf adalah orang orang yang sadar dengan kesalahan mereka dan begitu sebaliknya, atau sungkem tersebut hanyalah sebagai pelengkap dari adanya perayaan Idul Fitri. Yang lebih memprihatinkan pada saat ini, tradisi sungkem tersebut beralih menjadi sebuah ucapan maaf yang dikirim lewat selembar kartu ucapan atau lewat media lain seperti telepon, HP, sms, dan media sosial lainnya. dengan mengetahui hal ini apakah masih dapat kita menganggap bahwa tradisi tersebut memiliki muatan religious kepada mereka yang melakukan. Tentunya kita tidak dapat mengetahui motif sebenarnya yang terjadi dari sebuah interaksi tersebut, akan tetapi yang lebih penting kita harus memberi muatan lebih terhadap tradisi sungkem tersebut yang terlihat seperti tradisi yang berbau formalitas saja.
Kondisi lain dari masyarakat jawa yang dapat di soroti yaitu mengenai sistem kekuasaan yang berjalan sampai sekarang ini. Tradisi feodal masyarakat jawa dahulu yang di bawa sampai sekarang, tidak hanya berpengaruh pada kondisi agama masyarakat jawa saat ini, akan tetapi juga berpengaruh pada sistem kekuasaan dan pemerintahan. Tak dapat dipungkiri, jika sistem pemerintahan kita masih mengadopsi sistem masyarakat feodal dahulu, yaitu monarki atau kerajaan. Hal ini dapat kita lihat saat ini, mayoritas penguasa saat ini merupakan pihak pihak yang memiliki kondisi strategis yang memungkinkan untuk berkuasa. Yang menjadi pejabat atau penguasa tentunya juga bukan dari golongan orang yang masih muda, akan tetapi, masyarakat Indonesia masih terbayang bayang oleh pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang yang memiliki karisma atau wibawa, dan bukan dari kalangan akdemis yang memiliki kapasitas dan pengalaman lebih daripada sekedar wibawa. Akan tetapi, harapan masyarakat Indonesia tersebut sesungguhnya menjadi boomerang sendiri bagi masyarakat kita. Para pemimpin yang dianggap ‘dewasa’ dan mampu menjadi pemimpin kini hanyalah menjadi seorang yang merugikan bawahannya sendiri, akibat dari prinsip yang menganggap bahwa seorang pemimpin merupakan seseorang yang harus dihormati dan kebijakannya merupakan hal yang tidak bisa diganggu gugat, dalam hal ini berarti kepemimpinan yang dianut pada masyarakat kita merupakan kepemimpinan otoriter. Akibatnya pun dapat kita rasakan, tidak sedikit para pejabat pejabat kita yang bertindak melewati batas, seperti melakukan suap atau korupsi, yang sekarang ini sedang hangat hangatnya diperbincangkan. Di samping itu, tradisi memberikan upeti pada penguasa juga masih dilegalkan pada saat ini. Misal, ketika kita ingin dimudahkan menjalani sebuah proses dministrasi di salah satu lembaga pemerintah kita harus memberikan uang ‘pelicin’ agar proses tersebut dapat segera terselesaikan. Hal tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal menjamurnya budaya korupsi di Indonesia ini. Dan lebih parahnya lagi, hal hal semacam ini telah merasuk pada sendi sendi masyarakat kita termasuk pada lingkungan akademis kita. Lantas masih dapatkah kita berkata bahwa budaya korupsi di negeri ini dapat luntur, jika kebiasaan kebiasaan sepele tersebut belumlah hilang dan bahkan menjadi sebuah hal yang dilegalkan. Dan perlu kita sadari, jika budaya suap menyuap telah kita lakukan sejak munculnya masyarakat feodal dan kerajaan di Indonesia. Dengan menjamurnya budaya budaya suap tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa kita semakin terjerumus pada masalah yang lebih serius yaitu kapitalisme, yang semakin lama, semakin memperparah kondisi kehidupan di Indonesia. sehingga dapat kita simpulkan jika tradisi feodal yang selama ini kita pertahankan, telah sedikit banyak menimbulkan pengaruh pengaruh negatif pada masyarakat kita saat ini. Memang tidak salah jika kita melestarikan tradisi dan budaya kita, tetapi, akan lebih baik jika kita selektif terhadap tradisi tradisi yang kita anut, karena di khawatirkan tradisi tersebut akan berdampak negative bagi masyarakat itu sendiri.
c)    Pengaruh Feodalisme di Polandia
Literatur sejarah, pemahaman feodalisme hanya karakter klasik, membantah adanya feodalisme di Polandia, dan sporadis karena hukum feodal dalam hubungan internal negara, hanya di Silesia, Pomerania Barat, Rus dan Mazovia. Feodalisme terjadi ketika dalamhubungan eksternal, raja Polandia dilaksanakan kedaulatan sementara atau permanen atas bawahan lahan yang berdekatan (termasuk Prusia, serta sistem sosial dan ekonomi, meskipun dengan beberapa penundaan dibandingkan dengan Barat, karena hanya pembentukan negara pada saat Piast dipercepat lapisan stratifikasi Kmiec masih dibeda-bedakan. Feodalisme di Polandia dapat dibagi menjadi empat periode:
1)   Wczesnofeudalny: pertengahan abad kedua belas
2)   Ekonomi sewa dari pertengahan Desember sampai pertengahan abad kelima belas
3)   Ekonomi berkenaan dgn tanah milik bangsawan feodal: sejak pertengahan lima belas ke pertengahan abad ke-kedelapan belas
4)   Krisis ekonomi berkenaan dgn tanah milik bangsawan feodal: sejak pertengahan-XVIII (Reformasi tanah) ke pertengahan abad kesembilan belas
Fenomena serupa dengan feodalisme di Eropa terjadi, dan bahkan terjadi juga di bagian lain dunia, karakter mereka tergantung pada lingkungan di mana mereka terjadi. Cara termudah ini dapat dilihat dalam masyarakat nomaden, hak untuk penggunaan eksklusif rumput tertentu diberikan dalam budaya ini, kepala suku, yang membiarkan mereka mendapatkan keuntungan dari masing-masing individu tergantung lain (tidak hanya ketergantungan ekonomi, tetapi juga pribadi). Di Timur Jauh, feodalisme dikembangkan langsung pada pembentukan masyarakat asli, co-ada dengan sistem perbudakan. Di Cina, hubungan feodal telah dikembangkan berdasarkan patrymonializmu birokrasi. Di Jepang, organisasi bakufu berevolusi dari Shogun di atas. Definisi akurat feodalisme masih subjek sengketa antara wakil-wakil dari berbagai cabang ilmu pengetahuan.

d)   Pengaruh Feodalisme di Jepang
Sejak pemerintahan militer berdiri di Jepang, yaitu pada masa Kamakura, babak baru sejarah Jepang yang disebut zaman feodalisme dimulai. Karakteristik terpenting dalam sistem politik pada zaman itu adalah adanya dikotomi kekuasaan yaitu pemerintahan sipil dan agama yang berpusat di istana tennou di Kyouto yang yang mempunyai kekuasaan sangat kecil dan pemerintahan militer, yang saat itu dibentuk oleh Yoritomo di Kamakura. Sistem politik ini terus dijalankan hampir selama 700 tahun sampai pada masa kekuasaan Tokugawa.
Dalam kurun waktu 700 tahun, sampai akhir abad ke 16 ini feodalisme berkembang secara alami di Jepang, dan semakin berkembang dari satu wilayah ke wilayah lain. Antara tempat satu dan yang lain hanya ada perbedaan rincian dan perbedaan pemakaian istilah saja. Maka dari itu, saat itu pemerintah mengambil kebijakan untuk menstaratifikasi masyarakat secara jelas dan tegas. Selain ditujukan untuk menertibkan dan mnyeragamkan tatanan sosial, kebijakan ini juga ditujukan sebagai antisipasai terhadap gekokujo yang sering muncul pada masa lalu. Gekokujo adalah penumbangan kekuasaan penguasa yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah.
Dalam praktek-praktek feodalisme di Jepang, terdapat pembagian susunan kelas-kelas yang menandakan adanya tingkat sosial yang berbentuk piramida. Susunan kelas masyarakat tersebut, yaitu:
a)    Kuge adalah kelas masyarakat yang paling tinggi. Kelas ini terdiri para keturunan bangsawan. Tennou dan para bangsawan-bangsawan di istana masuk dalam kelas masyarakat ini.
b)   Buke, terdiri dari para Shogun, Daimyou dan keluarga - keluarganya. Kelas kedua setelah kuge. Merekalah penentu kebijakan-kebijakan dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat.
c)    Samurai, adalah prajurit yang menjadi pengikut setia para daimyou dan shogun yang berjumlah sekitar dua juta orang. Selain melakukan pekerjaan militer, para samurai juga melakukan pekerjaan administrasi dalam pemerintahan shogun dan daimyo.
d)   Petani (hyakushou), secara teoritis merupakan kelas yang berada langsung di bawah samurai dan diatas chounin. Kelas ini harus menjamin hidup golongan kuge, buke dan samurai.
e)    Chounin, kelas yang terdiri dari para pengrajin dan pedagang. Kelas pengrajin dan pedagang inilah yang menjadi kelas pertengahan dengan kehidupan paling makmur.
f)    Eta, adalah kelas masyarakat yang tidak termasuk dalam kelas-kelas yang telah ditetapkan. Kelas ini terdiri dari para penjagal, penggali kubur, penyamak kulit, dan lain -lain.
Alasan populer pemerintah Jepang menerapkan pembagian kelas masyarakat dari mulai kelas yang paling suci sampai kelas yang paling bawah, salah satunya adalah antisipasi pemberontakan kelas bawah. Namun, pemantapan posisi bakufu dan pengkerdilan kekuasaan kaisar juga mungkin bisa dijadikan alasan. Fakta – fakta menunjukkan bahwa hal tersebut mungkin terjadi. Tennou dan bangsawan-bangsawan kaisar yang digaji oleh bakufu, Tennou yang hanya boleh setahun sekali mengunjungi rakyatnya, sampai pengangkatan pejabat kaisar yang harus dengan persetujuan bakufu adalah bukti nyata bahwa bakufu berusaha mendominasi mendominasi pada saat itu.

KESIMPULAN

Saya setuju dengan dilaksanakan sistem feodalisme, karena dengan adanya sistem itu pihak yang duduk pada kursi pemerintahan bisa langsung melakukan koordinasi dengan bawahannya. Dengan adanya komunikasi tersebut pemerintahan dapat berjalan dengan lancar. Misalnya pada sistem sewa tanah yang kemudian dikenal dengan nama landeljk stelsel bukan saja diharapkan dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada para petani dan merangsang juga arus pendapatan negara yang mantap. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Raffles ini diharapkan bisa menguntungkan petani Indonesia. Perubahan yang dilakukan Raffles bisa dikatakan revolusioner, karena mengandung perubahan azazi, yaitu dihilangkannya unsur paksaan atas rakyat dan digantikannya dengan sistem hubungan ekonomi antara pemerintah di satu pihak dan rakyat di lain pihak berdasarkan kontrak yang diadakan sukarela oleh kedua belah pihak.
Dalam melakukan pembayaran pajak, rakyat langsung membayar ke pusat tidak melalui perantara penguasa daerah karena supaya tidak terjadi korupsi dan pemerasan terhadap rakyat. Pengaruh dari Revolusi Perancis mengilhami Raffles dalam mengeluarkan kebijakan sewa tanah. Kebijakan ini diharapkan bisa menambah pendapatan petani dan pemerintah. Petani diberi kebebasan untuk mengolah tanahnya sendiri agar bisa menghasilkan pendapatan yang maksimal. Dari pendapatan ini akan ditarik pajak penghasilan dan dibayar berupa uang. Bisa dikatakan kebijakan ini merupakan perubahan yang revolusioner karena menyangkut hal yang asasi yaitu menghapus sistem feodal. Dampak positifnya antara lain: Memperkenalkan sewa tanah dengan titik berat pada pajak dan ekonomi uang atau moneter. Menunjukkan pemerintahan yang sentralistis. Menunjukkan gaya yang memadukan otoriter versus demokrasi. Dihapuskannya kerja rodi dan upeti. Kopi merupakan sumber pendapatan pemerintah yang terjamin.


DAFTAR PUSTAKA

Soejono, R.P. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1. Jakarta: Balai Pustaka.
anonim. Feodalisme. [serial online]
http://id.wikipedia.org/wiki/Feodalisme. [diakses pada tanggal 21    September 2014]
Khobidu Ahmad. 2009. Sejarah Perkembangan Masyarakat. [serial online]             http://ahmadkhobidu.blogspot.com/2009/06/sejarah-perkembangan-masyarakat_2357.html. [diakses pada tanggal 22 September 2014]
Hardika. 2012. Jeratan Feodalisme Pada Era Modernisasi di Indonesia. [serial online]
Wulan Danar. 2011. Tentang Feodalisme di Indonesia. [serial online]

2 komentar:

  1. Saya Widya Okta, saya ingin memberi kesaksian tentang karya bagus Tuhan dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari pinjaman di Asia dan sebagian lain dari kata tersebut, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman yang curang di sini di internet, tapi mereka tetap asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban penipuan pemberi pinjaman 6-kredit, saya kehilangan banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka.

    Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya yang saya jelaskan situasi saya, kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang andal yaitu SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya sebesar Rp900.000.000 dari SANDRAOVIALOANFIRM dengan tarif rendah 2% dalam 24 jam yang saya gunakan tanpa tekanan atau tekanan. Jika Anda membutuhkan pinjaman Anda dapat menghubungi dia melalui email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)

    Jika Anda memerlukan bantuan dalam melakukan proses pinjaman, Anda juga bisa menghubungi saya melalui email: (widyaokta750@gmail.com) dan beberapa orang lain yang juga mendapatkan pinjaman mereka Mrs. Jelli Mira, email: (jellimira750@gmail.com). Yang saya lakukan adalah memastikan saya tidak pernah terpenuhi dalam pembayaran cicilan bulanan sesuai kesepakatan dengan perusahaan pinjaman.

    Jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus Tuhan melalui SANDRAOVIALOANFIRM, karena dia mengubah hidup saya dan keluarga saya. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinya.

    BalasHapus
  2. Benar ² informasi yang bagus,mampir kesini gara² anime fantasi yang ngambil latar feodalisme

    BalasHapus