STRATEGI MARITIM
“Pada Perang Laut Nusantara Dan Poros
Maritim Dunia”
Karya Herry Setianegara, S. Sos., S.H.,
M.M. Laksamana Muda TNI
BAB II Ekspedisi Lintas Laut Pati Unus, Perang
Fatahillah Melawan Kekuasaan Portugis, Dan Perang Banten Melawan VOC
Menjelang
keruntuhan Majapahit sebagai kekuatan besar maritim di Nusantara telah
menempatkan Kesultanan Demak menjadi salah satu kandidat pemangku hegemoni
kekuasaan di Nusantara. Kesultanan Demak meluaskan wilayah kekuasaannya dengan
cara melakukan aliansi serta pertahanan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara
khususnya yang berideologi Islam seperti Kesultanan Cirebon dan kerajaan di wilayah
Sumatera; mempersempit pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Pajajaran sebagai salah
satu kerajaan Hindu terbesar dan berpengaruh di Jawa Barat; dan berusaha
menguasai jalur-jalur penghubung sertapusat perniagaan maritim seperti Malaka,
Banten, dan Sunda Kelapa.
Dengan
dikuasainya Malaka oleh Portugis dan sistem monopoli perdagangan yang
diterapkan serta penyebaran agama Kristen secara paksa yang menghancurkan
kapal-kapal dagang muslim, mendorong Kerajaan Demak untuk melakukan ekspedisi
armadanya ke Malaka dengan tujuan mengambil alih Malaka dari tangan Portugis
dan menghambat pengaruh agama yang dibawa oleh pihak Potugis ke Nusantara. Maka
dari itu, dalam waktu setahun Pati Unus segera mempersiapkan armadanya untuk
diberangkatkan ke Malaka.
Ekspedisi
Pati Unus ke Malaka pada tahun 1512 memiliki kekuatan 10.000 orang prajurit yang
diangkut menggunakan 100 buah kapal yang diperoleh dari kerajaan-kerajaan
sekitar Demak. Strategi yang digunakan Pati Unus untuk menyerang Portugis tidak
hanya mengandalkan serangan dari arah laut, namun juga dengan serangan dari
dalam Malaka.
Bersama
dengan Raden Kusen, Pati Unus membuat siasat untuk membawa armadanya melambung
melalui pantai barat Sumatra sehingga tidak langsung mengarah ke Malaka, hal
ini untuk mengecoh strategi penghadangan yang sudah diatur oleh pihak Portugis.
Keberangkatan armada Pati Unus dari Jawa untuk menyerang Malaka sudah diketahui
oleh pihak Portugis pada bulan Desember 1512. Sehingga Pemerintahan Portugis
bernama de Adreade untuk segera mempersiapkan seluruh kekuatan menyongsong
kehadiran musuh. Kekalahan armada Pati Unus membawa pengaruh terhadap
kewibawaannya pada kerajaan-kerajaan yang berada di sekitarnya.
Sampai
dengan dekade kedua abad ke-16, Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang memiliki
nilai strategis secara ekonomi dan politik dari Kerajaan Hindu Pajajaran. Kawasan
Jawa Barat yang sampai tahun 1526 di kuasai Pajajaran menjadi fokus politik
ekspansi Kerajaan Demak dengan tujuan melakukan Islamisasi di wilayah itu dan
memancapkan pengaruh secara politis dan mengontrol kegiatan perdagangan di
pantai pulau Jawa bagian barat dan Selat Sunda. Politik ekspansi ini berarti
berhadapan dengan Kerajaan Pajajaran yang sejak tahun 1522 menjalin kerja sama
dengan Portugis. Kepentingan antara Portugis dan Pajajaran itu dituangkan dalam
perjanjian persahabatan militer dan ekonomi, yaitu Perjanjian Padrao (Padrong).
Pada
awal tahun 1527, Fatahillah menggerakkan armadanya ke Sunda Kelapa, sementara
pasukan Banten secara bertahap menduduki wilayah demi wilayah Pajajaran bagian
barat. Sedangkan pasukan Cirebon bergerak menguasai wilayah Pajajaran bagian
timur Jawa Barat. Armada Demak dengan mudah melumpuhkan armada kapal perang
Kerajaan Pajajaran kemudian segera merapat ke pelabuhan dibawah hujan peluru
meriam dari pantai yang selalu meleset
karena kurangnya keterampilan prajurit pengawaknya. Dalam waktu sehari
Sunda Kelapa dapat dikuasai oleh pasukan Fatahillah.
Pada
bulan Juni 1527 kapal-kapal Potugis telah berada di Teluk Sunda Kelapa untuk
merapat dan menurunkan pasukan bersenjata lengkap sebagai realisasi perjanjian
pembangunan loji antara Portugis dan Pajajaran. Penguasan baru Sunda Kelapa menolak
maksud Portugis itu dan berakhir dengan pertempuran di Kota Sunda Kelapa. Kemenangan
pertempuran ini menunjukkan kehebatan pasukan Kerajaan Demak yang dipimpin oleh
Fatahillah. Atas kemenangannya kemudian Fatahillah diangkat sebagai gubernur di
Sunda Kelapa. Pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah mengubah nama pelabuhan
Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan mutlak.
Sebelum
zaman Islam, Banten sudah memiliki kemajuan di berbagai bidang termasuk
pelayaran dan perdagangan. Munculnya Sultan Ageng Tirtayasa membawa Banten ke
puncak kejayaan. Di bawah pemerintahannya Banten memiliki armada yang mengesankan,
untuk mengamankan jalur pelayarannya Banten mengirim armada lautnya ke Sukadana
atau Kerajaan Tanjungpura, Banten juga berupaya untuk keluar dari tekanan VOC
dengan melakukan blokade kapal-kapal dagangnya menuju Banten.
Karena
letaknya berdekatan dengan Banten, VOC di Batavia sering terlibat konflik untuk
berebut pengaruh pada jalur perdagangan. Tentara kesultanan, terus-menerus
melakukan pengrusakan tanaman tebu milik Belanda, pencegatan pengawal-pengawal
Kompeni dan penyerangan terhadap kapal-kapal Kompeni di perairan Banten.
Setelah terlibat konflik yang berlarut-larut, pada akhir tahun 1657 keduanya
menyetujui untuk melakukan perundingan damai disebabkan tingginya kerugian
akibat peperangan dari kedua belah pihak.
Kesepakatan
itu musnah ketika usul Sultan Ageng Tirtayasa yang menghendaki agar rakyat
Banten diperbolehkan berkunjung ke Batavia untuk berbelanja dan melakukan
pelayaran ke Ambon dan Perak dengan tujuan mengambil rempah-rempah dan hasil
bumi lainnya tanpa dipungut biaya ditolak oleh Gubernur Jenderal Kompeni. Pada
tanggal 11 Mei 1658, Sultan Ageng Tirtayasa menyatakan perjanjian damai tidak
mungkin diterima oleh sebab itu tidak ada jalan lain kecuali melanjutkan
perang.
Setelah
perintah tempur dilayangkan, pertempuran terjadi beik di darat maupun di laut
antara pasukan Banten melawan Kompeni. Di darat pasukan Banten mampu membakar
perkampungan, perkebunan tebu, dan pabrik-pabrik yang menjadi sarang pertahanan
Kompeni. Pertahanan yang berada di laut pun memperoleh kemenangan, beberapa
sekoci kapal besar milik Belanda berhasil dihancurkan bersama penumpang dan
awak kapalnya. Di sisi lain Surosowan sebagai pusat pertahanan ibu kota juga
memperoleh hasil yang memuaskan. Duel itu membuktikan bahwa Banten memiliki
armada laut yang kuat dan tak tertandingi.
Kerugian
besar akibat perang dialami oleh Kompeni, akhirnya Belanda menawarkan
perjanjian damai dengan Banten yang ditandatangani pada tanggal 10 Maret 1659.
Akan tetapi, sejak tahun 1671 muncul lagi kategangan yang diakibatkan oleh
adanya campur tangan Belanda dalam masalah intern Kesultanan Banten. Pada tahun
1676 Putra Mahkota Sultan mendapat gelar Sultan Haji berbalik memihak Kompeni
dan melawan ayahnya karena iming-iming kekuasaan dan kesenangan dunia.
Atas
tindakannya pada tahun 1682, Sultan Ageng Tirtayasa mengirim pasukan untuk
menyerang Surosowan sebagai bentuk hukuman kepada putranya. Siasat gerilya yang
dilakukan Sultan cukup merepotkan Kompeni, namun karena Kompeni menjalankan
tipu muslihat melalui Sultan Haji akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa berhasil
ditangkap oleh Belanda di keraton Sultan Haji dan membawanya ke Batavia hingga
wafat dalam penjara pada tahun 1692.
BAB III Perlawanan Sultan Hasanuddin dan Pattimura
Terhadap Kolonial Belanda
Kesultanan
Gowa merupakan salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di
Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa mencapai puncak keemasan pada masa pemerintahan
Raja Gowa XV yaitu Manuntungi Daeng Matolla yang bergelar Sultan Mahmud Said
atau Malikussaid dari tahun 1639-1653. Pada masa itu, Sombaopu yang sekaligus
sebagai Ibu Kota Kerajaan Gowa berkembang menjadi bandar dan pelabuhan yang
paling ramai di Indonesia timur. Disamping berperan dalam perekonomian,
Sombaopu juga mempunyai peranan penting dalam aspek politik, sosial, dan
budaya.
Pada
tahun 1655 puncak Kerajaan Gowa mangalami perubahan, Sultan Malikussaid wafat
dan di gantikan putranya I Maalombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape yang
bergelar Sultan Hasanuddin. VOC mengira Sultan Hasanuddin dapat diajak bekerja
sama untuk meredakan ketegangan yang berjalan cukup lama. Pada bulan Oktober
1655, VOC mengirimkan utusannya kepada Sultan Hasanuddin untuk berdamai. Tetapi
Willem van der Beek dan Chodji Sulaiman mengajukan usulan-usulan yang bersifat
menuntut, usulan itu ditolak Sultan Hasanuddin sebab sangat merugikan rakyat
Gowa dan mengurangi pengaruh Kerajaan Gowa atas jalur perdagangan internasional
dari Maluku ke Malaka. Pada bulan Januari dan Febuari 1660, VOC mengirimkan
armada besar yang dipimpin oleh Mr. Johan van Dam. Dalam serangan ini VOC
menggunakan taktik mengalihkan perhatian dari sasaran pokok yang akan diserang.
Setelah
terjadi pertempuran sengit selama dua hari dan menimbulkan korban dari kedua
belah pihak, akhirnya perlawanan Laskar Gowa dapat dipatahkan dan Benteng Panakkukang
diduduki VOC pada 12 Juni 1660. Untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih
banyak lagi, pada tanggal 19 Agustus 1660 kedua belah pihak mengadakan
perundingan di Batavia untuk menghentikan pertempuran. Perundingan ini tidak
diterima oleh Sultan Hasanuddin, karena dapat mengurangi kebesaran dan
kekuasaan Gowa serta membawa Gowa menuju kehancuran. Ia juga tidak setuju bila
mitra dagangnya, yaitu orang Portugis yang telah lama ada di Makassar diusir.
Untuk
memperlemah VOC, Gowa menyerang sekutu VOC yaitu Kesultanan Buton pada tahun
1622. Pertengahan tahun 1666, Sultan Hasanuddin menggerakkan armadanya yang
dipimpin Laksamana Karaeng Bontomarannu bersama Datu Luwu dan Sultan Bima untuk
menyerang Button. Pada bulan November 1666, VOC menyerang jantung Gowa secara
besar-besaran dan mengirimkan armadanya dibawah pimpinan Aru Pallaka Kapitan
Jonker. Bulan Desember 1666, armada yang dipimpin oleh Cornelis Speelman tiba
diperairan Sombaopu. Armada ini dibantu oleh VOC yang berada di benteng
Panakkukang, jelas itu merupakan ancaman serius bagi benteng dan istana
Sombaopu.
Pada
tanggal 21 Desember 1666, armada VOC menaikkan bendera perang dan mulai
menembak ke benteng Sombaopu dengan gencarnya dan bersiap-siap untuk
mendaratkan pasukannya. Tembakan dari kapal ini dibalas dengan tembakan meriam
yang lebih gencar dari benteng, bahkan jangkauan tembaknya lebih jauh. Pada
tanggal 1 Januari 1667, armada Speelman mendarat dan langsung menyerang
pertahanan Gowa di Button. Dari Button Speelman merencanakan akan menyerang
Gowa dari selatan, kekuatan pasukan dipecah menjadi dua, yaitu kekuatan dilaut
dipimpin oleh Speelman yang akan menyerang dari arah barat dan kekuatan didarat
dipimpin Aru Pallaka yang bergerak ke benteng Galesong.
Pada
tanggal 13 Juli 1667, armada Speelman telah berada di perairan depan Sombaopu
dan mulai menyerang dengan tembakan-tembakan meriam ke arah benteng pertahanan
Sombaopu. Karena mendapatkan perlawanan sengit, armada Speelman mundur dan
bergerak ke selatan untuk membantu menyerang benteng Galesong. Kekalahan Gowa
di Galesong menimbulkan efek negatif, sebab dengan kekalahan tersebut
daerah-daerah taklukan mulai berani membangkang dan ingin melepaskan diri
bahkan secara terang-terangan menyerang kerajaan yang menjadi sahabat Gowa.
Pada
tanggal 18 November 1667 di Bongaya dekat Barombong, dibuatlah perjanjian
Bongaya. Sejak perjanjian ini VOC mulai menancapkan kakinya dan memperkokoh
kekuasaannya di Sulawesi Selatan dan Nusantara bagian timur. Namun terlepas
dari perjanjian itu VOC tetap menekan Gowa, mereka menginginkan agara Gowa
hancur dengan sebenar-benarnya dan Sultan Hasanuddin dapat diasingkan atau
dihukum mati.
Pada
tahun 1602 pedagang-pedagang Belanda mendirikan kongsi dagang bernama VOC yang
bertujuan untuk memperoleh barang dagangan berupa rempah-rempah dari sumbernya,
terutama daerah Maluku. Selama berada di Maluku, VOC mengembangkan masyarakat
negeri pantai Kepulauan Ambon-Uliase mendapatkan Hak Atas Tanah (Dati), Sistem
Pemerintahan Desa (Negeri), dan Sistem Pendidikan Desa. Sistem-sistem tersebut
merupakan unsur yang mengikat kehidupan penduduk Ambon-Lease yang serasi,
selain memiliki dampak positif terasa pula kepincangan-kepincangan yang
ditimbulkan sistem-sistem tersebut.
Sejak
bagian kedua abad ke-18, korupsi mulai menjalar di kalangan-kalangan penjabat
Belanda. Pelanggaran-pelanggaran atas peraturan lain yang dilakukan pejabat
meliputi hampir seluruh segi kehidupan pedesaan. Rencana-rencana VOC banyak yang
menggelisahkan rakyat Maluku. Setelah dilaksanakan perundingan di pihak Maluku,
Pattimurah mulai melaksanakan serangan dengan melibatkan seluruh rakyat Maluku
untuk merebut benteng Duurstede yang merupakan simbol kejayaan Belanda. Setelah
menyerbu benteng Duurstede pada tanggal 16 Mei 1817 Pattimura sudah
merencanakan penyerbuan ke arah benteng Zeelandia di Pulau Haruku.
Usaha
Belanda untuk menangkap Kapitan Pattimura terus-menerus mengalami kegagalan dan
akhirnya Kapitan Pattimura ditangkap disebuah rumah di daerah Siri-Sori.
Pattimura dapat ditangkap karena penghianatan salah satu anak buahnya,
Pattimura digiring dengan tangan berborgol dan dibawa ke kapal perang Evertzen.
Pada tanggal 16 Desember 1817, para pemimpin perlawanan Maluku di hukum gantung
di benteng Nieuw Victoria di tepi Pantai Ambon. Sebelum digantung Pattimura
mengucapkan sebuah kata-kata “Pattimura-Pattimura
tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura muda akan bangkit kembali dan melawan”.
BAB IV Teori Strategi Maritim
Maritim
mengandung arti gabungan beberapa komponen seperti dermaga dan fasilitas
pelabuhan, armada kapal niaga, sumber daya kelautan, dan angkatan laut.
Sedangkan strategi maritim suatu seni yang mengarahkan aset-aset maritim untuk
mencapai tujuan atau sasaran politik yang diinginkan. Tempat bermain utama dari
strategi maritim adalah lautan dan kemampuan yang dimiliki agar mudah tercapai sea power atau kekuatan laut (aspek
kekuatan nasional yang relevan baik sipil dan militer). Beberapa teori strategi
maritim yang mempengaruhi strategi maritim negara-negara didunia antara lain.
1.
Teori Alfred Thayer Mahan
Dalam membangun
sebuah negara yang memiliki kekuatan angkatan laut besar, menurut Mahan
diperlukan enam elemen pokok yang akan menjadi modal utama, yaitu:
a.
letak geografi (geographical
position);
b.
bangun muka bumi (physical
conformation);
c.
luas wilayah (extent
of territory);
d.
karakter masyarakat (character
of the people);
e.
jumlah penduduk (number
of population); dan
f.
karakter pemerintahan (character of government).
2.
Teori Sir Julian Corbett
Ide-ide yang
dikembangkan oleh Sir Julian Corbett antara lain berkaitan dengan azas tentang
strategi maritim yang berkaitan dengan tujuan perang laut dan hasil yang
diharapkan. Sir Julian Corbett menekankan bahwa teori perang diperlukan sebagai
pemersatu kekuatan yang dimiliki oleh negara di darat maupun di laut. Sir
Julian Corbett menyatakan bahwa tujuan dari perang laut adalah commad of the sea dalam bentuk
pengendalian laut (sea control).
3.
Teori Ken Booth
Menurut Ken Booth
angkatan laut secara universal mempunyai peran penting, yaitu peran militer
pada hakikatnya adalah penggunaan kekuatan secara optimal; peran diplomasi dan
peran polisional. Secara eksplisit Ken Booth mengemukakan tentang sea power dengan pendekatan terhadap
pencapaian peran universal angkatan laut.
4.
Teori Sir Herbert Richmond
Sir Herbert
Richmond berpendapat bahwa elemen-elemen kekuatan maritim yang penting ada
tiga, yaitu armada niaga, armada tempur, dan pangkalan diseberang lautan.
5.
Teori Geoffery Till
Pada dasarnya Sir
Herbert Richmond menganut teori yang dikemukakan Mahan. Kekuatan laut dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sumber kekuatan dan unsur-unsur
kekuatan. Hubungan antara sumber-sumber kekuatan dan sumber-sumber kekuatan menentukan
kekuatan laut dari suatu negara.
Strategi Pertahanan
Laut Nusantara (SPLN) merupakan strategi pertahanan negara yang dilaksanakan
dilaut melalui operasi gabungan, operasi matra, dan operasi bantuan dengan
mendudukan kekuatan nasional. Strategi maritim hendaknya disusun berdasarkan
faktor-faktor determinasi, tujuan, tinjauan singkat dengan negara-negara yang
berbatasan langsung, maritim domaian
awareness, dan penggunaan kekuatan.
Stategi maritim
akan terlaksana dalam suatu cara yang berkaitan dengan teori-teori intelijen
secara umum. Intelijen memiliki tiga wujud (trinity)
yaitu sebagai pengetahuan (knowledge),
sebagai kegiatan (activity) mencari
pengetahuan yang diinginkan, dan sebagai organisasi (organization) yang menyelenggarakan kegiatan untuk mencari
pengetahuan yang diinginkan. Secara teoritis itulah pemahaman dasar mengenai
intelijen dan dalam tahapan selanjutnya jajaran intelijen diberikan penugasan
untuk meniadakan ancaman.
BAB
V Analisa Strategi Maritim Perang Laut Nusantara
Ekspedisi Lintas
Laut Pati Unus ke Malaka merupakan strategi maritim yang berbentuk proyeksi
kekuatan atau maritim power projection.
Melalui strategi penguasaan laut yang direncanakan oleh pihak Demak, diharapkan
dapat mengontrol jalur perdagangan di Malaka sehingga diperoleh kebebasan
penggunaan laut untuk kepentingan sendiri pada waktu dan wilayah tertentu dan
mencegah lawan untuk menggunakannya. Kelemahan Pati Unus adalah kurang
berperannya unsur intelijen sehingga pasukan Pati Unus mengalami kekalahan pada
saat melakukan penyerangan ke benteng Portugis di Maluku. Strategi yang
diterapkan oleh pihak Portugis adalah penguasaan kelautan, pengendalian laut,
pencegahan penggunaan laut, dan penangkalan. Dalam rangka mencapai tujuan
Portugis melakukan berbagai macam persiapan, pengadaan, dan pemanfaatan sumber
daya, sarana, dan prasarana.
Dalam strategi
pertempuran antara Pajajaran, Portugis, dan Demak digunakan strategi Jenderal
Andrew Jackson Goodpaster. Portugis bertujuan menguasai perdagangan laut di
pelabuhan-pelabuhan penting seperti Malaka dan Sunda Kelapa. Strategi Portugis
dalam menguasai Malaka dilakukan dengan cara bertahap, sedangkan untuk Sunda
Kelapa dilakukan dengan cara pertempuran politik. Portugis lebih mengedepankan
strategi maritim daripada strategi kontinental mengingat mereka belum menguasai
wilayah darat dari Kerajaan Pajajaran. Strategi kontinental Fatahillah
bertujuan menutup semua pintu masuk Portugis ke Pulau Jawa dan aspek maritimnya
dengan menguasai dan mengendalikan semua pelabuhan di Pajajaran. Fatahillah
lebih bervisi strategi maritim daripada strategi kontinental karena kesadaran
akan potensi diri, kesadaran akan bentuk ancaman nyata dari lawan, dan
kesadaran akan kondisi lingkungannya.
Taktik dan strategi
yang dibangun Sultan Ageng Tirtayasa adalah membangun benteng pertahanan di
Surosowan baik laut maupun darat. Tujuan VOC dalam konsep pertahanan grand strategy nya menempatkan
kepentingan perluasan wilayah koloninya. Sedangkan cara yang ditempuh VOC
selain membangun benteng di Batavia juga pos-pos lain seperti Angke, Pesing,
Grogol.
Kerajaan Gowa
sangat memperhatikan terjaminnya keamanan jalur perdagangan lautnya. Mahan juga
mengungkapkan kekuatan laut yang kurang diberdayakan secara baik dan maksimal
akan sangat merugikan negara. Sedangkan strategi VOC adalah blokade laut,
proyeksi kekuatan dari laut ke darat, pengelabuhan, dan mengadakan perundingan.
VOC bukan hanya persekutuan dagang tetapi juga sebagai armada perang maritim
untuk mematahkan kekuatan negara-negara di Eropa.
Rakyat Maluku
menggunakan strategi maritim pertahanan pantai dalam rangka mempertahankan
kekuasaan atas benteng. Menurut Liddel Hart, konsep pendekatan pasukan
Pattimura yaitu konsep pertahanan menyebar, bukan memusat. Sedangkan strategi
maritim yang diterapkan Belanda adalah menguasai Kepulauan Maluku yang berpusat
di Ambon dan merupakan bentuk sea command
dan sea control oleh Belanda.
BAB VI Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia
Strategi Majapahit
mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih
Gajah Mada. Laut harus dipandang sebagai kesatuan wilayah, sumber kehidupan,
media perhubungan utama, wahana merebut pengaruh politik dan wilayah utama
penyanggah pertahanan. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut seharusnya lebih
bersifat outward looking, pengelolahan
sumber daya kelautan perlu fokus pada aktivitas memanfaatkan kekayaan sumber
daya untuk menyejahterahkan rakyat yang diimbangi dengan upaya menjaga
keberlanjutannya dengan mematuhi kaidah-kaidah ekologis.
Memanfaatkan posisi
strategis Indonesia sebagai poros maritim dunia merupakan keharusan karena akan
ikut meningkatkan kesejahteraan bangsa. Diperlukan kemampuan maritim yaitu
kemampuan ekonomi, politik, dan militer dari suatu bangsa yang diwujudkan pada
pegaruhnya dalam menggunakan laut untuk kepentingan sendiri dan mencegah
penggunaan laut oleh pihak lain yang merugikan pihak sendiri. Pada masa Ir.
Soekarno melalui PM Djuanda Kartawidjadja berhasil mengeluarkan deklarasi
Djuanda tahun 1957 yang merupakan penegasan kepada dunia internasional tentang
konsep jati diri NKRI sebagai wilayah laut.
Energi kebaharian
ditemukan kembali pada masa Reformasi yang diawali oleh Abdurahman Wahid dengan
mendirikan Departemen Eksplorasi Kelautan, mencanangkan Hari Nusantara setiap
tanggal 13 Desember. Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, kita harus merelakan
Pulau Sipadan dan Ligitan lepas akibat mengesampingkan sektor bahari termasuk
pulau-pulau terdepan di Nusantara ini. Di tangan Presiden SBY tetap
memmpertahankan kelembagaan yang menjadi ciri khas kemaritiman Indonesia.
Pemerintahan Joko Widodo mempunyai visi tentang pembangunan Indonesia
berwawasan maritim dapat diartikulasikan sebagai konstelasi geografis
Indonesia, cara hidup, dan pembangunan berwawasan maritim. Penyusunan strategi
maritim Indonesia sebagai poros dunia hendaknya mengandung hal-hal:
a.
sejarah kemaritiman yang up to date;
b.
menjelaskan tentang geopolitik dan konstelasi kawasan
Indonesia;
c.
menjelaskan tentang perdagangan maritim dan security of energy;
d.
menjelaskan dan membahas tentang maritime domain awareness;
e.
menjelaskan tentang penggunaan strategi di masa damai;
f.
menjelaskan tentang penggunaan strategi kekuatan di masa
konflik; dan
g.
menjelaskan tentang strategi pembangunan kekuatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar