PERKEMBANGAN LIBERALISME
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pengampuh Dr. Suranto
M. Pd
Paper
Oleh:
NUR
MA’RIFA 120210302087
KELAS
B
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
1.
Konsep Dasar
Liberalisme
Liberalisme
adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan
pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Liberalisme
tumbuh dari konteks masyarakat Eropa pada abad pertengahan. Ketika itu
masyarakat ditandai dengan dua karakteristik, yaitu anggota
masyarakat terikat satu sama lain dalam suatu sistem dominasi kompleks dan kukuh,
dan pola hubungan dalam sistem ini
bersifat statis dan sukar berubah.
Pemikiran liberal (liberalisme) berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Liberal secara harfiah berarti bebas dari batasan (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Pemikiran liberal (liberalisme) berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Liberal secara harfiah berarti bebas dari batasan (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Secara umum liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang
bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme
menolak adanya pembatasan, khususnya
dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan
yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, suatu sistem pemerintahan
yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu.
Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya
kapitalisme.
Dalam
masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan
mayoritas. Bandingkan Oxford Manifesto dari Liberal International:
"Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang
sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan
didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang
diketahui benar (enlightened) dari
kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan
rahasia, dengan menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas.
Masyarakat
yang terbaik (rezim terbaik), menurut paham liberalisme adalah yang
memungkinkan individu mengembangkan kemampuan-kemampuan individu sepenuhnya.
Dalam masyarakat yang baik semua individu harus dapat mengembangkan pikiran dan
bakat-bakatnya. Hal ini mengharuskan para individu untuk bertanggung jawab atas
tindakannya, dan tidak menyuruh seseorang melakukan sesuatu untuknya atau
seseorang untuk mengatakan apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, kebaikan suatu
masyarakat atau rezimnya diukur dari seberapa tinggi individu berhasil
mengembangkan kemampuan-kemampuan dan bakat-bakatnya. Paham ini dianut Inggris,
Jerman, dan Amerika Serikat.
Ciri-ciri
Ideologi Liberal adalah (1) demokrasi
merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik; (2) anggota masyarakat memiliki kebebasan
intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan
kebebasan pers; (3) pemerintah
hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat
hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan
untuk dirinya sendiri; (4) kekuasaan
dari seseorang terhadap orang lain merupakan sesuatu yang buruk. Oleh karena
itu, pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan
dapat dicegah. Intinya, kekuasaan dicurigai sebagai cenderung disalahgunakan,
dan karena itu sejauh mungkin dibatasi;
(5) suatu masyarakat dikatakan berbahagia
apabila setiap individu atau sebagian besar individu berbahagia. Kalau masyarakat
secara keseluruhan berbahagia, kebahagiaan
sebagian besar individu belum tentu maksimal.
Ada tiga hal
yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak
Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah ini nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga
nilai dasar Liberalisme:
1.
Kesempatan yang sama. Bahwa manusia
mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun
karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan
kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing.
Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang
mutlak dari demokrasi.
2.
Dengan adanya pengakuan terhadap
persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang
dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan
kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan dimana
hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu. Pemerintah harus
mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak
menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.
3.
Berjalannya hukum. Fungsi Negara
adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang
merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh
pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk
menciptakan, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan
dimuka umum, dan persamaan sosial.
4.
Yang menjadi pemusatan kepentingan
adalah individu. Negara hanyalah alat. Negara itu sebagai suatu
mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan
negara itu sendiri.Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat
pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah
merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah
mengalami kegagalan.
5.
Dalam liberalisme tidak dapat
menerima ajaran dogmatism. Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632-1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu
didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
2.
Perkembangan Liberalisme Secara Umum
Liberalisme adalah satu nama di antara
isme-isme lain di Dunia Barat yang
berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya
Abad Pertengahan. Liberalisme
adalah ideologi yang didasarkan pada kebebasan. Liberalisme secara etimologis
berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan
individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Secara umum
liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan dengan
kebebasan berpikir individu. Dalam lberalisme ini menolak adanya pembatasan,
liberalisme juga menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas.
Dialatar belakangi oleh rasa
kesewenang-wenangan, masyarakat Eropa pada saat itu terbagi
menjadi kelas-kelas, kaum bangsawan disini adalah pemilik tanah. Hanya kaum
Aristokrat yang diperkenankan memliki tanah, golongan feodal ini pula yang juga
memegang dan menguasai posisi politik juga ekonomi. Sedang para petani
distratakan sebagai penggarap tanah yang dimiliki oleh patronnya, yang harus
membayar pajak dan menyumbangkan tenaga bagi sang patron. Lebih buruk lagi
adalah peran gereja dengan hak-hak istimewanya dalam suatu negara yang
berdampak semakin sempitnya dan tertekannya suatu kebebasan individu. Pemilikan
tanah oleh kaum bangsawan, hak-hak istimewa gereja, peranan politik raja dan
kaum bangsawan merupakan bentuk dominasi diatas individu.
Liberalisme tumbuh dari
konteks masyarakat Eropa pada abad pertengahan. Ketika itu, masyarakat ditandai
dengan dua karakter yang anggota masyarakatnya terikat satu sama lain dalam
suatu system dominasi kompleks nan kukuh, dan pola dalam sistem ini bersifat statis atau
sukar berubah. Di Abad Pertengahan tersebut nyatanya, penuh dengan penyimpangan
dan penindasan oleh kolaborasi gereja dan raja/kaisar, sehingga berimbas pada
stagnannya ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Dimulai pada saat runtuhnya Imperium Romawi, muncul agama
Kristen yang sebagai agama negara yang sangat mendominasi masyarakat.
Kekecewaan
masyarakat mulai timbul pada gereja pada saat didrikan suatu institusi bernama
inkuisisi, gereja juga memiliki dewan dengan sebutan ekunemis sebagai
persidangan legislitif, memiliki raja yakni paus, para pangeran menjadi pejabat
tinggi dalam kerajaaan, hukum gereja sebagai undang-undang dasar, ada juga
lembaga dengan sebutan curia yang mengurus tentang peradialan dan keuangan ,dan
juga gereja memiliki prajurit, sering berperang, membuat perjanjian dan memungut pajak. Bagi setiap orang yang berbeda dan
berlawanan dengan gereja baik dalam hal pemikiran maka akan timbul cap bahwa
orang itu adalah bid’ah. Dominasi inilah yang menimbulkan trauma bagi
masyarakat. Maka timbullah rasa untuk terbebas dari pengaruh dan kontrol gereja
yang berlebihan.
Maka Abad Pertengahan pun
meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi
Gereja (1294-1517), dengan tokohnya seperti Marthin
Luther, Zwingly, dan John Calvin. Gerakan ini disertai dengan munculnya para
pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli dan Michael Montaigne, yang
menentang dominasi Gereja dan menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan,
serta menuntut kebebasan. Martin Luther yang berani secara terang-terangan melawan
gereja yang sangat berpengaruh tersebut. Keadaan pada saat itu agama sangat
mengekang individu, tidak ada kebebasan yang ada hanyalah dogma-dogma agama
serta dominasi gereja.
Pada
perkembangan berikutnya dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari
otoritasnya yang semula, penemuan sesuatu yang terkait dengan ilmu
pengetahuanpun dilarang. Lebih buruk lagi adanya komersialisasi agama,
ketergantungan umat terhadap pemuka agama sehingga menyebabkan manusia tidak
berkembang dan berdampak luas, hal tersebutlah yang dikritik oleh Martin Luther. Reformasi gereja merupakan langkah pertama
menuju kebebasan individu.
Sejatinya pemikiran para kaum liberal
ini berawal dari trauma Tuhan dan aturan-aturan agama yang
pernah mendominasi masyarakat barat di zaman pertengahan. Mereka
berpikir, dengan membuang Tuhan dalam kebebasan mereka, maka mereka akan
merasakan kebahagiaan, yang tak lain adalah kebebasan. Karena itu tak heran,
jika filosof terkenal Prancis, Jean – Paul Sartre (1905-1980) memekikan slogan “even God existed, it will still necessary to
reject him, since the idea of God negates our freedom.” (Karen Amstrong, History of God, 1993).
Di
samping itu, liberalisme juga membawa dampak yang besar bagi sistem masyarakat
Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang
berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan
individu; pengabaian total terhadap Agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga
publik, lembaga legal dan lembaga sosial.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa liberalisme menuntut kemerdekaan individu
terhadap kaum bangsawan dalam bentuk kemerdekaan politik dan ekonomi. Sedangkan
terhadap golongan gereja/agama, liberalisme
menuntut kemedekaan dalam bidang agama. Dengan demikian paham
liberal nampak dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.
1.
Liberalisme Agama
Liberalisme dalam agama disini adalah liberal dalam masalah ibadah
dan agama atau kebebasan dalam beribadah dan beragama. Setiap individu harus
memiliki kebebasan kemerdekaan beragama dan menolak campur tangan negara atau
pemerintah tetapi dalam kebebasan tersebut tentu tidak bebas mutlak, ada
peraturan dalam memeluk agama. Kebebasan agama ini muncul saat terjadinya
peristiwa gereja di abad pertengahan yang terlalu mengekang umat. Tokoh pertama
kali yang memprakarsai kebebasan dalam hal agama adalah Marthin Luther, dimana
pada saat abad pertengahan agama sangat mengekang individu. Tidak ada kbebasan
yang ada hanya dogma dogma serta dominasi gereja. Karena semakin lama dominasi
gereja semakin menyimpang dari otoritasnya semula maka individu semakin tidak
berkembang karena banyak larangan-larangan yang di keluarkan oleh gereja.
Karena hal tersebutlah marthin luther mulai melakukan kritik kritik terhadap
gereja dan menimbulkan suatu reformasi yang menyulutb kebebasan individu yang tadinya terkekang.
2.
Liberalisme Politik
Liberalisme
disini adalah liberalisme yang dimana terjadi dalam ranah politik, yaitu suatu
kebebasan individu yang berurusan dengan pemerintah atau penguasa negara pada
saat itu. dengan kata lain, kekuasaan tertinggi
(kedaulatan) dalam suatu negara berada di tangan rakyat (demokrasi).
Paham Lliberal daam bidang
politik nampak dalam demokrasi
dan nasionalisme.
a)
Golongan Liberal
beraggapan bahwa masyarakat terbentuk oleh individu-individu. Oleh karena itu
individulah yang berhak menentukan segalanya dalam masyarakat (negara).
Kedaulatan harus berada ditangan individu, yang berarti kedaulatan ada di
tangan rakyat. Dengan
demikian timbulah sistem
pemerintahan demokrasi, yang menunt adanya UUD, pemilihan umum, kemerdekaan
pres, dan kebebasan berbicara.
b)
Paham liberal
mengutamakan kemerdekaan individu. Negara
terdiri dari individu-individu,
negara adalah milik dari para individu yang membentuk negara itu, amka yang
berhak mengatur dan menentukan nasib suatu negara adalah individu yang ada di
negara tersebut. Paham ini menghendaki pemerintahan sendiri dan menentang
segala bentuk campur tangan serta penindasan dari bangsa lain. Dengan demikian
liberalisme melahirkan
semangat nasionalisme. Di Asia umumnya, dan di Indonesia khususnya,
nasionalisme ini muncul sebagai akibat dari adanya penindasan dari bangsa
Barat, sedangkan di negara-negara
Eropa, nasionalisme muncul untuk menentang kekuasaan raja yang absolute.
Agar
supaya kebebasan individu tetap dijamin dan dihormati sehingga harus dibentuk
undang-undang, hukum, parlemen dsb agar pmerintah, penguasa atau raja dapat
memerintah secara adil dan tidak berlebihan. Hal ini dibuat agar dapat
memastikan kebebasan individu dan persamaan dalam suatu negara terutama juga
hak suara yg sama dalam mengeluarkan pendapat sehingga tidak ada jarak maupun
perbedaan yang tajam antara penguasa dan rakyat atau individu.
3.
Liberalisme Ekonomi
Dalam bidang ekonomi,
golongan liberal menghendaki adanya sistem ekonomi bebas. Tiap-tiap individu
harus memiliki kebebasan berusaha, memilih mata pencaharian yang disukai,
mengumpulkan harta benda, dll.
Pemerintah tidak boleh ikut campur tangan karena masalah itu masalah individu.
Semboyan kaum liberal ialah laisser
faire, laisser passer, le monde va de luimeme, artinya produksi bebas,
perdagangan bebas, dunia akan berjalan sendiri. Selanjutnya pada era
Pencerahan abad XVII-XVIII, seruan tentang
kebebasan invidu atau liberalisme dengan tokohnya seperti John locke dan
Voltaire. Disinilah mulai muncul istilah
liberalisme modern dan liberalism klasik yang mulai memasuki
eranya.
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan
kebebasan. Ada dua macam Liberalisme,
yakni Liberalisme Klasik dan Modern. Liberalisme Klasik timbul pada awal abad
ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. Bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern,
Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme
Modern, karena hingga kini nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada.
Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain,
nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tambahan saja dalam versi yang baru. Jadi
sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan
individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Setiap individu memiliki
kebebasan berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua
paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Meskipun
begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan
yang mutlak, karena
kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan. Jadi, tetap
ada keteraturan di dalam ideologi ini atau bukan bebas yang sebebas-bebasnya.
Tokoh yang memengaruhi paham Liberalisme
Klasik cukup banyak-baik itu
dari awal maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan
mengenai pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme
Klasik.
- Martin Luther dalam Reformasi Agama
Gerakan Reformasi Gereja pada
awalnya hanyalah serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap
kekuasaan imperium Katolik Roma. Pada saat
itu keberadaan agama sangat mengekang individu. Tidak ada kebebasan, yang ada
hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja.
Pada perkembangan berikutnya, dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari
otoritasnya semula. Individu menjadi tidak berkembang, kerena mereka tidak
boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh Gereja bahkan dalam mencari penemuan
ilmu pengetahuan sekalipun. Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak, misalnya kritik oleh Marthin Luther seperti: adanya
komersialisasi agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama,
sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas,
sehingga pada puncaknya timbul sebuah reformasi gereja (1517) yang
menyulut kebebasan dari para individu yang tadinya “terkekang”.
- John Locke dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda
Kedua tokoh ini berangkat dari
sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah
atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature. Namun dalam
perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak
belakang satu sama lainnya. Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of
Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. Hobbes (1588-1679) berpandangan bahwa dalam “State of
Nature”, individu itu pada dasarnya jelek
(egois) sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia ingin hidup
damai.
Oleh karena itu mereka membentuk suatu
masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi
hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga
(penguasa). Sedangkan John Locke (1632-1704) berpendapat bahwa individu pada State of
Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau
kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga
mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah
namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing
dalam karung. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/pihak
ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute
sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.
Bertolak dari kesemua hal tersebut,
kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi
individualisme. Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi
kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara
itu kedepannya tergantung pemimpin negara. Sedangkan Locke berpendapat,
keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara
menjadi terbatas hanya
sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik
Para ahli ekonomi dunia menilai
bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis.
Menurut Sumitro Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh
pemikiran mahzab klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang
tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan seyogyanya didasarkan atas hukum
alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikir
ekonomi klasik adalah Adam Smith
(1723-1790).
Pemikiran Adam Smith mengenai
politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh Sumitro Djojohadikusumo dirangkum
menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama, haluan pandangan Adam Smith tidak
terlepas dari falsafah politik, kedua, perhatian yang ditujukan pada
identifikasi tentang faktor-faktor apa dan kekuatan-kekuatan yang manakah yang
menentukan nilai dan harga barang. Ketiga, pola, sifat, dan arah kebijaksanaan
negara yang mendukung kegiatan ekonomi ke arah kemajuan dan kesejahteraan
mesyarakat. Singkatnya, segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan
pasar dimana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan, begitu pula
dalam politik.
Liberalisme dan demokrasi, adalah
dua hal yang sering disandingkan. Persandingan antara liberalisme dan demokrasi
tersebut kemudian lebih dikenal dengan istilah demokrasi liberal. Demokrasi
liberal tersebut kemudian disebutkan oleh Fukuyama dalam tesisnya yang terkenal
"the End of History" sebagai akhir dari sejarah. Bahwa konflik
ideologi telah hilang dan digantikan dengan alasan-alasan demokratik yang
rasional. Kemudian,
dalam tulisannya yang berjudul "Democracy, the Nation-State, and the
Global System", David Held menyebutkan bahwa demokrasi liberal memsusatkan
perhatian pada "kesimetrisan" dan "ke-kongruen-an" hubungan
antara pengambil keputusan politik dan penerima keputusan politik. Pada abad
20, teori demokrasi telah berfokus pada konteks organisasi dan budaya dari
prosedur demokrasi serta dampak dari konteks tersebut pada operasi dari
"aturan mayoritas" atau "majority rule".
Tak dapat
dihindari bahwa terdapat pertentangan mendasar dalam demokrasi liberal itu
sendiri. Dalam hal ini, pertentangan antara prinsip-prinsip dasar dalam
demokrasi dan liberalisme sebagai dua hal yang menjadi dasar dari demokrasi
liberal. Konflik antara liberalisme dan demokrasi yang terjadi kemudian
menimbulkan banyak kritik dari berbagai pemikir dan akademisi. Liberalisme
mempunyai mimpi bahwa kesejahteraan manusia dapat diraih dengan kebebasan
individu-individu untuk hidup termasuk kebebasan dalam berusaha.
Liberalisme yang sangat menekankan
dan mengedepankan kepemilikan individu tersebut pada akhirnya mengabaikan nilai
atau prinsip demokrasi yang menekankan equality atau kesetaraan. Prinsip
mayoritas yang juga dianut dalam demokrasi pada akhirnya juga terabaikan ketika
ekonomi dan politik hanya dikuasai oleh sekelompok minoritas yang memiliki
akses terhadap kepemilikan individu. Penulis sepakat dengan pernyataan Marx bahwa
demokrasi yang sesungguhnya adalah masa depan dari masyarakat komunis dimana
kekuasaan akan kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri
mereka sendiri.
Liberalisme menekankan kebebasan.
Kebebasan yang dicari manusia sendiri berbeda-beda dan tergantung pada kondisi
sosial dan ekonomi yang ada di sekitar mereka. Namun, kaum minoritas yang
memiliki hal (kebebasan) tersebut telah mendapatkannya dengan mengeksploitasi
sebagian besar yang tidak mendapatkan hal tersebut. Mereka percaya bahwa kebebasan
individu adalah sebuah tujuan akhir bagi manusia dan tidak ada yang seharusnya
dapat dikurangi dari hal tersebut oleh yang lainnya; paling tidak bahwa
beberapa harus menikmatinya dengan biaya orang lain.
Para filsuf seperti Locke, Adam
Smith, dan dalam beberapa hal Mill, dengan
optimis melihat asal-usul manusia dan memiliki sebuah kepercayaan mengenai
kemungkinan dalam mengharmonisasikan kepentingan-kepentingan manusia. Dalam hal
ini misalnya mempercayai bahwa keharmonisan sosial dan kemajuan dapat disesuaikan
dengan pesan yang luas bagi kehidupan privat melebihi negara ataupun otoritas
lainnya.
Dalam hal ini, filsuf seperti Mill
sangat mementingkan perlindungan bagi kebebasan individual. Dalam essay-nya
yang terkenal, Mill menyatakan bahwa kecuali orang yang tersisa untuk hidup
seperti yang mereka inginkan "di jalan mereka sendiri", peradaban
tidak bisa maju; kebenaran tidak akan, bagi kurangnya sebuah pasar bebas dalam
ide-ide; tidak akan ada lagi ruang untuk spontanitas, orijinalitas, kejeniusan,
untuk keberanian moral. Masyarakat akan ditabrak oleh sebuah "kolektif
biasa" yang berat.
Hubungan
antara demokrasi dan kebebasan individu adalah sebuah perjanjian baik yang
lebih lemah daripada yang sepertinya terlihat. Kebebasan dapat mengorbankan
kesetaraan. Hal ini adalah sebuah hal yang biasa dalam histiografi Marxis untuk
menekankan cara dalam praktek-praktek dari kebebasan borjuis dan sudut pandang
formal dari hak yang melindungi mereka baik yang menghasilkan maupun yang
menyembunyikan ketimpangan Kelas. Dalam Communist Manifesto, Marx dan
Engels menyatakan bahwa "Dengan kebebasan itu berarti, di bawah
keadaan-keadaan yang ditampilkan borjuis dari produksi, perdagangan bebas,
penjualan dan pembelian secara bebas." Analisis Tocqueville mengenai
ancaman kesetaraan dalam kebebasan, adalah bahwa kita harus juga "berjuang
untuk mengurangi dampak-dampak yang merugikan dalam demokrasi dan kesetaraan
politik yang dihasilkan ketika kebebasan ekonomi memproduksi ketimpangan yang
besar dalam pendistribusian sumber daya dan kemudian, secara langsung maupun
tidak langsung.
Selain itu, dalam sudut pandang
Marxisme, merujuk pada pernyataan Leszek Kolakowski, "adalah sebuah mimpi
menawarkan prospek sebuah masyarakat dengan persatuan yang utuh, dimana
aspirasi dari semua manusia akan dipenuhi, dan dan semua nilai didamaikan; tapi
konflik-konflik yang pasti timbul diantara kebebasan dan kesetaraan, dan
beberapa konflik dapat "diatasi hanya dengan kompromi-kompromi dan
solusi-solusi parsial. Kritik yang paling sering diutarakan bagi demokrasi
liberal memang berasal dari perspektif pemikiran politik "Kiri" yang
berfokus pada penciptaan kesesuaian yang lebih besar antara representasi
politik dan warga negara asli; dalam kasus ini, melalui penambahan mekanisme
akuntabilitas demokrasi.
Marx melihat keretakan antara publik
dan privat, warga negara dan borjuis, negara dan civil society sebagai
dasar-dasar yang krusial bagi filosofi liberal. Dalam essay-nya, On The
Jewish Question, Marx menyebutkan bahwa negara-negara liberal maju
"menghapuskan" perbedaan berdasarkan pada kelahiran, pendidikan,
pekerjaan, tapi hanya dalam rangka bahwa hal tersebut dideklarasikan oleh
mereka sebagai sebuah hal yang tidak relevan secara politik. Hal tersebut
mengubah politik kepada pelayanan yang egois dan hanya peduli pada materi.
Kritik lain terhadap demokrasi
liberal diungkapkan oleh para feminis, salah satunya oleh Anne Philips. Dalam
bukunya, Engendering Democracy, Phillips mengungkapkan bahwa sebagaimana
kritik lainnnya, demokrasi liberal mencerminkan sebuah jenis ketakutan politik.
Dimulai dengan antisipasi kecemasan dari apa yang mungkin dilakukan pemerintah,
dan yang kemudian menyusul sebagai perpanjangan hak-hak demokrasi dan hak
pilih, yang mengakhiri ketakutan masyarakat itu sendiri.
Demokrasi liberal dirancang pada
wilayah di luar kontrol pemerintahan dan terkadang secara formal dengan
mendirikan hak-hak individu dan kebebasan dalam sebuah konstitusi yang tertulis
tapi lebih umum melalui pergeseran konvensi sejarah menjadi lebih dari apa yang
dapat dianggap sebagai sebuah perhatian publik. Dimana sprosedur mengoperasikan
negara akan dibatasi dan manjauh dari domain publik. Demokrasi liberal membuat
pemisahan antara ruang publik dan privat, atau pemisahan antara sosial dan
politik.
Batasan dari liberal yang diletakkan
pada pemerintahan tidak hanya dioperasikan untuk melindungi kebebasan-kebebasan
individual. Mereka juga mempertahankan ketidakadilan yang dapat membuat
olok-olok bagi demokrasi itu sendiri. Hak yang sama untuk memilih misalnya,
tidak menjamin sebuah persamaan yang dipengaruhi keputusan politik. Para
feminis pun menawarkan hubungan yang erat antara teori feminis dan demokrasi.
Para pemikir dan akademisi lainnya pun mencoba mencarikan solusi atas problema
konflik antara liberalisme dan demokrasi tersebut. Hal-hal yang hanya bersifat prosedural dalam demokrasi
liberal kemudian harus diisi dengan substansi dari demokrasi itu sendiri. Kemudian, akademisi seperti Mouffe pun menawarkan apa
yang disebut sebagai demokrsi deliberative dengan penekanannya terhadap imparsialitas dan
konsensus nasional.
3.
Perkembangan Liberalisme di Indonesia
3.1 Politik
Liberalisme Di Indonesia
Masa antara tahun 1870 dan 1900 di Indonesia pada umumnya disebut zaman
Liberalisme. Dengan maksud
bahwa pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah kolonial di Indonesia kepada usaha dan modal
swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk menanamkan modal mereka dalam
berbagai usaha kegiatan di Indonesia khususnya perkebunan-perkebunan besar di
Jawa maupun di luar Jawa. Meluasnya pengaruh ekonomi Barat dalam masyarakat
Indonesia zaman liberal tidak saja terbatas pada penanaman tanaman perdagangan
di perkebunan besar tetapi juga meliputi import barang-barang jadi yang
dihasilkan oleh industri-industri yang sedang berkembang di negeri Belanda.
Sistem
ekonomi liberal mempermudah bank ekspor maupun impor modal. Penanaman modal di Indonesia terutama
terjadi pada industri gula, timah, dan tembakau yang mulai berkembang sejak
tahun 1885. dengan dihapuskannya tanam paksa secara berangsur-angsur, maka
tanaman wajib pemerintah diganti dengan perkebunan-perkebunan yang diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Penghapusan
tanam paksa menyebabkan munculnya sistem ekonomi liberal, dimana Indonesia
dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan modal mereka. Pada masa Liberalisme, Komersialisme di Indonesia tampak dengan:
1)
Indonesia dijadikan tempat untuk
mencari bahan mentah untuk kepentingan Industri orang-orang Eropa.
2)
Indonesia dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan modal
bagi para pengusaha swasta asing. Dengan cara menyewa tanah rakyat untuk dijadikan
perkebunan-perkebuan besar.
3)
Indonesia juga dijadikan sebagai
tempat untuk memasarkan hasil-hasil Industri Eropa.
Pada masa Liberalisme ini pulalah merupakan awal munculnya
industrialisasi di Indonesia. Munculnya Industrialisasi ditandai dengan dikeluarkannya
Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870 ,yang memberikan
peluang bagi pengusaha asing (pengusaha dari Inggris, Belgia, Perancis, Amerika
Serikat, Cina, dan Jepang) untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia tetapi
tidak boleh menjualnya. Mereka mulai datang ke Indonesia untuk menanamkan modal
dan untuk memperoleh keuntungan yang besar.
Tanah penduduk Indonesia yang awalnya
merupakan milik pribadi tersebut harus disewa untuk jangka waktu tertentu (25
tahun untuk tanah pertanian, 75 tahun untuk tanah ladang) oleh para pemilik
modal swasta asing. Penduduk hanya mendapatkan uang sebagai uang sewa tanah
tersebut. Tanah
yang disewa kemudian dijadikan perkebunan-perkebunan besar yang
dilengkapi dengan pabrik-pabrik untuk mengolah hasil perkebunan tersebut.
Perkebunan-perkebunan tersebut diantaranya Perkebunan Kopi, Teh, Gula, Kina dan
Tembakau. Di Deli, Sumatra Timar. Industri
di Indonesia awalnya memang hanya industri perkebunan tetapi perkembangannya di
Indonesia terdapat industri mesin, industri tambang, dsb. Para pengusaha
Indonesia tidak mampu mengalah pengusaha swasta asing.
Sebagai ganti dari eksploitasi
pemerintah akan dijalankan kebebasan berusaha dan kerja paksa akan diganti
dengan kerja bebas. Akan teatapi sekali lagi perlu diingat, baik partai liberal
maupun partai konservatif sepakat bahwa daerah jajahan harus membantu Negara induk dalam kesejahteraan materialnya. Keduanya
tidak berkeberatan akan penyumbangan surplus anggaran belanja Hindia-Belanda
kepada Nedherland. Soal yang dihadapai golongan liberal adalah bukan bagaimana
mengatur daerah koloni, tetapi bagaimana mengatur daerah koloni untuk
mendapatkan uang. Dengan demikian, penghapusan tanam paksa tidak berarti
berakhirnya penderitaan rakyat karena penarikan modal pemerintah digantikan
dengan pemasukan modal swasta.
Terbukanya Indonesia bagi swasta asing berakibat munculnya
perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia seperti perkebunan teh dan kina
di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga
terjadi penanaman modal di bidang pertambangan batu bara di Umbilin. Menurut
Swanto, dkk. (1997) pengaruh gerakan liberal terhadap Indonesia secara umum
adalah Tanam paksa dihapus; Modal swasta asing mulai ditanamkan
di Indonesia; Rakyat
Indonesia mulai mengerti akan arti pentingnya uang; Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh
barang impor; Pemerintah
Hindia Belanda membangun sarana dan prasarana; dan Hindia Belanda menjadi penghasil
barang perkebunan yang penting.
3.2 Perkembangan
Ekonomi Indonesia Selama Zaman Liberalisme
Perkebunan gula, kopi, tembakau dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya mengalami perkembangan pesat
antara tahun 1870 dan 1885. Selama masa ini para pengusaha perkebuann memperoleh keuntungan besar dari hasil penjualan tanaman dagang di pasaran dunia. Sebagian besar perkembangan ini disebabkan oleh
pembukaan terusan Suez dalam tahun 1869 yang sangat mengurangi jarak antara Negara penghasil tanaman dagang dan pasaran-pasaran
dunia yang terpenting di dunia.
Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman dagang mulai berjalan agak menurun disebabkan oleh jatuhnya
harga-harga koli dan gula di pasaran dunia. Dalam tahun 1891 harga tembakau di
pasaran dunia juga jatuh dengan pesat sehingga membahayakan kelangsungan hidup
perkebunan-perkebunan. Jatuhnya harga. Kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi
penanam modal asing dijamin oleh pemerintah kolonial, seperti tenaga kerja dan sewa tanah yang murah. Hal itu
dapat dilihat dari isi Undang-Undang agrarian tahun 1870, suatu peraturan yang
umumnya dianggap sebagai dimulainya politik kolonial liberal di Hindia Belanda. Peraturan tersebut pada pokoknya berisi dua hal,
yaitu pengambilalihan tanah milik penduduk tidak diperbolehkan, dan orang asing
boleh menyewa tanah untuk perkebunan. Tidak mengherankan bahwa sesudah tahun
1870 modal asing semakin meningkat mengalir ke Jawa secara intensif.
Pada tahun 1882 pajak kepala diadakan dengan maksud untuk
menggantikan wajib kerja. Jumlah per kepala dipungut dari semua warga desa yang
kena wajib kerja. Pada tahun ini juga dihapuskan pancen diensten, yang
terdiri atas 15 jenis, kecuali kerja wajib untuk perbaikan jalan, dam, tanggul
dan saluran air. Dalam politik liberal penetrasi usaha kapitalis berpenetrasi
sampai ke individu. Konversi tanah yang dikuasai perseorangan menjadi tanah
yang dikuasai tuan perkebunan berarti tanah masuk obyek komersialisasi. Perkembangan selanjutnya
sebagian ditentukan oleh faktor-faktor modernisasi lain, seperti komunikasi, birokrasi, adukasi
dan industrialisasi pertanian.
Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata tidak lebih
baik dari pada tanam paksa. Justru pada masa ini penduduk diperas oleh dua
pihak. Pertama oleh pihak swasta dan yang kedua oleh pihak pemerintah.
Pemerintah Hindia Belanda memeras penduduk secara tidak langsung melelui
pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta.
Padahal, pihak swasta juga ingin mendapat keuntungan yang besar. Untuk itu,
para buruh diibayar dengan gaji yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan
yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi mempunyai tanah karena
sudah disewakan untuk membayar hutang.
Disamping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem
kontrak, sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima
semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri
walaupun menerima perlakuan yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman
dari pengusaha jika tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang
disebut Poenale Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman
bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang
demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga
rakyat semakin menderita.
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah
Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik
pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya
secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial
melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan
menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan
infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan
demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah
jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk
memperoleh uang.
3.3 Islam
Liberal di Indonesia (Era Orde Baru)
Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde
Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan
Muslim mencoba memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi
kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang
"Pembaharuan Pemikiran Islam". Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam
tidak hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual.
Mereka dapat digolongkan sebagai Islam liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan
ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu
yang berhak menafsirkan ajaran Islam.
Menurut Fachri Aly dan Bactiar Effendi (1986: 170-173)
terdapat sedikitnya empat versi Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme,
sosialisme demokrasi, dan neo-modernisme. Modernisme mengembangkan pola pemikiran yang
menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan
kondisi-kondisi modern. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili pemikiran modernisme
antara lain Ahmad Syafii Ma‘arif, Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Adapun
universalisme sesungguhnya merupakan pendukung modernisme yang secara spesifik
berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Betul bahwa
Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan
final Islam itu sendiri. Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal
dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalah
akan muncul kalau Islam yang me-nasional atau melokal itu menyebabkan
terjadinya penyimpangan terhadap hakikat Islam yang bersifat universal. Pola
pemikiran ini, secara samar-samar terlihat pada pemikiran Jalaluddin Rahmat, M.
Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin
Abdul Rahim.
Pola pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa
kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini,
Islam harus menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator secara terus menerus
dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Para pendukung sosialis-demokrasi
melihat bahwa struktur sosial politik dan, terutama, ekonomi di beberapa negara
Islam termasuk Indonesia, masih belum mencerminkan makna kemanusiaan, sehingga
dapat dikatakan belum Islami. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah
sesuatu yang formalistik. Islamisasi dalam refleksi pemikiran mereka adalah
karya-karya produktif yang berorientasi kepada perubahan-perubahan sosial
ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis. Adi
Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo dapat dimasukkan dalam pola
pemikiran ini.
Sedangkan neo-modernisme mempunyai asumsi dasar
bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau
mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang
memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan
tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhâfazhat
‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara
tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi
lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam
konteks atau lingkup nasional.
Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal,
namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh
terhadap Islam itu sendiri. Ada dua tokoh intelektual yang menjadi pendukung
utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Tampaknya pemikiran Nurcholish (Prisma,
nomor ekstra, 1984: 10-22), lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya
di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedang pemikiran neo modernisme
Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah
wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU. Karena itu, ide-ide keislamannya
tampak jauh lebih empiris, terutama dalam pemikirannya tentang hubungan Islam
dan politik. (Prisma, Nomor ekstra, 1984: 3-9; dan Prisma, 4
April 1984: 31-38).
3.4 Islam
Liberal di Indonesia (Era Reformasi)
Sejak akhir tahun 1990-an muncul kelompok-kelompok anak
muda yang menamakan diri kelompok "Islam Liberal" yang mencoba
memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir
abad ke-20. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melihat betapa bahayanya
pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok ini, sehingga pada Munasnya
yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme,
sekularisme dan liberalism merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam haram hukumnya mengikuti paham
pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama (Adian Husaini, t.th: 2-4). Dalam
Keputusan MUI No. 7/MUNAS VII/11/2005 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al Qur’an dan As-Sunnah)
menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama
yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Islam liberal di Indonesia era reformasi nampak lebih nyata
setelah didirikannya sebuah "jaringan" kelompok diskusi pada tanggal
8 Maret 2001, bertujuan untuk kepentingan pencerahan dan
pembebasan pemikiran Islam Indonesia.mereka melakukan pembangunan milis (islamliberal@yahoo.com). Kegiatan utama kelompok ini
adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, negara, dan
isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret
2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah berhasil menghadirkan 200
orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para penulis, intelektual dan
para pengamat politik. Di antara mereka muncul nama-nama seperti; Taufik Adnan
Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil
Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi
Assaukanie. Tentu tidak semua orang yang hadir diskusi berarti mendukung
ide-ide JIL.
Diskusi awal yang diangkat oleh JIL adalah seputar definisi
dan sikap Islam Liberal seputar isu-isu Islam, negara dan isu-isu
kemasyarakatan. Pendefinisian Islam Liberal diawali dengan kajian terhadap buku
Kurzman yang memilah tradisi keislaman dalam tiga kategori yakni customary Islam, fundamentalis atau Wahabis
atau Salafis, dan liberal Islam. Kategori ketiga diklaim sebagai koreksi dan
respon terhadap dua kategori yang disebut pertama. Pertanyaan yang muncul dalam
diskusi awal itu adalah apakah Islam Liberal di Indonesia akan bersifat elitis
dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang menyediakan refleksi empiris,
dan memiliki apresiasi terhadap realitas? Kalau Islam Liberal itu paralel
dengan civicculture (pro pluralisme, equal opportunity, moderasi,
trust, tolerance, memiliki sence of community yang nasional, lalu di
mana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah skeptisisme dan agnostisme yang hidup
dalam masyarakat Islam? Diskusi dalam milis yang panjang akhirnya tidak
menyepakati sebuah definisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka menandai
sebuah gerakan dan pemikiran yang mencoba memberikan respon terhadap kaum
modernis, tradisional, dan fundamentalis.
Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar
utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit
di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta.
Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal.
Pernah suatu ketika, pemikiran dan gerakan ini menuai protes bahkan ancaman
kekerasan dari lawan-lawan mereka. Bahkan masyarakat sekitar Utan Kayu pernah
juga menuntut Radio dan komunitas JIL untuk pindah dari lingkungan tersebut.
Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi pemikiran liberal Islam
dibicarakan dan dikutuk oleh lawanlawannya, terutama melalui khutbah dan
pengajian. Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi
Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum
Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal
IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama
pemikiran liberal. Ketegangan antara yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah
keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya liberalisme, sekularisme dan pluralisme
pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah salah seorang contributor
dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla pergi ke luar negeri, belajar
ke Amerika Serikat.
Ulil melalui bukunya Menjadi Muslim Liberal menolak
jenis-jenis tafsir keagamaan yang hegemonik, tidak pluralis, antidemokrasi,
yang menurutnya potensial menggerogoti persendian Islam sendiri. Dengan
gaya narasi dan semantik yang lugas, Ulil misalnya melancarkan kritiknya kepada
MUI yang dalam pengamatannya telah memonopoli penafsiran atas Islam. Fatwa MUI
yang menyatakan bahwa pluralisme, liberalisme, dan sekularisme adalah faham
sesat; Ahmadiyah adalah keluar dari Islam telah menyalakan emosi Ulil.
Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai alumni
pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan pesantren. Melalui kolomnya On
Being Muslim kita tahu bahwa Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalisme pemikiran keislamannya juga dari
ilmu-ilmu tradisional seperti ushûl alfiqh, qawâ‘id al-fiqhiyah yang
dahulu diajarkan oleh para ustadznya di pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah
dan mantiq (logika) tampaknya turut melatih Ulil perihal bagaimana
menstrukturkan kata dan kalimat, mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan
kekuatan dalam bernalar.
Sayangnya, hanya kalangan fundamentalis saja yang mencoba
melakukan perlawanan retorik. Majalah seperti Sabili, Hidayatullah,
dan media-media di lingkungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mencoba untuk
memberikan counter opini terhadap gagasan-gagasan yang diusung oleh JIL.
Setelah Ulil pergi, dinamika pemikiran dan gerakan Islam kontemporer kembali adem
ayem.
4.
Pengaruh Liberalisme Terhadap Perkembangan Sejerah Lokal
dan Nasional
Sejarah nasional mempunyai peranan sangat penting
dalam membina nasionalisme suatu bangsa. Negara nasional yang diproklamasikan
oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta untuk selama-lamanya itu ternyata
mampu bertahan terhadap bermacam-macam ancaman mulai dari ancaman kolonialisme
tua, perpecahan ideologi dan pertentangan agama yang sampai sekarang terus membayangi
baik dari luar maupun dari dalam. Kolonialisme kuno yang dulu menggunakan
kekuatan militer, sekarang menjelma menjadi Liberalisme kapitalisme yang
menjalankan praktek imperialisme lewat jalur ekonomi dan diplomasi.
Pengaruh
liberalisme dan sekaligus arus globalisasi dapat terasa dengan
berwujud adanya degradasi wawasan
nasional dan wawasan ideologi nasional. Demikian pula adanya degradasi mental ideologi, seperti budaya
demokrasi liberal dan HAM individualisme-egoisme bukan
kesatuan dan kerukunan sebagai asas
moral filsaafat
dan ideologi bangsanya.
Perhatikan beberapa fenomena sosial politik dan ekonomi (neo-liberal) dalam era reformasi sebagai praktek budaya: kapitalisme dan liberalisme dan neo-liberalisme dalam
hampir semua bidang kehidupan Indonesia, bermuara sebagai neoimperialisme. Sinergis dengan kondisi
global maka dalam NKRI juga tantangan kebangkitan neo-PKI/KGB. Jika merunut
sejarah maka pengatuh liberalisme di Indonesia dalam Sejarah Nasional dapat
dijelaskan melalui fenomena berikut:
1.
Watak setiap ajaran filsafat
dan ideologi dengan asas dogmatisme senantiasa merebut supremasi dan dominasi
atas berbagai ajaran filsafat dan ideologi yang dipandangnya sebagai saingan.
Ideologi kapitalisme-liberalisme yang dianut negara-negara Barat sebenarnya
telah merajai kehidupan berbagai bangsa dan negara: politik
kolonialisme-imperialisme. Karena itulah, ketika perang dunia II berakhir 1945,
meskipun mereka meraih kemenangan atas German dan Jepang, namun mereka kehilangan
banyak negara jajahan memproklamasikan kemerdekaan, termasuk Indonesia. Sejak itulah penganut
ideologi kapitalisme-liberalisme menetapkan strategi politik neo-imperialisme
untuk melestarikan penguasaan ekonomi dan sumber daya alam di negara-negara
yang telah mereka tinggalkan (disusun strategi rekayasa global, 1947).
2.
Melalui berbagai organisasi
dunia, mulai PBB, World Bank dan IMF sampai APEC dipelopori Amerika Serikat
mereka tetap sebagai kesatuan Sekutu
dan Unie Eropa dalam perjuangan merebut supremasi
politik dan ekonomi dunia (neo-imperialisme). Lebih-lebih dengan
berakhirnya perang dingin
(1950-1990) mereka makin menunjukkan supremasi
politik neo-imperialisme.
3.
Hampir semua negara
berkembang yang kondisi ipteks, industri dan ekonomi amat tergantung kepada
negara maju (G-8) maka melalui bantuan modal pembangunan baik bilateral maupun
multilateral, seperti melalui IMF dan World Bank, termasuk IGGI kemudian CGI
semuanya mengandung strategi politik ekonomi negara Sekutu (USA dan UE).
4.
Melalui kesepakatan APEC,
mereka mempropagandakan doktrin ekonomi
liberal, atas nama ekonomi pasar tidak boleh ada proteksi demi
peningkatan kemampuan dan kemandirian.
Sementara potensi ekonomi berbagai negara berkembang tanpa proteksi, tanpa daya
saing yang memadai semuanya
dilumpuhkan dan ditaklukkan. Tercapailah politik
supremasi ekonomi kapitalisme-liberalisme, sebagai neo-imperialisme.
5.
Sesungguhnya sejak dimulai
perang dingin (sekitar 1950-1985)
Sekutu telah menampilkan watak untuk merebut dominasi dan supremasi politik internasional. Kondisi perang
dingin yang amat panjang meskipun menguras dana dan biaya perang (angkatan
perang dan persenjataan), namun juga dijadikan media propaganda bahwa otoritas
supremasi politik dan ideologi dunia tetap dimiliki Blok Barat. Supremasi
politik dan ideologi ini juga didukung oleh supremasi IPTEKS sehingga banyak
intelektual negara berkembang yang belajar IPTEKS ke
negara-negara blok Barat. Sebagian intelektual kita itu telah tergoda dan
terlanda wawasan politiknya, sehingga sebagai elite reformasi mempraktekkan
demokrasi liberal, ekonomi liberal, bahkan juga budaya negara federal.
Dalam konteks sejarah lokal
pengaruh liberalisme mengakibatkan Pemujaan demokrasi liberal atas nama
kebebasan dan HAM telah mendorong bangkitnya primordialisme kesukuan dan
kedaerahan. Mulai praktek otoda dengan budaya negara federal sampai semangat separatisme.
Fenomena ini membuktikan degradasi
nasional telah makin parah dan mengancam integritas mental ideologi
Pancasila, integritas nasional dan integritas NKRI, dan integritas moral. Hendaknya kita kembali
mendalami Ideologi Pancasila.
Alasan
saya setuju dengan pelaksanaan sistem Liberal di Indonesia karena sistem liberalisme berguna
melindungi hak-hak asasi manusia. Sistem politik
liberalisme karena menekankan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia, maka
infrastruktur/struktur masyarakat/struktur sosial selalu berusaha untuk
mewujudkan tegaknya demokrasi dan tumbangnya sistem kediktatoran. Menumbuhkan
inisiatif dan kreasi masyarkat dalam mengatur kegiatan ekonomi. Masyarakat
tidak perlu menunggu komando dari pemerintah. Menyebabkan Amerika Serikat
menentukan garis kebijaksanan didalam memberikan bantuan terhadap negara-negara yang
sedang berkembang dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia, pemerintah
negara-negara di dunia harus menggunakan sistem demokrasi.
Selain
itu Setiap individu bebas untuk memiliki sumber-sumber
daya produksi, hal ini mendorong partisipasi
masyarakat dalam perekonomian. Timbul
persaingan untuk maju karena kegiatan ekonomi sepenuhnya diserahkan kepada
masyarakat. Menghasilkan
barang-barang bermutu tinggi, karena barang yang kurang bermutu tidak akan laku
di pasar. Efisiensi
dan efektivitas tinggi karena setiap tindakan ekonomi didasarkan atas motif
mencari keuntungan. Kontrol
sosial dalam sistem pers liberal berlaku secara bebas. Berita-berita ataupun
ulasan yang dibuat dalam media massa dapat mengandung kritik-kritik tajam, baik
ditujukan kepada perseorangan lembaga atau pemerintah. Serta masyarakat
dapat memilih partai politik tanpa ada gangguan dari siapapun.
DAFTAR RUJUKAN
Nurcholish
Madjid. 1984. Suatu Tatapan Islam terhadap Masa
Depan Politik Indonesia. Jakarta: Prisma.
Sukarna. 1990. Sistem Politik 2. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Anonim. 2011. Macam-Macam Ideologi Beserta Negara.
[serial online]
http://nandarawrr.blogspot.com/2011/07/macam-macam-ideologi-beserta-negara.html. [diakses pada tanggal 20 September 2014]
Setiawan Adi Adel.
2012. Sistim Politik Liberal. [serial
online]
http://adiadelsetiawan.blogspot.com/2012/04/sistim-politik-liberal.html. [diakses pada
tanggal 20 september 2014]
Setiawan Arif. 2011. Liberalisme.
[serial online]
http://arifsetiawan06.blogspot.com/2011/12/liberalisme.html. [diakses
pada tanggal 28 September 2014]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar