Selasa, 28 Oktober 2014

Perkembangan Liberalisme



PERKEMBANGAN LIBERALISME

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pengampuh Dr. Suranto M. Pd


Paper


Oleh:

NUR MA’RIFA        120210302087

KELAS B





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
1.    Konsep Dasar Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Liberalisme tumbuh dari konteks masyarakat Eropa pada abad pertengahan. Ketika itu masyarakat ditandai dengan dua karakteristik, yaitu anggota masyarakat terikat satu sama lain dalam suatu sistem dominasi kompleks dan kukuh, dan pola hubungan dalam sistem ini bersifat statis dan sukar berubah.
Pemikiran liberal (liberalisme) berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV).
Liberal secara harfiah berarti bebas dari batasan (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Secara umum liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Bandingkan Oxford Manifesto dari Liberal International: "Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas.
Masyarakat yang terbaik (rezim terbaik), menurut paham liberalisme adalah yang memungkinkan individu mengembangkan kemampuan-kemampuan individu sepenuhnya. Dalam masyarakat yang baik semua individu harus dapat mengembangkan pikiran dan bakat-bakatnya. Hal ini mengharuskan para individu untuk bertanggung jawab atas tindakannya, dan tidak menyuruh seseorang melakukan sesuatu untuknya atau seseorang untuk mengatakan apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, kebaikan suatu masyarakat atau rezimnya diukur dari seberapa tinggi individu berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan dan bakat-bakatnya. Paham ini dianut Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.
Ciri-ciri Ideologi Liberal adalah (1) demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik; (2) anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan kebebasan pers; (3) pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk dirinya sendiri; (4) kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Intinya, kekuasaan dicurigai sebagai cenderung disalahgunakan, dan karena itu sejauh mungkin dibatasi; (5) suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian besar individu berbahagia. Kalau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagiaan sebagian besar individu belum tentu maksimal.
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah ini nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme:
1.    Kesempatan yang sama. Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
2.    Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu. Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.
3.    Berjalannya hukum. Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
4.    Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu. Negara hanyalah alat. Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri.Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
5.    Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatism. Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632-1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.

2.    Perkembangan Liberalisme Secara Umum
Liberalisme adalah satu nama di antara isme-isme lain di Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan. Liberalisme adalah ideologi yang didasarkan pada kebebasan. Liberalisme secara etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Secara umum liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan dengan kebebasan berpikir individu. Dalam lberalisme ini menolak adanya pembatasan, liberalisme juga menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas.
Dialatar belakangi oleh rasa kesewenang-wenangan, masyarakat Eropa pada saat itu terbagi menjadi kelas-kelas, kaum bangsawan disini adalah pemilik tanah. Hanya kaum Aristokrat yang diperkenankan memliki tanah, golongan feodal ini pula yang juga memegang dan menguasai posisi politik juga ekonomi. Sedang para petani distratakan sebagai penggarap tanah yang dimiliki oleh patronnya, yang harus membayar pajak dan menyumbangkan tenaga bagi sang patron. Lebih buruk lagi adalah peran gereja dengan hak-hak istimewanya dalam suatu negara yang berdampak semakin sempitnya dan tertekannya suatu kebebasan individu. Pemilikan tanah oleh kaum bangsawan, hak-hak istimewa gereja, peranan politik raja dan kaum bangsawan merupakan bentuk dominasi diatas individu.
Liberalisme tumbuh dari konteks masyarakat Eropa pada abad pertengahan. Ketika itu, masyarakat ditandai dengan dua karakter yang anggota masyarakatnya terikat satu sama lain dalam suatu system dominasi kompleks nan kukuh, dan pola dalam sistem ini bersifat statis atau sukar berubah. Di Abad Pertengahan tersebut nyatanya, penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi gereja dan raja/kaisar, sehingga berimbas pada stagnannya ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Dimulai pada saat runtuhnya Imperium Romawi, muncul agama Kristen yang sebagai agama negara yang sangat mendominasi masyarakat.
Kekecewaan masyarakat mulai timbul pada gereja pada saat didrikan suatu institusi bernama inkuisisi, gereja juga memiliki dewan dengan sebutan ekunemis sebagai persidangan legislitif, memiliki raja yakni paus, para pangeran menjadi pejabat tinggi dalam kerajaaan, hukum gereja sebagai undang-undang dasar, ada juga lembaga dengan sebutan curia yang mengurus tentang peradialan dan keuangan ,dan juga gereja memiliki prajurit, sering berperang, membuat perjanjian dan memungut pajak. Bagi setiap orang yang berbeda dan berlawanan dengan gereja baik dalam hal pemikiran maka akan timbul cap bahwa orang itu adalah bid’ah. Dominasi inilah yang menimbulkan trauma bagi masyarakat. Maka timbullah rasa untuk terbebas dari pengaruh dan kontrol gereja yang berlebihan.
Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya seperti Marthin Luther, Zwingly, dan John Calvin. Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli dan Michael Montaigne, yang menentang dominasi Gereja dan menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, serta menuntut kebebasan. Martin Luther yang berani secara terang-terangan melawan gereja yang sangat berpengaruh tersebut. Keadaan pada saat itu agama sangat mengekang individu, tidak ada kebebasan yang ada hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja.
Pada perkembangan berikutnya dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya yang semula, penemuan sesuatu yang terkait dengan ilmu pengetahuanpun dilarang. Lebih buruk lagi adanya komersialisasi agama, ketergantungan umat terhadap pemuka agama sehingga menyebabkan manusia tidak berkembang dan berdampak luas, hal tersebutlah yang dikritik oleh Martin Luther. Reformasi gereja merupakan langkah pertama menuju kebebasan individu.
Sejatinya pemikiran para kaum liberal ini berawal dari trauma Tuhan dan aturan-aturan agama yang pernah mendominasi masyarakat barat di zaman pertengahan. Mereka berpikir, dengan membuang Tuhan dalam kebebasan mereka, maka mereka akan merasakan kebahagiaan, yang tak lain adalah kebebasan. Karena itu tak heran, jika filosof terkenal Prancis, Jean – Paul Sartre (1905-1980) memekikan slogan “even God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.” (Karen Amstrong, History of God, 1993).
Di samping itu, liberalisme juga membawa dampak yang besar bagi sistem masyarakat Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap Agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa liberalisme menuntut kemerdekaan individu terhadap kaum bangsawan dalam bentuk kemerdekaan politik dan ekonomi. Sedangkan terhadap golongan gereja/agama, liberalisme menuntut kemedekaan dalam bidang agama. Dengan demikian paham liberal nampak dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.
1.    Liberalisme Agama
Liberalisme dalam agama disini adalah liberal dalam masalah ibadah dan agama atau kebebasan dalam beribadah dan beragama. Setiap individu harus memiliki kebebasan kemerdekaan beragama dan menolak campur tangan negara atau pemerintah tetapi dalam kebebasan tersebut tentu tidak bebas mutlak, ada peraturan dalam memeluk agama. Kebebasan agama ini muncul saat terjadinya peristiwa gereja di abad pertengahan yang terlalu mengekang umat. Tokoh pertama kali yang memprakarsai kebebasan dalam hal agama adalah Marthin Luther, dimana pada saat abad pertengahan agama sangat mengekang individu. Tidak ada kbebasan yang ada hanya dogma dogma serta dominasi gereja. Karena semakin lama dominasi gereja semakin menyimpang dari otoritasnya semula maka individu semakin tidak berkembang karena banyak larangan-larangan yang di keluarkan oleh gereja. Karena hal tersebutlah marthin luther mulai melakukan kritik kritik terhadap gereja dan menimbulkan suatu reformasi yang menyulutb kebebasan individu yang tadinya terkekang.
2.    Liberalisme Politik
Liberalisme disini adalah liberalisme yang dimana terjadi dalam ranah politik, yaitu suatu kebebasan individu yang berurusan dengan pemerintah atau penguasa negara pada saat itu. dengan kata lain, kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dalam suatu negara berada di tangan rakyat (demokrasi). Paham Lliberal daam bidang politik nampak dalam demokrasi dan nasionalisme.
a)      Golongan Liberal beraggapan bahwa masyarakat terbentuk oleh individu-individu. Oleh karena itu individulah yang berhak menentukan segalanya dalam masyarakat (negara). Kedaulatan harus berada ditangan individu, yang berarti kedaulatan ada di tangan rakyat. Dengan demikian timbulah sistem pemerintahan demokrasi, yang menunt adanya UUD, pemilihan umum, kemerdekaan pres, dan kebebasan berbicara.
b)      Paham liberal mengutamakan kemerdekaan individu. Negara terdiri dari individu-individu, negara adalah milik dari para individu yang membentuk negara itu, amka yang berhak mengatur dan menentukan nasib suatu negara adalah individu yang ada di negara tersebut. Paham ini menghendaki pemerintahan sendiri dan menentang segala bentuk campur tangan serta penindasan dari bangsa lain. Dengan demikian liberalisme melahirkan semangat nasionalisme. Di Asia umumnya, dan di Indonesia khususnya, nasionalisme ini muncul sebagai akibat dari adanya penindasan dari bangsa Barat, sedangkan di negara-negara Eropa, nasionalisme muncul untuk menentang kekuasaan raja yang absolute.
Agar supaya kebebasan individu tetap dijamin dan dihormati sehingga harus dibentuk undang-undang, hukum, parlemen dsb agar pmerintah, penguasa atau raja dapat memerintah secara adil dan tidak berlebihan. Hal ini dibuat agar dapat memastikan kebebasan individu dan persamaan dalam suatu negara terutama juga hak suara yg sama dalam mengeluarkan pendapat sehingga tidak ada jarak maupun perbedaan yang tajam antara penguasa dan rakyat atau individu.
3.    Liberalisme Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, golongan liberal menghendaki adanya sistem ekonomi bebas. Tiap-tiap individu harus memiliki kebebasan berusaha, memilih mata pencaharian yang disukai, mengumpulkan harta benda, dll. Pemerintah tidak boleh ikut campur tangan karena masalah itu masalah individu. Semboyan kaum liberal ialah laisser faire, laisser passer, le monde va de luimeme, artinya produksi bebas, perdagangan bebas, dunia akan berjalan sendiri. Selanjutnya pada era Pencerahan abad XVII-XVIII, seruan tentang kebebasan invidu atau liberalisme dengan tokohnya seperti John locke dan Voltaire. Disinilah mulai muncul istilah liberalisme modern  dan liberalism klasik yang mulai memasuki eranya.
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Modern. Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. Bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada. Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tambahan saja dalam versi yang baru. Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan. Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini atau bukan bebas yang sebebas-bebasnya.
Tokoh yang memengaruhi paham Liberalisme Klasik cukup banyak-baik itu dari awal maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme Klasik.
  1. Martin Luther dalam Reformasi Agama
Gerakan Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma. Pada saat itu keberadaan agama sangat mengekang individu. Tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja. Pada perkembangan berikutnya, dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula. Individu menjadi tidak berkembang, kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh Gereja bahkan dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan sekalipun. Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak, misalnya kritik oleh Marthin Luther seperti: adanya komersialisasi agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama, sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas, sehingga pada puncaknya timbul sebuah reformasi gereja (1517) yang menyulut kebebasan dari para individu yang tadinya “terkekang”.
  1. John Locke dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda
Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature. Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya. Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. Hobbes (1588-1679) berpandangan bahwa dalam State of Nature, individu itu pada dasarnya jelek (egois) sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia ingin hidup damai.
Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa). Sedangkan John Locke (1632-1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.
Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin negara. Sedangkan Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik
  1. Adam Smith
Para ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh pemikiran mahzab klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790).
Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh Sumitro Djojohadikusumo dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama, haluan pandangan Adam Smith tidak terlepas dari falsafah politik, kedua, perhatian yang ditujukan pada identifikasi tentang faktor-faktor apa dan kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan nilai dan harga barang. Ketiga, pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang mendukung kegiatan ekonomi ke arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat. Singkatnya, segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar dimana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan, begitu pula dalam politik.
Liberalisme dan demokrasi, adalah dua hal yang sering disandingkan. Persandingan antara liberalisme dan demokrasi tersebut kemudian lebih dikenal dengan istilah demokrasi liberal. Demokrasi liberal tersebut kemudian disebutkan oleh Fukuyama dalam tesisnya yang terkenal "the End of History" sebagai akhir dari sejarah. Bahwa konflik ideologi telah hilang dan digantikan dengan alasan-alasan demokratik yang rasional. Kemudian, dalam tulisannya yang berjudul "Democracy, the Nation-State, and the Global System", David Held menyebutkan bahwa demokrasi liberal memsusatkan perhatian pada "kesimetrisan" dan "ke-kongruen-an" hubungan antara pengambil keputusan politik dan penerima keputusan politik. Pada abad 20, teori demokrasi telah berfokus pada konteks organisasi dan budaya dari prosedur demokrasi serta dampak dari konteks tersebut pada operasi dari "aturan mayoritas" atau "majority rule".
Tak dapat dihindari bahwa terdapat pertentangan mendasar dalam demokrasi liberal itu sendiri. Dalam hal ini, pertentangan antara prinsip-prinsip dasar dalam demokrasi dan liberalisme sebagai dua hal yang menjadi dasar dari demokrasi liberal. Konflik antara liberalisme dan demokrasi yang terjadi kemudian menimbulkan banyak kritik dari berbagai pemikir dan akademisi. Liberalisme mempunyai mimpi bahwa kesejahteraan manusia dapat diraih dengan kebebasan individu-individu untuk hidup termasuk kebebasan dalam berusaha.
Liberalisme yang sangat menekankan dan mengedepankan kepemilikan individu tersebut pada akhirnya mengabaikan nilai atau prinsip demokrasi yang menekankan equality atau kesetaraan. Prinsip mayoritas yang juga dianut dalam demokrasi pada akhirnya juga terabaikan ketika ekonomi dan politik hanya dikuasai oleh sekelompok minoritas yang memiliki akses terhadap kepemilikan individu. Penulis sepakat dengan pernyataan Marx bahwa demokrasi yang sesungguhnya adalah masa depan dari masyarakat komunis dimana kekuasaan akan kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri mereka sendiri.
Liberalisme menekankan kebebasan. Kebebasan yang dicari manusia sendiri berbeda-beda dan tergantung pada kondisi sosial dan ekonomi yang ada di sekitar mereka. Namun, kaum minoritas yang memiliki hal (kebebasan) tersebut telah mendapatkannya dengan mengeksploitasi sebagian besar yang tidak mendapatkan hal tersebut. Mereka percaya bahwa kebebasan individu adalah sebuah tujuan akhir bagi manusia dan tidak ada yang seharusnya dapat dikurangi dari hal tersebut oleh yang lainnya; paling tidak bahwa beberapa harus menikmatinya dengan biaya orang lain.
Para filsuf seperti Locke, Adam Smith, dan dalam beberapa hal Mill, dengan optimis melihat asal-usul manusia dan memiliki sebuah kepercayaan mengenai kemungkinan dalam mengharmonisasikan kepentingan-kepentingan manusia. Dalam hal ini misalnya mempercayai bahwa keharmonisan sosial dan kemajuan dapat disesuaikan dengan pesan yang luas bagi kehidupan privat melebihi negara ataupun otoritas lainnya.
Dalam hal ini, filsuf seperti Mill sangat mementingkan perlindungan bagi kebebasan individual. Dalam essay-nya yang terkenal, Mill menyatakan bahwa kecuali orang yang tersisa untuk hidup seperti yang mereka inginkan "di jalan mereka sendiri", peradaban tidak bisa maju; kebenaran tidak akan, bagi kurangnya sebuah pasar bebas dalam ide-ide; tidak akan ada lagi ruang untuk spontanitas, orijinalitas, kejeniusan, untuk keberanian moral. Masyarakat akan ditabrak oleh sebuah "kolektif biasa" yang berat.
Hubungan antara demokrasi dan kebebasan individu adalah sebuah perjanjian baik yang lebih lemah daripada yang sepertinya terlihat. Kebebasan dapat mengorbankan kesetaraan. Hal ini adalah sebuah hal yang biasa dalam histiografi Marxis untuk menekankan cara dalam praktek-praktek dari kebebasan borjuis dan sudut pandang formal dari hak yang melindungi mereka baik yang menghasilkan maupun yang menyembunyikan ketimpangan Kelas. Dalam Communist Manifesto, Marx dan Engels menyatakan bahwa "Dengan kebebasan itu berarti, di bawah keadaan-keadaan yang ditampilkan borjuis dari produksi, perdagangan bebas, penjualan dan pembelian secara bebas." Analisis Tocqueville mengenai ancaman kesetaraan dalam kebebasan, adalah bahwa kita harus juga "berjuang untuk mengurangi dampak-dampak yang merugikan dalam demokrasi dan kesetaraan politik yang dihasilkan ketika kebebasan ekonomi memproduksi ketimpangan yang besar dalam pendistribusian sumber daya dan kemudian, secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, dalam sudut pandang Marxisme, merujuk pada pernyataan Leszek Kolakowski, "adalah sebuah mimpi menawarkan prospek sebuah masyarakat dengan persatuan yang utuh, dimana aspirasi dari semua manusia akan dipenuhi, dan dan semua nilai didamaikan; tapi konflik-konflik yang pasti timbul diantara kebebasan dan kesetaraan, dan beberapa konflik dapat "diatasi hanya dengan kompromi-kompromi dan solusi-solusi parsial. Kritik yang paling sering diutarakan bagi demokrasi liberal memang berasal dari perspektif pemikiran politik "Kiri" yang berfokus pada penciptaan kesesuaian yang lebih besar antara representasi politik dan warga negara asli; dalam kasus ini, melalui penambahan mekanisme akuntabilitas demokrasi.
Marx melihat keretakan antara publik dan privat, warga negara dan borjuis, negara dan civil society sebagai dasar-dasar yang krusial bagi filosofi liberal. Dalam essay-nya, On The Jewish Question, Marx menyebutkan bahwa negara-negara liberal maju "menghapuskan" perbedaan berdasarkan pada kelahiran, pendidikan, pekerjaan, tapi hanya dalam rangka bahwa hal tersebut dideklarasikan oleh mereka sebagai sebuah hal yang tidak relevan secara politik. Hal tersebut mengubah politik kepada pelayanan yang egois dan hanya peduli pada materi.
Kritik lain terhadap demokrasi liberal diungkapkan oleh para feminis, salah satunya oleh Anne Philips. Dalam bukunya, Engendering Democracy, Phillips mengungkapkan bahwa sebagaimana kritik lainnnya, demokrasi liberal mencerminkan sebuah jenis ketakutan politik. Dimulai dengan antisipasi kecemasan dari apa yang mungkin dilakukan pemerintah, dan yang kemudian menyusul sebagai perpanjangan hak-hak demokrasi dan hak pilih, yang mengakhiri ketakutan masyarakat itu sendiri.
Demokrasi liberal dirancang pada wilayah di luar kontrol pemerintahan dan terkadang secara formal dengan mendirikan hak-hak individu dan kebebasan dalam sebuah konstitusi yang tertulis tapi lebih umum melalui pergeseran konvensi sejarah menjadi lebih dari apa yang dapat dianggap sebagai sebuah perhatian publik. Dimana sprosedur mengoperasikan negara akan dibatasi dan manjauh dari domain publik. Demokrasi liberal membuat pemisahan antara ruang publik dan privat, atau pemisahan antara sosial dan politik.
Batasan dari liberal yang diletakkan pada pemerintahan tidak hanya dioperasikan untuk melindungi kebebasan-kebebasan individual. Mereka juga mempertahankan ketidakadilan yang dapat membuat olok-olok bagi demokrasi itu sendiri. Hak yang sama untuk memilih misalnya, tidak menjamin sebuah persamaan yang dipengaruhi keputusan politik. Para feminis pun menawarkan hubungan yang erat antara teori feminis dan demokrasi. Para pemikir dan akademisi lainnya pun mencoba mencarikan solusi atas problema konflik antara liberalisme dan demokrasi tersebut. Hal-hal yang hanya bersifat prosedural dalam demokrasi liberal kemudian harus diisi dengan substansi dari demokrasi itu sendiri. Kemudian, akademisi seperti Mouffe pun menawarkan apa yang disebut sebagai demokrsi deliberative dengan penekanannya terhadap imparsialitas dan konsensus nasional.

3.    Perkembangan Liberalisme di Indonesia
3.1  Politik Liberalisme Di Indonesia
Masa antara tahun 1870 dan 1900 di Indonesia pada umumnya disebut zaman Liberalisme. Dengan maksud bahwa pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah kolonial di Indonesia kepada usaha dan modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk menanamkan modal mereka dalam berbagai usaha kegiatan di Indonesia khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Meluasnya pengaruh ekonomi Barat dalam masyarakat Indonesia zaman liberal tidak saja terbatas pada penanaman tanaman perdagangan di perkebunan besar tetapi juga meliputi import barang-barang jadi yang dihasilkan oleh industri-industri yang sedang berkembang di negeri Belanda.
Sistem ekonomi liberal mempermudah bank ekspor maupun impor modal. Penanaman modal di Indonesia terutama terjadi pada industri gula, timah, dan tembakau yang mulai berkembang sejak tahun 1885. dengan dihapuskannya tanam paksa secara berangsur-angsur, maka tanaman wajib pemerintah diganti dengan perkebunan-perkebunan yang diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Penghapusan tanam paksa menyebabkan munculnya sistem ekonomi liberal, dimana Indonesia dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan modal mereka. Pada masa Liberalisme, Komersialisme di Indonesia tampak dengan:
1)      Indonesia dijadikan tempat untuk mencari bahan mentah untuk kepentingan Industri orang-orang Eropa.
2)      Indonesia dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan modal bagi para pengusaha swasta asing. Dengan cara menyewa tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan-perkebuan besar.
3)      Indonesia juga dijadikan sebagai tempat untuk memasarkan hasil-hasil Industri Eropa.
Pada masa Liberalisme ini pulalah merupakan awal munculnya industrialisasi di Indonesia. Munculnya Industrialisasi ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870 ,yang memberikan peluang bagi pengusaha asing (pengusaha dari Inggris, Belgia, Perancis, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang) untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia tetapi tidak boleh menjualnya. Mereka mulai datang ke Indonesia untuk menanamkan modal dan untuk memperoleh keuntungan yang besar.
Tanah penduduk Indonesia yang awalnya merupakan milik pribadi tersebut harus disewa untuk jangka waktu tertentu (25 tahun untuk tanah pertanian, 75 tahun untuk tanah ladang) oleh para pemilik modal swasta asing. Penduduk hanya mendapatkan uang sebagai uang sewa tanah tersebut. Tanah yang disewa  kemudian dijadikan perkebunan-perkebunan besar yang dilengkapi dengan pabrik-pabrik untuk mengolah hasil perkebunan tersebut. Perkebunan-perkebunan tersebut diantaranya Perkebunan Kopi, Teh, Gula, Kina dan Tembakau. Di Deli, Sumatra Timar. Industri di Indonesia awalnya memang hanya industri perkebunan tetapi perkembangannya di Indonesia terdapat industri mesin, industri tambang, dsb. Para pengusaha Indonesia tidak mampu mengalah pengusaha swasta asing.
Sebagai ganti dari eksploitasi pemerintah akan dijalankan kebebasan berusaha dan kerja paksa akan diganti dengan kerja bebas. Akan teatapi sekali lagi perlu diingat, baik partai liberal maupun partai konservatif sepakat bahwa daerah jajahan harus membantu Negara induk dalam kesejahteraan materialnya. Keduanya tidak berkeberatan akan penyumbangan surplus anggaran belanja Hindia-Belanda kepada Nedherland. Soal yang dihadapai golongan liberal adalah bukan bagaimana mengatur daerah koloni, tetapi bagaimana mengatur daerah koloni untuk mendapatkan uang. Dengan demikian, penghapusan tanam paksa tidak berarti berakhirnya penderitaan rakyat karena penarikan modal pemerintah digantikan dengan pemasukan modal swasta.
Terbukanya Indonesia bagi swasta asing berakibat munculnya perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia seperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan batu bara di Umbilin. Menurut Swanto, dkk. (1997) pengaruh gerakan liberal terhadap Indonesia secara umum adalah Tanam paksa dihapus; Modal swasta asing mulai ditanamkan di Indonesia; Rakyat Indonesia mulai mengerti akan arti pentingnya uang; Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor; Pemerintah Hindia Belanda membangun sarana dan prasarana; dan Hindia Belanda menjadi penghasil barang perkebunan yang penting.
3.2  Perkembangan Ekonomi Indonesia Selama Zaman Liberalisme
Perkebunan gula, kopi, tembakau dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya mengalami perkembangan pesat antara tahun 1870 dan 1885. Selama masa ini para pengusaha perkebuann memperoleh keuntungan besar dari hasil penjualan tanaman dagang di pasaran dunia. Sebagian besar perkembangan ini disebabkan oleh pembukaan terusan Suez dalam tahun 1869 yang sangat mengurangi jarak antara Negara penghasil tanaman dagang dan pasaran-pasaran dunia yang terpenting di dunia.
Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman dagang mulai berjalan agak menurun disebabkan oleh jatuhnya harga-harga koli dan gula di pasaran dunia. Dalam tahun 1891 harga tembakau di pasaran dunia juga jatuh dengan pesat sehingga membahayakan kelangsungan hidup perkebunan-perkebunan. Jatuhnya harga. Kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi penanam modal asing dijamin oleh pemerintah kolonial, seperti tenaga kerja dan sewa tanah yang murah. Hal itu dapat dilihat dari isi Undang-Undang agrarian tahun 1870, suatu peraturan yang umumnya dianggap sebagai dimulainya politik kolonial liberal di Hindia Belanda. Peraturan tersebut pada pokoknya berisi dua hal, yaitu pengambilalihan tanah milik penduduk tidak diperbolehkan, dan orang asing boleh menyewa tanah untuk perkebunan. Tidak mengherankan bahwa sesudah tahun 1870 modal asing semakin meningkat mengalir ke Jawa secara intensif.
Pada tahun 1882 pajak kepala diadakan dengan maksud untuk menggantikan wajib kerja. Jumlah per kepala dipungut dari semua warga desa yang kena wajib kerja. Pada tahun ini juga dihapuskan pancen diensten, yang terdiri atas 15 jenis, kecuali kerja wajib untuk perbaikan jalan, dam, tanggul dan saluran air. Dalam politik liberal penetrasi usaha kapitalis berpenetrasi sampai ke individu. Konversi tanah yang dikuasai perseorangan menjadi tanah yang dikuasai tuan perkebunan berarti tanah masuk obyek komersialisasi. Perkembangan selanjutnya sebagian ditentukan oleh faktor-faktor modernisasi lain, seperti komunikasi, birokrasi, adukasi dan industrialisasi pertanian.
Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata tidak lebih baik dari pada tanam paksa. Justru pada masa ini penduduk diperas oleh dua pihak. Pertama oleh pihak swasta dan yang kedua oleh pihak pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda memeras penduduk secara tidak langsung melelui pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta. Padahal, pihak swasta juga ingin mendapat keuntungan yang besar. Untuk itu, para buruh diibayar dengan gaji yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi mempunyai tanah karena sudah disewakan untuk membayar hutang.
Disamping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun menerima perlakuan yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman dari pengusaha jika tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita.
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang.

3.3  Islam Liberal di Indonesia (Era Orde Baru)
Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan Muslim mencoba memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang "Pembaharuan Pemikiran Islam". Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka dapat digolongkan sebagai Islam liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak menafsirkan ajaran Islam.
Menurut Fachri Aly dan Bactiar Effendi (1986: 170-173) terdapat sedikitnya empat versi Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neo-modernisme. Modernisme mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili pemikiran modernisme antara lain Ahmad Syafii Ma‘arif, Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Adapun universalisme sesungguhnya merupakan pendukung modernisme yang secara spesifik berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Betul bahwa Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan final Islam itu sendiri. Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalah akan muncul kalau Islam yang me-nasional atau melokal itu menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap hakikat Islam yang bersifat universal. Pola pemikiran ini, secara samar-samar terlihat pada pemikiran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim.
Pola pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Para pendukung sosialis-demokrasi melihat bahwa struktur sosial politik dan, terutama, ekonomi di beberapa negara Islam termasuk Indonesia, masih belum mencerminkan makna kemanusiaan, sehingga dapat dikatakan belum Islami. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang formalistik. Islamisasi dalam refleksi pemikiran mereka adalah karya-karya produktif yang berorientasi kepada perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis. Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo dapat dimasukkan dalam pola pemikiran ini.
Sedangkan neo-modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional.
Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal, namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri. Ada dua tokoh intelektual yang menjadi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Tampaknya pemikiran Nurcholish (Prisma, nomor ekstra, 1984: 10-22), lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedang pemikiran neo modernisme Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU. Karena itu, ide-ide keislamannya tampak jauh lebih empiris, terutama dalam pemikirannya tentang hubungan Islam dan politik. (Prisma, Nomor ekstra, 1984: 3-9; dan Prisma, 4 April 1984: 31-38).

3.4  Islam Liberal di Indonesia (Era Reformasi)
Sejak akhir tahun 1990-an muncul kelompok-kelompok anak muda yang menamakan diri kelompok "Islam Liberal" yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke-20. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melihat betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok ini, sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalism merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama (Adian Husaini, t.th: 2-4). Dalam Keputusan MUI No. 7/MUNAS VII/11/2005 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al Qur’an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Islam liberal di Indonesia era reformasi nampak lebih nyata setelah didirikannya sebuah "jaringan" kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, bertujuan untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia.mereka melakukan pembangunan milis (islamliberal@yahoo.com). Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para penulis, intelektual dan para pengamat politik. Di antara mereka muncul nama-nama seperti; Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi Assaukanie. Tentu tidak semua orang yang hadir diskusi berarti mendukung ide-ide JIL.
Diskusi awal yang diangkat oleh JIL adalah seputar definisi dan sikap Islam Liberal seputar isu-isu Islam, negara dan isu-isu kemasyarakatan. Pendefinisian Islam Liberal diawali dengan kajian terhadap buku Kurzman yang memilah tradisi keislaman dalam tiga kategori yakni customary Islam, fundamentalis atau Wahabis atau Salafis, dan liberal Islam. Kategori ketiga diklaim sebagai koreksi dan respon terhadap dua kategori yang disebut pertama. Pertanyaan yang muncul dalam diskusi awal itu adalah apakah Islam Liberal di Indonesia akan bersifat elitis dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang menyediakan refleksi empiris, dan memiliki apresiasi terhadap realitas? Kalau Islam Liberal itu paralel dengan civicculture (pro pluralisme, equal opportunity, moderasi, trust, tolerance, memiliki sence of community yang nasional, lalu di mana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah skeptisisme dan agnostisme yang hidup dalam masyarakat Islam? Diskusi dalam milis yang panjang akhirnya tidak menyepakati sebuah definisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka menandai sebuah gerakan dan pemikiran yang mencoba memberikan respon terhadap kaum modernis, tradisional, dan fundamentalis.
Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Pernah suatu ketika, pemikiran dan gerakan ini menuai protes bahkan ancaman kekerasan dari lawan-lawan mereka. Bahkan masyarakat sekitar Utan Kayu pernah juga menuntut Radio dan komunitas JIL untuk pindah dari lingkungan tersebut. Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh lawanlawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal. Ketegangan antara yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya liberalisme, sekularisme dan pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah salah seorang contributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla pergi ke luar negeri, belajar ke Amerika Serikat.
Ulil melalui bukunya Menjadi Muslim Liberal menolak jenis-jenis tafsir keagamaan yang hegemonik, tidak pluralis, antidemokrasi, yang menurutnya potensial menggerogoti persendian Islam sendiri. Dengan gaya narasi dan semantik yang lugas, Ulil misalnya melancarkan kritiknya kepada MUI yang dalam pengamatannya telah memonopoli penafsiran atas Islam. Fatwa MUI yang menyatakan bahwa pluralisme, liberalisme, dan sekularisme adalah faham sesat; Ahmadiyah adalah keluar dari Islam telah menyalakan emosi Ulil.
Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai alumni pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan pesantren. Melalui kolomnya On Being Muslim kita tahu bahwa Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalisme pemikiran keislamannya juga dari ilmu-ilmu tradisional seperti ushûl alfiqh, qawâ‘id al-fiqhiyah yang dahulu diajarkan oleh para ustadznya di pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah dan mantiq (logika) tampaknya turut melatih Ulil perihal bagaimana menstrukturkan kata dan kalimat, mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar.
Sayangnya, hanya kalangan fundamentalis saja yang mencoba melakukan perlawanan retorik. Majalah seperti Sabili, Hidayatullah, dan media-media di lingkungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mencoba untuk memberikan counter opini terhadap gagasan-gagasan yang diusung oleh JIL. Setelah Ulil pergi, dinamika pemikiran dan gerakan Islam kontemporer kembali adem ayem.

4.    Pengaruh Liberalisme Terhadap Perkembangan Sejerah Lokal dan Nasional
Sejarah nasional mempunyai peranan sangat penting dalam membina nasionalisme suatu bangsa. Negara nasional yang diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta untuk selama-lamanya itu ternyata mampu bertahan terhadap bermacam-macam ancaman mulai dari ancaman kolonialisme tua, perpecahan ideologi dan pertentangan agama yang sampai sekarang terus membayangi baik dari luar maupun dari dalam. Kolonialisme kuno yang dulu menggunakan kekuatan militer, sekarang menjelma menjadi Liberalisme kapitalisme yang menjalankan praktek imperialisme lewat jalur ekonomi dan diplomasi.
Pengaruh liberalisme dan sekaligus arus globalisasi dapat terasa dengan berwujud adanya degradasi wawasan nasional dan wawasan ideologi nasional. Demikian pula adanya degradasi mental ideologi, seperti budaya demokrasi liberal dan HAM individualisme-egoisme bukan kesatuan dan kerukunan sebagai asas moral filsaafat dan ideologi bangsanya. Perhatikan beberapa fenomena sosial politik dan ekonomi (neo-liberal) dalam era reformasi sebagai praktek budaya: kapitalisme dan liberalisme dan neo-liberalisme dalam hampir semua bidang kehidupan Indonesia, bermuara sebagai neoimperialisme. Sinergis dengan kondisi global maka dalam NKRI juga tantangan kebangkitan neo-PKI/KGB. Jika merunut sejarah maka pengatuh liberalisme di Indonesia dalam Sejarah Nasional dapat dijelaskan melalui fenomena berikut:
1.    Watak setiap ajaran filsafat dan ideologi dengan asas dogmatisme senantiasa merebut supremasi dan dominasi atas berbagai ajaran filsafat dan ideologi yang dipandangnya sebagai saingan. Ideologi kapitalisme-liberalisme yang dianut negara-negara Barat sebenarnya telah merajai kehidupan berbagai bangsa dan negara: politik kolonialisme-imperialisme. Karena itulah, ketika perang dunia II berakhir 1945, meskipun mereka meraih kemenangan atas German dan Jepang, namun mereka kehilangan banyak negara jajahan memproklamasikan kemerdekaan, termasuk Indonesia. Sejak itulah penganut ideologi kapitalisme-liberalisme menetapkan strategi politik neo-imperialisme untuk melestarikan penguasaan ekonomi dan sumber daya alam di negara-negara yang telah mereka tinggalkan (disusun strategi rekayasa global, 1947).
2.    Melalui berbagai organisasi dunia, mulai PBB, World Bank dan IMF sampai APEC dipelopori Amerika Serikat mereka tetap sebagai kesatuan Sekutu dan Unie Eropa dalam perjuangan merebut supremasi politik dan ekonomi dunia (neo-imperialisme). Lebih-lebih dengan berakhirnya perang dingin (1950-1990) mereka makin menunjukkan supremasi politik neo-imperialisme.
3.    Hampir semua negara berkembang yang kondisi ipteks, industri dan ekonomi amat tergantung kepada negara maju (G-8) maka melalui bantuan modal pembangunan baik bilateral maupun multilateral, seperti melalui IMF dan World Bank, termasuk IGGI kemudian CGI semuanya mengandung strategi politik ekonomi negara Sekutu (USA dan UE).
4.    Melalui kesepakatan APEC, mereka mempropagandakan doktrin ekonomi liberal, atas nama ekonomi pasar tidak boleh ada proteksi demi peningkatan kemampuan dan kemandirian. Sementara potensi ekonomi berbagai negara berkembang tanpa proteksi, tanpa daya saing yang memadai semuanya dilumpuhkan dan ditaklukkan. Tercapailah politik supremasi ekonomi kapitalisme-liberalisme, sebagai neo-imperialisme.
5.    Sesungguhnya sejak dimulai perang dingin (sekitar 1950-1985) Sekutu telah menampilkan watak untuk merebut dominasi dan supremasi politik internasional. Kondisi perang dingin yang amat panjang meskipun menguras dana dan biaya perang (angkatan perang dan persenjataan), namun juga dijadikan media propaganda bahwa otoritas supremasi politik dan ideologi dunia tetap dimiliki Blok Barat. Supremasi politik dan ideologi ini juga didukung oleh supremasi IPTEKS sehingga banyak intelektual negara berkembang yang belajar IPTEKS ke negara-negara blok Barat. Sebagian intelektual kita itu telah tergoda dan terlanda wawasan politiknya, sehingga sebagai elite reformasi mempraktekkan demokrasi liberal, ekonomi liberal, bahkan juga budaya negara federal.
Dalam konteks sejarah lokal pengaruh liberalisme mengakibatkan Pemujaan demokrasi liberal atas nama kebebasan dan HAM telah mendorong bangkitnya primordialisme kesukuan dan kedaerahan. Mulai praktek otoda dengan budaya negara federal sampai semangat separatisme. Fenomena ini membuktikan degradasi nasional telah makin parah dan mengancam integritas mental ideologi Pancasila, integritas nasional dan integritas NKRI, dan integritas moral. Hendaknya kita kembali mendalami Ideologi Pancasila.
Alasan saya setuju dengan pelaksanaan sistem Liberal di Indonesia karena sistem liberalisme berguna melindungi hak-hak asasi manusia. Sistem politik liberalisme karena menekankan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia, maka infrastruktur/struktur masyarakat/struktur sosial selalu berusaha untuk mewujudkan tegaknya demokrasi dan tumbangnya sistem kediktatoran. Menumbuhkan inisiatif dan kreasi masyarkat dalam mengatur kegiatan ekonomi. Masyarakat tidak perlu menunggu komando dari pemerintah. Menyebabkan Amerika Serikat menentukan garis kebijaksanan didalam memberikan bantuan terhadap negara-negara yang sedang berkembang dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia, pemerintah negara-negara di dunia harus menggunakan sistem demokrasi.
Selain itu Setiap individu bebas untuk memiliki sumber-sumber daya produksi, hal ini mendorong partisipasi masyarakat dalam perekonomian. Timbul persaingan untuk maju karena kegiatan ekonomi sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat. Menghasilkan barang-barang bermutu tinggi, karena barang yang kurang bermutu tidak akan laku di pasar. Efisiensi dan efektivitas tinggi karena setiap tindakan ekonomi didasarkan atas motif mencari keuntungan. Kontrol sosial dalam sistem pers liberal berlaku secara bebas. Berita-berita ataupun ulasan yang dibuat dalam media massa dapat mengandung kritik-kritik tajam, baik ditujukan kepada perseorangan lembaga atau pemerintah. Serta masyarakat dapat memilih partai politik tanpa ada gangguan dari siapapun.

DAFTAR RUJUKAN

Nurcholish Madjid. 1984. Suatu Tatapan Islam terhadap Masa Depan Politik         Indonesia. Jakarta: Prisma.
Sukarna. 1990. Sistem Politik 2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Anonim. 2011. Macam-Macam Ideologi Beserta Negara. [serial online]
http://nandarawrr.blogspot.com/2011/07/macam-macam-ideologi-beserta-negara.html. [diakses pada tanggal 20 September 2014]
Setiawan Adi Adel. 2012. Sistim Politik Liberal. [serial online]
Setiawan Arif. 2011. Liberalisme. [serial online]
http://arifsetiawan06.blogspot.com/2011/12/liberalisme.html. [diakses pada tanggal 28 September 2014]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar