TRADISI GREBEG SEKATEN
DAN GREBEG MAULUD
DI YOGYAKARTA
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Sejarah Kebudayaan
Dosen
Pengampu Drs. Sumarno. M, Si
Makalah
Oleh:
NUR MA’RIFA 120210302087
KELAS C
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan ridho-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Tradisi Grebeg Sekaten
dan Grebeg Maulud di Yogyakarta” dengan tepat waktu. Yang mana penulisan makalah ini saya gunakan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Sejarah Kepariwisataan Sejarah
dan Budaya.
Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Drs. Sumarno. M, Si selaku dosen pembimbing mata kuliah Sejarah
Kebudayaan. Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang
telah banyak membantu dan memberikan motivasi kepada saya dalam penyelesaian
makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan, sehingga saya selaku penyusun membutuhkan kritik dan
saran dari pembaca yang nantinya akan saya gunakan sebagai perbaikan makalah
ini selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
maupun pembaca.
Jember, April
2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1
Latar Belakang 1
1.2
Rumusan Masalah 2
1.3
Tujuan 3
BAB 2. PEMBAHASAN 4
2.1
Sejarah Tradisi Grebeg
Sekaten 4
2.2
Sejarah Tradisi Grebeg
Mulud 6
2.3
Prosesi Pelaksanaan
Tradisi Grebeg Sekaten 8
2.4
Prosesi Pelaksanaan
Tradisi Grebeg Maulud 11
2.5
Makna dalam Tradisi Grebeg
Sekaten 13
2.6
Makna dalam Tradisi Grebeg
Maulud 17
BAB 3. SIMPULAN 22
3.1
Kesimpulan 22
DAFTAR PUSTAKA 24
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang memilki
keanekaragaman. Mulai dari bahasa, suku, budaya dan sebagainya. Keragaman
budaya atau “cultural diversity”
adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia
adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Masyarakat Indonesia
juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang
merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada
didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal
tersebar di pulau-pulau di Indonesia yang memiliki letak geografis yang berbeda-beda. Mulai dari
pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan.
Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan
masyarakat di Indonesia yang berbeda.
Dengan keanekaragaman kebudayaannya
Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara
lainnya. Indonesia mempunyai kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan hal
terpentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai
jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu.
Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang
penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia.
Interaksi peradaban ini pada dasarnya telah membangun bangsa Indonesia dalam
berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu
menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah interaksi antar
peradaban itu. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa
Inggris disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere
yang berarti mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah
tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
“kultur” dalam bahasa Indonesia.
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit pada
tahun 1400 M, agama Islam mulai tumbuh di Tanah Jawa. Hal ini ditandai dengan
munculnya kerajaan Demak di Jawa Tengah. Kerajaan Demak merupakan kerajaan
Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa (pesisir). Pada
perkembangannya, muncul pula Kerajaan Pajang, selanjutnya Mataram, Kartasura
dan yang terakhir Surakarta Hadiningrat. Seiring penyebaran ajaran agama Islam
yang semakin luas, kerajaan-kerajaan tersebut memiliki andil yang besar.
Terlebih kelima kerajaan tersebut merupakan kerajaan Islam. Secara otomatis
pedoman dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari bersumber dari ajaran agama
Islam.
Selain sebagai pusat syiar agama Islam,
keraton juga turut menyumbangkan andil dalam lahirnya tradisi-tradisi
kebudayaan. Pencampuran berbagai budaya menyebabkan ragam upacara-upacara
tradisi semakin beragam. Antara budaya Islam, kejawen, dan juga tradisi
Hindhu-Budha sebagai sisa-sisa dari budaya Kerajaan Majapahit berbaur menjadi
satu. Proses akulturasi tersebut terjadi seiring berjalannya waktu. Salah satu
contoh upacara tradisi yang berhubungan dengan budaya Islam adalah upacara
sekatenan di keraton Surakarta Hadiningrat. Upacara tersebut merupakan upacara
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara tersebut berhasil menyedot
antusiasme masyarakat untuk menyaksikan jalannya upacara. Hal ini merupakan
tradisi keraton yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Solo dan sekitarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari pemamaran
latar belakang diatas dapat dikemukakan beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
1)
Bagaimanakah
sejarah dari Tradisi Grebeg Sekaten?
2)
Bagaimanakah
sejarah dari Tradisi Grebeg Maulud?
3)
Bagaimanakah
prosesi pelaksanaan Tradisi Grebeg Sekaten?
4)
Bagaimanakah
prosesi pelaksanaan Tradisi Grebeg Maulud?
5)
Bagaimanakah
makna yang terkandung dalam Tradisi Grebeg Sekaten?
6)
Bagaimanakah
makna yang terkandung dalam Tradisi Grebeg Sekaten?
1.3 Tujuan
Dari latar
belakang dan rumusan masalah diatas dapat disimpulkan tujuan pembuatan makalah
ini sebagai berikut:
1)
Dapat
mengetahui bagaimanakah sejarah dari Tradisi Grebeg Sekaten,
2)
Dapat
mengetahui bagaimanakah sejarah dari Tradisi Grebeg Maulud,
3)
Dapat
mengetahui bagaimanakah prosesi pelaksanaan Tradisi Grebeg Sekaten,
4)
Dapat
mengetahui bagaimanakah prosesi pelaksanaan Tradisi Grebeg Maulud,
5)
Dapat
mengetahui dan memahami bagaimanakah makna yang terkandung dalam Tradisi Grebeg
Sekaten, dan
6)
Dapat
mengetahui dan memahami bagaimanakah makna yang terkandung dalam Tradisi Grebeg
Sekaten.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Tradisi Grebeg Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara keraton
yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon, asal-usul upacara ini telah
muncul sejak zaman Kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan perayaan
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Menurut cerita rakyat, kata sekaten berasal
dari istilah kredo dalamagama Islam, yaitu Syahadatain. Sekaten berhubungan erat
dengan proses Islamisasi di Tanah Jawa. Dahulu kala, pada saat Kerajaan Demak
ada Wali Songo yang sedang menyebarkan ajaran Agama Islam.
Mereka menggunakan berbagai macam cara
berdakwah, diantaranya menggunakan media budaya. Pada waktu itu orang Jawa
masih menganut paham Hindhu, kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang masih
kuat. Para ulama sepakat untuk mengislamkan masyarakat Jawa. Sebelum Islam
masuk, masyarakat Jawa sudah gemar akan gamelan. Gamelan biasanya dipakai
sebagai pengiring dalam pertunjukan wayang, pengiring gendhing Jawa. Maka oleh
para wali menggunakan gamelan sebagai media dakwah.
Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang adalah tokoh
yang menggunakan cara berdakwah tersebut. Pada saat perayaan Maulid Nabi
Muhammad SAW, Sunan Kalijaga berencana mengadakan pertunjukan wayang kulit
sekaligus untuk menarik perhatian orang-orang agar memeluk agama Islam. Setiap
tahun sekali, di Masjid Agung yaitu di bulan Maulud diadakan tablik akbar atas
prakarsa Sunan Kalijaga. Untuk melihat pertunjukan wayang tersebut, tiketnya
hanya satu yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat. Itu artinya memeluk agama
Islam. Maka tradisi itu lah muncul kata syahadatain dalam perayaan Maulid Nabi.
Karena berjalannya waktu, pengucapan oleh
orang Jawa pada kata syahadatain mulai berger dan menjadi sekaten. Upacara ini
dilaksanakan pada setiap tanggal 5 Mulud (bulan Jawa) atau Rabiul Awal (bulan
Hijriyah). Sekaten dilaksanakan di alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Perayaan
sekaten bertepatan dengan hari raya Maulid Nabi, yang merupakan tradisi
lanjutan dari para wali. Gamelan ditabuh saat sekaten dengan maksud untuk
menarik perhatian masyarakat. Sekaten dilaksanakan juga untuk memperingati kelahiran
Nabi Muhammad SAW. Tujuan diadakannya sekaten ini adalah untuk menggugah
keimanan agar menghayati perintah Nabi. Berikut rangkaian upacaranya:
Pada hari pertama, upacara diawali saat
malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa keraton) bersama-sama
dengan dia set gamelan Jawa. Gamelan tersebut bernama Kyai Nagawilaga dan Kyai
Guntur Madu. Iring-iringan ini bermula dari pendhapa Pancaniti menuju Masjid
Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit keraton. Kyai Nagawilaga
akan menempati akan menempati sisi utara dari amsjid Agung, sementara Kyai
Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan
akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7
hari berturut-turut. Pada malam terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang
ke dalam keratin.
Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan,
diadakan acara Tumplak Wajik. Acara ini digelar di halaman Istana Magangan
pada pukul 16.00 sore. Tumplak Wajik merupakan acara kotekan atau permainan
lagu dengan memakai kentongan, lumpang (alat untuk menumbuk padi) dan berbagai
peralatan lain. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara ini adalah lagu Jawa
popular seperti Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal Awil, dan lagu rakyat lainnya.
Dengan kotekan, menandai awal pembuatan Gunungan yang akan diarak pada saat
acara Grebeg Muludan nantinya.
Acara puncak sekaten ini ditandai dengan
dilaksanakannya Grebeg Muludan pada tanggal 12 mulai jam 08.00 pagi. Tanggal 12
Mulud merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sebuah gunungan yang terbuat
dari beras, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuran akan dibawa dari istana
kerajaan Mataram kemudian dibagikan kepada masyarakat. Prosesi ini dikawal oleh
10 kompi prajurit keratin yaitu Wirabraja, Daeng, Patangpuluh, Jagakarya,
Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Surakarsa, dan Bugis. Masyarakat
percaya, bahwa Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan
yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah atau lading
supaya terhindar dari malapetaka serta menyebabkan tanah menjadi subur untuk
ditanami.
Wali Sanga menggunakan sekaten sebagai sarana memperkenalkan Agama Islam pada
masyarakat Demak. Perayaan sekaten turut andil dalam penyebaran Agama lslam di Pulau Jawa. Para wali memanfaatkan sekaten untuk penyebaran Agama Islam. Perayaan sekaten turut mempercepat proses Islamisasi di Pulau Jawa. Jadi, sekaten digunakan untuk menyampaikan ajaran Islam melalui kebudayaan.
Istilah sekaten berasal dari kata syahadatain yang berarti dua
kalimat syahadat, yaitu Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammmad utusan Allah. Penyelenggaraan perayaan
sekaten yang menjadi, mulai diselenggarakan pada masa Kerajaan Demak
dibawah pimpinan Raden Patah dengan bimbingan Wali Sanga. Acara sekaten kemudian diteruskan oleh Sultan Demak selanjutnya yaitu Pati
Unus lalu Sultan Trenggono.
Pada perayaan sekaten, gamelan yang sangat disukai masyarakat dijadikan alat musik, hal ini menarik masyarakat untuk datang. Gamelan sekaten masih menyisakan pertanyaan manakah gamelan yang berasal dari warisan Prabu Brawijaya V dan Sunan Kalijaga, karena Kraton Yogyakarta dan Kraton Solo memiliki sepasang gamelan. Gamelan sekaten sebagai pusaka kerajaan ikut berpindah tangan mengikuti kekuasaan mulai dari Demak, Pajang, Mataram lslam. Kemudian Mataram lslam dipecah menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta, gamela sekaten juga dibagi dua.
2.2 Sejarah
Tradisi Grebeg Maulud
Grebeg
Maulud adalah upacara tradisional yang telah berlangsung turun temurun dan
mendapatkan perhatian luas dari warga Yogyakarta dan sekitarnya. Acara Grebeg
Maulud yang sudah digelar beberapa bulan kemarin sedikit berbeda, upacara
tradisional Gregeg Maulud tahun ini Gunungan yang dikirap ditambah satu
Gunungan yang diberi nama Gunungan Bromo karena bertepatan dengan tahun Dal
(tahun dalam Kalender Jawa).
Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat selama setahun menyelenggarakan upacara tradisional
Grebeg Besar sebanyak tiga kali yaitu Grebeg Syawal diselenggarakan bertepatan
dengan Hari Raya Idul Fitri, Grebeg Besar bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha
dan Grebeg Maulud atau bertepatan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad
SAW.
Upacara
tradisional Grebeg Maulud ini berupa iring-iringan Gunungan Lanang, Wadon,
Gepak, Pawuhan dan Dharat yang dikeluarkan dari dalam Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat melewati Siti Hinggil, Pagelaran, Alun-Alun Utara hingga berakhir
di halaman Masjid Gede Kauman Yogyakarta. Iringan "Gunungan" tersebut
dikawal oleh sembilan pasukan prajurit keraton, di antaranya prajurit
Wirobrojo, Ketanggung, Bugis, Daeng, Patangpuluh, Nyutro. Mereka mengenakan
seragam dan atribut aneka warna dan membawa senjata tombak, keris serta senapan
kuno.
Ribuan warga
Yogyakarta dan sekitarnya serta wisatawan mancanegara sejak pagi sudah mulai
memadati alun-alun utara. Dengan berdesak desakan ribuan pasang mata ini
melihat kirab gunungan Grebeg Maulud yang mulai bergerak dari Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat menuju Alun-Alun Utara dan berakhir di Masjid Gedhe.
Selanjutnya
sejumlah "gunungan" dibawa ke Masjid Agung/Besar Kauman Yogyakarta,
untuk diberkati dan didoakan oleh penghulu keraton. Kemudian
"gunungan" itu menjadi rebutan warga yang sudah sejak pagi menunggu
di halaman masjid tersebut. Sedangkan satu gunungan dibawa menuju Pura
Pakualaman dengan dikawal prajurit tradisional dan kemudian menjadi
rebutanratusan warga setempat. Mereka yang memperoleh bagian dari "gunungan" tersebut
masih mempercayai bahwa sedekah Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri
Sultan Hamengku Buwono X tersebut akan membawa berkah bagi kehidupan mereka.
Grebeg maulud
dilaksanakan padan tanggal 12 bulan maulud,
tujuannya untuk memperingati kelahiran nabi
Muhammad. Mereka yang berebut gunungan itu
berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugerahi
awet muda. Sebagai Srono (syarat)nya, mereka harus mengunyah sirih di
halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten.
Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan sekaten itu, banyak orang
berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman
Kemandungan, di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Jogjakarta.
Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan
datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka memberi cambuk (pecut)
yang dibawanya pulang.
2.3 Prosesi Pelaksanaan Tradisi
Grebeg Sekaten
Setelah menjadi sultan di
Ngayogyakarto Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono I untuk pertama kalinya menyelenggarakan
upacara perayaan sekaten. Sultan Hamengkubuwono I yang mempunyai perhatian
terhadap tata cara dan adat keraton bermaksud meneruskan tradisi yang
sudah ada sejak sebelumnya. Sekaten pada masa Pemerintahan
Hamengkubuwono I melibatkan seisi keraton, aparat kerajaan, seluruh lapisan
masyarakat, dan mengharuskan pemerintah kolonial berperan serta. Pada masa
tersebut rakya hidup aman, tentram dan sejahtera. Upacara kerajaan seperti
sekaten juga mencerminkan kemuliaan, kewibawaan keraton, kehidupan, dan tingkat
kebudayaan keraton.
Keraton berfungsi sebagai pusat
tradisi dan kebudayaan Jawa. Perayaan
sekaten juga terus dilangsungkan oleh sultan sesudahnya sampai sekarang pada
masa Sri Sultan Hamengkubuwono X. Walaupun dalam keadaan gawat seperti ketika
Belanda membuat kemelut dengan menurunkan tahta Sri Sultan Hamengkubuwono
II, digantikan Sri Sultan Hamengkubuwono III, sekaten teta dilangsungkan. Secara
garis besar rangkaian upacara sekaten adalah
1) Perayaan sekaten
diawali dengan slametan atau wilujengan
yang bertujuan untuk mencari ketenraman dan
ketenangan. Slametan ini dimulai dngan pembuatan
uborampai sampai perlengkapan gunungan. Ini
juga sekaligus menandai pembukaan pasar malam sekaten.
Pada bagian ini masyarakat banyak berkunjung
untuk mencari hiburan atau membelui makanan yang
dijual.
2)
Satu minggu
sebelum puncak acara sekaten gamelan dikeluarkan
dari keraton dibawa ke Masjid Agung,
kemudian diletakkan di Pagongan Utara dan
Pagongan Selatan atau miyos gongso. Selama
satu minggu gamelan Kiai Guntur Madu dan Kanjeng
Kiai Ngawila dibunyikan terus kecuali pada
saat adzan dan hari jumat.
3)
Upacara numlak
wajig yang bertempat di magangan
kidul. Upacara ini menandai pembuatan gunungan
wadon. Upacara numplak wajik diiringi gejok lesung
tujuannya agar pembuatan gunungan wadon berjalan
lancar.
4)
Miyos Dalem di
Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini dihadiri
oleh Sultan, pembesar keraton, para bupati, abdi
dalem dan masyarakat, selain itu juga
dihadiri wisatawan yang ingin menyaksikan. Pada
acara ini dibacakan riwayat hidup
Nabi Muhammad Miyos Dalem berakhir dengan
Kondor Gongso atau gamelan dibawa masuk
lagi ke keraton.
5)
Puncak acara dari perayaan
Sekaten adalah grebeg maulid, yaitu keluarnya sepasang
gunungan dari Mesjid Agung seusai didoakan oleh ulama Kraton. Masyarakat masih
percaya bahwa siapapun yang mendapatkan gunungan tersebut, akan
dikaruniai kebahagiaan dan kemakmuran. Kemudian tumpeng tersebut diperebutkan
oleh ribuan warga masyarakat. Mereka meyakini bahwa dengan mendapat bagian dari
tumpeng akan mendatangkan berkah bagi mereka, karena itu
mereka saling berebut. Selain di Yogyakarta grebeg
maulud ini juga ada di Surakarta,
Banten dan Cirebon.
Sekaten
tidak hanya menjadi milik kerajaan saja, tetapi juga
rakyat biasa. Bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta
baik yang di perkotaan maupun pedesaan dari berbagai lapisan
sosial, memandang sekaten sebagai sesuatu yang penting dan
merupakan upacara khas kejawen dengan hikmah dan berkah, merupakan
kebanggaan daerah serta mengingatkan pada sejarah kerajaan Mataram lslam
yang didirikan Panembahan Senopati.
Bagi
keraton, sekaten tetap di teruskan dan memiliki makna tersendiri.
Makna religius berkaitan dengan kewajiban Sultan menyiarkan Agama
lslam, sesuai dengan gelarnya, yaitu Sayidin Panatagama yang berarti pemimpin
tertinggi agama. Dari sejarahnya berkaitan dengan keabsahan Sultan dan
kerajaannya sebagai pewaris dari Panembahan Senopati dengan kerajaan Mataram
lslamnya dan lebih jauh lagi masih keturunan raja-raja dari masa kerajaan
Hindu-Budha (Majapahit). Makna kultural yaitu berkaitan dengan Sultan sebagai
pemimpin suku Jawa.
Pada
mulanya, fungsi sekaten merupakan media penyampaian dakwah Agama Islam melalui
kebudayaan oleh Wali Sanga pada masa Kerajaan Demak. Sekaten merupakan
pengganti dan penyesuaian tradisi yang sudah ada sebelumnya. Jadi fungsi utama
sekaten sebagai syiar Agama Islam melalui sarana kebudayaan. Para Wali Sanga
dengan cerdas memanfaatkan kebudayaan sebagai sarana dakwah.
Namun
sekarang dengan perubahan jaman, nilai itu meluntur tapi tidak hilang, juga
lebih menonjolkan fungsi baru yaitu sisi komersil, ekonomi dan hiburan.
Salah satu sisi baru dari sekaten yang menonjol adalah
dilihat secara ekonomi. Yaitu penyelenggaraan sekaten dikemas
dalam Pasar Malam Perayaan
Sekaten atau biasa disingkat PMPS, yang dimulai sejak
pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pasar malam ini diselenggarakan
selama sebulan di alun-alun selatan dengan berbagai
hiburan, stan penjualan, stan promosi, makanan minuman, pertunjukan
seni. Pasar malam selama sebulan di alun-alun selatan menjadi semacam
pesta bagi rakyat. Di pasar malam sekaten terdapat
hiburan rakyat yang sulit ditemui seperti ombak banyu, tong setan dan berbagai
permainan lainnya. Pada hiburan seperti itu antusiasme masyarakat cukup tinggi,
karena permainan seperti itu sulit ditemui dan kebutuhan akan hiburan.
Perubahan
dan perkembangan penyelenggaraan sekaten, juga bergesernya makna sekaten
tidaklah mengapa karena tidak menghilangkan esensi sekaten. Perubahan
tersebut tak terelakkan karena perubahan cara berpikir masyarakat,
perubahan kebutuhan dan berubahnya jaman. Perkembangan sekaten juga
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Perubahan ini
menguntungkan dan memberi manfaat pada banyak pihak.
Penyelenggaraan
sekatenpun menjadi aset pariwisata daerah. Sekatenpun menjadi wisata tidak
hanya bagi warga Yogyakarta saja tapi juga dari luar Yogyakarta,
terbukti ketika perayaan sekaten banyak wisatawan dari
luar daerah yang datang ke Yogyakarta untuk melihat sekaten. Ini
menunjukkan bahwa sekaten merupakan aset wisata yang menarik.
Dari
sisi ritual sekaten tetap terpelihara dan masih mendapat
perhatian terutama oleh generasi tua.
Bagi masyarakat terutama generasi tua yang masih
percaya memaknai sekaten sebagai sarana mencari berkah, sehingga mereka
berebut gunungan. Sekaten merupakan wujud akulturasi kebudayaan yang
terus bertahan dan berkembang melewati berbagai jaman sampai sekarang, maka harus
tetap dilestarikan. Sekaten merupakan fenomena budaya yang unik, menarik dan
langka yang berkaitan dengan berbagai hal. Sekaten juga mengandung berbagai
makna. Makna lama sudah semakin memudar tapi muncul makna baru dari sekaten.
2.4 Prosesi Pelaksanaan Tradisi
Grebeg Maulud
Gerebeg Mulud diselenggarakan
pada hari kedua belas bulan Mulud kalender Jawa. Festival ini dimulai pada
pukul 7.30 pagi, didahului oleh parade pengawal kerajaan yang terdiri dari 10
unit: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro,
Ketanggung, Mantrijeron, Surokarso, dan Bugis. Setiap unit mempunyai seragam
masing-masing. Parade dimulai dari halaman utara Kemandungan Kraton, kemudian
melewati Siti Hinggil menuju Pagelaran, dan selanjutnya menuju alun-alun utara.
Pukul 10.00 pagi, Gunungan
meninggalkan kraton didahului oleh pasukan Bugis dan Surokarto. Gunungan dibuat
dari makanan seperti sayur-sayuranan, kacang, lada merah, telor, dan beberapa
pelengkap yang terbuat dari beras ketan. Dibentuk menyerupai gunung,
melambangkan kemakmuran dan kekayaan tanah mataram.
Parade disambut dengan
tembakan-tembakan dan sahut-sahutan oleh pengawal Kraton ketika melewati
alun-alun utara, prosesi semacam ini dinamakan Grebeg. Kata ’grebeg’ berarti
’suara berisik yang berasal dari teriakan orang-orang’. Selanjutnya gunungan
dibawa ke Masjid Agung untuk diberkati dan kemudian dibagikan ke masyarakat.
Orang-orang biasanya berebut untuk mendapatkan bagian dari gunungan karena
mereka percaya bahwa makanan tersebut mengandung kekuatan ghaib. Para petani
biasanya menanam sebagian jarahan dari gunungan di tanah mereka, dengan
kepercayaan ini akan menghindarkan mereka dari kesialan dan bencana.
Menurut kalender tahunan Jawa,
masih ada perayaan lain yaitu Grebeg Besar dan Grebeg Syawal. Keduanya biasanya
diselenggarakan setelah bulan Ramadan. Grebeg Syawal dirayakan pada hari
pertama Syawal,dan Grebeg Besar dirayakan pada bulan kesepuluh dari kalender
Jawa pada hari raya Kurban (Idul Adha), yang melambangkan hari pengorbanan umat
Muslim.
Grebeg adalah upacara adat berupa
sedekah yang dilakukan pihak kraton kepada masyarakat berupa gunungan. Kraton
Yogyakarta dan Surakarta setiap tahun mengadakan upacara grebeg sebanyak 3
kali, yaitu Grebeg Syawal pada saat hari raya Idul Fitri, Grebeg Besar pada
saat hari raya Idul Adha, dan Grebeg Maulud atau sering disebut dengan Grebeg
Sekaten pada peringatan Maulid Nabi Muhammad.
Menilik sejarah, kata “grebeg”
berasal dari kata “gumrebeg” yang berarti riuh, ribut, dan ramai. Tentu saja
ini menggambarkan suasana grebeg yang memang ramai dan riuh. Gunungan
pun memiliki makna filosofi tertentu. Gunungan yang berisi hasil bumi (sayur
dan buah) dan jajanan (rengginang) ini merupakan simbol dari kemakmuran yang
kemudian dibagikan kepada rakyat.
Pada upacara grebeg ini, gunungan yang digunakan bernama Gunungan Jaler
(pria), Gunungan Estri (perempuan), serta Gepak dan Pawuhan.
Gunungan ini dibawa oleh para
abdi dalem yang menggunakan pakaian dan peci berwarna merah marun dan berkain
batik biru tua bermotif lingkaran putih dengan gambar bunga di tengah
lingkarannya. Semua abdi dalem ini tanpa menggunakan alas kaki alias nyeker. Gunungan
diberangkatkan dari Kori Kamandungan dengan diiringi tembakan salvo dan dikawal
sepuluh bregada prajurit kraton sekitar pukul 10 siang. Dari
Kamandungan, gunungan dibawa melintasi Sitihinggil lalu menuju Pagelaran di
alun-alun utara untuk diletakkan di halaman Masjid Gedhe dengan melewati pintu
regol.
Saat berangkat dari kraton,
barisan terdepan adalah prajurit Wirabraja yang sering disebut dengan prajurit
lombok abang karena pakaiannya yang khas berwarna merah-merah dan bertopi
Kudhup Turi berbentuk seperti lombok. Sebagai catatan, prajurit
Wirabraja memang mempunyai tugas sebagai “cucuking laku”, alias pasukan garda
terdepan di setiap upacara kraton.
Kemudian ketika acara serah terima gunungan di halaman Masjid Gedhe,
prajurit yang mengawal adalah prajurit Bugis yang berseragam hitam-hitam dengan
topinya yang khas serta prajurit Surakarsa yang berpakaian putih-putih. Setelah
gunungan diserahkan kepada penghulu Masjid Gede untuk kemudian didoakan oleh
penghulu tersebut, gunungan pun dibagikan.
2.5 Makna dalam Tradisi
Grebeg Sekaten
Perayaan sekaten sebagai upacara
tradisional keagamaan islam merupakan ekspresi masuk dan tersosialisasinya
islam ke bumi nusantara. Tradisi sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu,
kulturisasi, religious, dan historis (Sultan,12 Mei 2004). Sekaten yang menganut sejarahnya merupakan upacara tradisional
keagamaan Islam dalam membentuk akhlak dan budi luhur tetap dilestarikan oleh
para pengganti Sri Sultan Hamengkubuwana I (Soelarto,1996: 19). Dengan adanya
dua pernyataan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa nilai sekaten
mmempunyai peran penting dalam dakwah Islam, karena dalam menyebarkan suatu
agama dalam masyarakat yang sangat meninggikan adat tidaklah mudah, seperti apa
yang terjadi pada negri ini di awal masuknya Ajaran Islam.
Hindu-Budha merupakan suatu
kepercayaan awal yang masuk ke Indonesia sebelum islam datang. Hal tersebut
terbukti ketika kita mulai merunut kembali sejarah pada abad silam ketika agama
atau kepercayaan mulai berkembang di Indonesia. Pada abad ke-4 hindu datang
dengan segala kebudayaan dan ajarannya yang meninggalkan bukti sejarah berupa
Candi Prambanan, Candi Tikus, dan candi-candi bercorak hindu lainnya.
Pada abad selanjutnya Budha pun
mulai masuk dan berkembang ke nusantara dan yang terakhir adalah Islam. Islam
datang dibawa oleh para pedagang Gujarat, Arab, dan Persi melalui berbagai cara
seperti perdagangan atau perkawinan. Untuk mengenalkan Islam yang datangnya
setelah Hindu-Budha bukanlah suatu hal yang mudah. Kiprah para wali (Penyebar Islam di Pulau Jawa) atau yang lebih
dikenal dengan Walisanga sangatlah penting karena mereka memiliki siasat tersendiri
untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat Indonesia yang masih kental dengan
kepercayaan lamanya yaitu Hindu-Budha, ditambah dengan keadaan masyarakat Jawa yang
terkenal dengan sifatnya yang konservatif dan sulit menerima ajaran baru apalagi
yang bertentangan dengan Adat Jawa.
Di awal berdirinya Keraton
Yogyakarta Hadiningrat inilah para leluhur islam mengenalkan agamanya yang
dimasukkan dalam budaya Hindu-Budha dan jawa yang sering dikenal dengan sebutan
Islam Abangan atau Islam Kejawen tanpa meninggalkan pokok-pokok ajaran Islam
itu sendiri. Salah satu cara memasukkan islam dalam budaya jawa yaitu dengan
diadakannya upacara-upacara adat yang dilakukan setiap hari-hari besar agama
islam. Seperti upacara adat yang terkenal di Yogyakarta adalah Upacara Sekaten.
Sekaten dilaksanakan guna
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dewasa ini nilai sekaten yang
merupakan salah satu jalan dakwah Islam mulai mengalami degradasi karena saat
ini sekaten hanya dipandang sebagai suatu hiburan masyarakat baik lokal maupun
interlokal. Salah satu sarana dakwah
para wali dalam mengembangkan Islam di ranah jawa ini adalah dengan sekaten.
Sekilas mendengar nama sekaten sama sekali tidak mengisyaratkan suatu ritual
yang berbau Islam. Akan tetapi sekaten sebenarnya sarat makna dan mengandung
nilai Islami.
Sekaten sendiri memiliki makna
dalam bahasa jawa yang berarti sekati yang artinya adalah setimbang. Tentunya
diharapkan agar manusia bisa menimbang hal yang baik dan yang buruk. Sehingga
ketika kita menyebut kata sekaten kita selalu diingatkan agar selalu
berhati-hati dalam menimbang suatu hal. Sekaten
diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak pada abad 16. Saat itu orang jawa
beralih memeluk Agama Islam dengan mengucap syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan
nama sekaten pada perayaan itu sangat terkenal. Perayaan sekaten ini menjadi
salah satu perayaan turun temurun di Keraton Yogyakarta sehingga menjadi
perayaan tahunan yang juga dirayakan oleh masyarakat.
Sejarah sekaten ini berawal dari
Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta tahun 1755 yang kemudian pecah
menjadi 2, ialah Kasunanan Surakarta yang beribukota di Sala di bawah pimpinan
Sri Sultan Pakubuwana III dan Kasultanan Yogyakarta yang beribukota di
Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota Yogyakarta di bawah pimpinan
Sultan Hamengkubuwana X. Pemecahan Kerajaan Mataram menjadi 2 ditentukan dalam
perjanjian Gianti.
Sekaten yang menjadi salah satu
bentuk upacara adat Keraton Kasultanan Yogyakarta pertama kali diadakan oleh
Sri Sultan Hamengkubuwana I. Sehingga sejarah sekaten menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari sejarah berdirinya Kraton Yogyakarta. Sri Sultan berkehendak
menyelenggarakan upacara yang selalu diselenggarakan oleh raja-raja sebelumnya.
Hal ini sebagai usaha melestarikan adat dan menunjukkan sikap tradisional orang
jawa dalam memuliakan leluhurnya.
Adanya upacara sekaten juga ini
tidak bisa terlepas dari peran penting Masjid Agung Demak yang didirikan oleh
Walisanga pada tahun 1477 M. Awalnya masjid ini hanya berfungsi sebagai tempat
interaksi antara Allah dengan hambanya. Seiring berjalannya waktu masjid ini
menjadi multi fungsi karena digunakan sebagai ajang kegiatan keagamaan, tempat
musyawarah para wali, dan sebagai prasarana penyelenggaraan perayaan sekaten
yang merupakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertepatan pada tanggal
12 bulan Maulid.
Sekaten bukan saja upacara yang
berlangsung dalm waktu yang singkat, tetapi sekaten melalui beberapa ritual
yang tertata rapi dan penuh makna. Di bawah ini adalah serangkaian prosesi dari
awal mulainya upacara sekaten dimulai sampai penutup.
1)
Perayaan Upacara Sekaten diawali
dengan diadakannya slametan atau wilujengan yang memiliki tujuan untuk mencari
ketenangan. Dengan adanya slametan ini berarti dimulali lah pembuatan gunungan.
Perayaan ini juga menjadi pertanda akan adanya kegiatan pasar malam perayaan
sekaten. Pasar malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari sebelum perayaan
grebeg maulud tiba.
2)
Satu minggu sebelum puncak acara,
merupakan adat kebiasaan yang harus dilakukan yaitu mengeluarkan gamelan pusaka
dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk diletakkan di pagongan utara dan
pagongan selatan atau miyos gongso. Selama satu minggu gamelan dibunyikan terus
kecuali hari Jum’at.
3)
Rangkaian upacara sekaten yang
kedua ialah Upacara Numplak Wajik, upacara ini sebagai awal dimulainya
pembuatan gunungan wadon. Upacara ini diawali dengan iringan gejog lesung yang
dilakukan oleh abdi dalem konco gladhak. Tujuannya agar dalam pembuatan
gunungan wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara dimulai diberi sesaji
oleh abdi dalem agar dalam pembuatan gunungan ini tidak mengalami hambatan.
Kemudian upacara siap dimulai.
4)
Acara selanjutnya dilaksanakan
miyos dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar
keraton, para bupati, abdi dalem keraton, dan mas jogja. Miyos dalem ini
merupakan pembacaan sirotun nabi (Riwayat hidup Nabi Muhammad). Sebelum miyos
dimulai Sri Sultan menyebar udhik-udhik di depan pintu pagongan selatan dan
pagongan utara. Miyos dalem berakhir dengan ditandai pelaksanaan kondur gongsu
atau gamelan dibawa masuk lagi ke keraton. Pada saat miyos ini Sri Sultan
menuju ke masjid agung didahului 4 bergodo prajurit. Prosesi ini menandai
berakhirnya pelaksanaan upacara sekaten yang akan mencapai puncak acara pada
keesokan harinya.
5)
Sebagai rangkaian upacara
terakhir dari tradisi sekaten yaitu puncak acara grebeg maulud, yang ditandai
dengan dikeluarkannya hajad 6 gunungan tepat tanggal 12 bulan Maulud. Gunungan
dibawa ke masjid untuk didoakan yang dipimpin oleh penghulu dan kemudian
gunungan menjadi rebutan masyarakat yang menonton.
Sekaten
yang seharusnya menjadi sarana dakwah bernafaskan religi, sejarah, dan kultur
kini seakan hanya menjadi pelengkap saja dan tiada lagi menjadi prioritas. Hal
ini menjadikan suatu fenomena yang ironis terkait dengan tujuan awal para wali
dan leluhur penggagas terlaksananya sekaten sebagai upacara adat ajang
penyebaran Agama Islam. Jika kita sedang menyaksikan upacara sekaten ada
baiknya jika kita juga menyempatkan diri untuk menela’ah makna dan nilai-nilai
religi, sejarah, dan kebudayaan yang tersirat dalam setiap ritualnya.
1)
Nilai Religi
Di dalam
salah satu ritual sekaten ada sesi pembacaan riwayat Nabi Muhammad sebagai
salah satu utusan Allah yang diperntahkan sebagai rahmatan lil alamien yang
memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia, sehingga upacara tradisional ini
sangat berperan dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur. Tradisi ini pun
dimulai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak kejawen dengan segala
hikmah dan berkah.
2)
Nilai Sejarah
Di lihat
dari sejarahnya sekaten tidak bisa terlepas dari peran para wali sebagai
penyebar agama islam di Pulau Jawa yang menjadikan sekaten suatu sarana dakwah
Islam dan berkaitan dengan keberadaan sultan sebagai ahli waris dari Kerajaan
Mataram sebagai pencetus awal diadakannya sekaten. Sehingga yang harus
dilakukan untuk merealisasikan nilai-nilai sejarah adalah dengan tetap memaknai
sekaten sebagai media dakwah dan menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan
sehari-hari.
3)
Nilai Budaya
Nilai
sekaten sangat relevan dengan kebudayaan, karena sekaten merupakan percampuran
antara kebudayaan jawa, Hindu-Budha, dan islam. Dimana kebudayaan jawa sangat
gemar sekali menyelipkan makna tersirat dalam bentuk simbol atau lambang pada
setiap kejadian penting, dan kebudayaan Hindu-Budha yang peribadatannya sangat
erat dengan ritual-ritual. Hal ini lah yang menjadi inspirasi para wali dalam
mengemas ajaran Islam dalam budaya Jawa, Hindu dan Budha yang terangkai dalam
upacara adat sekaten. Di dalam sekaten ada yang disebut gunungan yang mempunyai
arti lambang kemakmuran, digunakan sirih yang mengeluarkan warna merah yang
berarti diharapkan bisa menyadarkan manusia akan dirinya, nginang memiliki
makna dapat membuat awet muda, dan telur merah sebagai lambang dari kehidupan.
2.6 Makna dalam Tradisi
Grebeg Maulud
Secara
subtansial, grebeg memiliki peran penting dalam ranah kebudayaan dan lokalitas
Jawa. Sekaten bekerja sebagai suatu sistem integratif antara akulturisme budaya
Jawa dengan nilai-nilai ke-Islaman. Integrasi nilai kejawen dengan nilai ajaran
islam menghasilkan suatu sistem kepercayaan yang membumi dan mudah diterima
masyarakat (Jawa). Menurut Mundzirin Yusuf (2009) ada tiga arti penting dari
grebeg; pertama, sebuah representasi relegius, dimana kewajiban
sultan adalah untuk menyiarkan dan melindungi Agama Islam dalam kerajaan,
karena sultan berkedudukan dan berperan sebagai Sayyidin Panatagama
Khalifatullah. Kedua, nilai historis, yaitu terkait dengan Sultan
yang memiliki kewajiban untuk meneruskan tradisi warisan raja-raja Mataram
Islam sebelumnya. Ketiga, nilai kultural yaitu berkaitan dengan upaya
memelihara dan melestarikan kebudayaan Jawa.
Nilai
pertama, peran sultan di Keraton Mataram (Yogyakarta sekarang) memiliki dua
fungsi, yaitu sebagai penyebar ajaran Islam dan pemegang tampuk kekuasaan. Ini
kita bisa kita lihat bagaimana sultan Agung tidak hanya berjuang keras melawan
kolonialisme Belanda dan melakukan diplomasi politik tetapi juga sangat aktif
dalam melakukan islamisasi di Jawa, seperti pembuatan kalender hijriah dan lain
sebagainya. Grebeg secara kultural merupakan cermin prestasi “manusia Jawa”
dalam membaca, memahami dan menafsir hirarki dan dinamisasi kebudayaan dan adat
tradisi. Grebeg mengimplementasikan peran agama yang bekerja dalam ranah
kultural dan tradisi masyarakat. Grebeg juga merepresentasikan jalan kebudayaan
dalam mencapai keintiman bersama Tuhan. Dalam upacara Grebeg syair keagamaan
senantiasa dilantunkan sebagai warisan Wali Songo melakukan Islamisasi di Jawa.
Meminjam
istilah Abdul Munir Mulkhan (2007), upacara grebeg merupakan upaya manusia
memahami dan menerapkan ajaran dan mencari serta menghampiri Tuhan. Kebudayaan
merupakan sintesis segala realitas sintetis ketuhanan dan kemanusiaan.
Kebudayaan merupakan sebuah ritus-ritus yang hidup dan aktual di mana manusia
hadir di dalam perjamuan Tuhan dan Tuhan pun hadir dalam kemanusiaan aktual. Lewat
tradisi dan kebudayaannya masyarakat mencari eksistensi dirinya dalam
berhubungan dengan tuhan. Manusia menempatkan kebudayaan dan kearifan lokal
sebagai lokus iman dalam bercengkrama dengan tuhan. Sehingga terciptalah
aktualitas kebudayaan yang tidak hanya mencerminkan sinkritisme atau
akulturisme, melainkan juga penuh sakralitas dan nuansa keislaman serta
keimanan.
Kebudayaan
akan menjadi jalan mencapai dan menuju tuhan ketika kualifikasi ilahiyah
kebudayaan Islam dijalankan masyarakat dan budaya tidak dianggap sebagai lawan
doktrinal Ajaran Islam. Sejarah telah mencatat bahwa Ajaran Islam di Jawa
terutama banyak mengadopsi budaya dalam penyebarannya. Lihalah misalnya,
bagaimana Walisongo dengan arif, cerdas dan bijaksana memodifikasi kebudayaan
dan tradisi masyarakat Jawa dengan nilai Ajaran Islam tanpa terjebak pada Islamisme,
Puritanisme atau Fundamentalisme agama. Sehingga tercipta akulturasi budaya
yang memperkaya khazanah peradaban manusia.
Nilai
kedua, sebagai sebuah tradisi local yang telah berkembang sejak abad ke-19,
posisi sultan sangat sentral dalam menentukan gerak dan jalan kebudayaan di
keraton Yogyakarta. Sultan memiliki otoritas mutlak dalam menentukan arah
kebudayaan akan dibawa. Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa; Silang Budaya (2000: 128) menegaskan bahwa grebeg
adalah kelanjutan dari suatu ritual kuno yang telah terbukti ada sejak abad
ke-14 yang berfungsi untuk memulihkan kepaduan kerajaan.
Upacara
grebeg kemudian diakulturasikan dengan nilai islam oleh para raja di Mataram
atau sejak berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Gunungan yang merupakan
simbolisasi akan hadirnya raja dalam upacara grebeg sudah ada setidaknya
sebelum tahun 1888 M. Pada saat itu, gunungan dijadikan raja untuk melakukan
syiar islam dan sekaligus ungkapan rasa syukur atas keamanan, ketentraman dan
kedamaian negara dan masyarakat. Sebagai ritual terakhir perayaan sekaten,
gunungan biasanya diusung ke halaman masjid kraton dan setelah dibacakan doa,
gunungan tersebut diperebutkan (dirayah) oleh masyarakat. Sebagaimana artinya,
grebeg selalu dipenuhi keributan dan keramaian demi ngalap berkah atas gunungan
yang dibawa abdi dalem atau prajurit kraton.
Nilai
ketiga, upacara grebeg berperan sebagai upaya pelestarian kebudayaan Jawa
ketika seluruh elemen masyarakat mampu mengamalkan warisan kebudayaannya dengan
baik dan penuh kesadaran. Kesadaran kebudayaan akan mampu membangkitkan
semangat superioritas dalam mengamalkan warisan budaya leluhur. Dalam kosmologi
masyarakat Jawa kuno yang masih bertahan sampai sekarang, gunung merupakan
puncak tertinggi alam manusia. Gunung dipersepsikan sebagai tempat para dewa
bersemayam. Maka, gunung dalam persepsi masyarakat Jawa selalu diasumsikan memiliki
kekuatan mistis-magis.
Berkaitan
dengan diatas, grebeg memiliki nilai dan makna filosofis yang tinggi karena ada
gunungan yang merepresentasikannya. Gunungan grebeg biasanya berisi hasil bumi
seperti sayuran, buah-buahan dan jajanan (rengginang) merupakan nilai
semiotika-simbolis dari kemakmuran atau hemayu hayuning bawana sebuah
negeri yang dibagikan atau kepada seluruh rakyatnya. Semesta simbolis lainnya
bahwa gunungan grebeg merupakan simbol komunikasi kultural seorang raja dengan
rakyatnya. Dimana raja merupakan sosok yang sangat dekat dan peduli terhadapa
kondisi sosial dan ekonomi rakyat. Ini sama halnya dengan gunungan yang bisa
dijamah dan diperebutkan oleh siapa pun dengan latar belakang sosial-budaya
manapun. Zaman dulu, grebeg menjadi medium bagi raja-rakyat berkomunikasi
langsung. Upacara grebeg menjadi medium bagi para wakil dari propinsi datang
dan menghaturkan upeti, hasil bumi dan bergembira ria di keratin.
Nilai
hidup perayaan gunungan akan senantiasa menjadi ghirah dalam denyut nadi
kehidupan masyarakat Jawa, karena ada proses saling memberi nilai dan pemahaman
hidup untuk menjaga martabat diri, keluarga, dan bangsa. Eksistensi dan
ketahanan kearifan lokal dalam upacara gunungan menggariskan satu isyarat bahwa
posisi raja dimata rakyatnya masih menempati posisi sentral. Di tengah hingar
bingar budaya kontemporer yang menyeringai kearifan lokal masyarakat, gunungan
grebeg hadir sebagai sebuah oase. Grebeg memberikan sebuah harapan dan
optimisme hidup yang selalu diwariskan kraton kepada rakyatnya. Masayarakat
Jawa yang masih kental dengan nilai kejawaan dan lokal geniusnya,
mendefinisikan budaya lokal sebagai sebuah nilai hidup. Dimana dengan mengikuti
upacara gunungan grebeg, masyarakat menaruh harapan, optimisme dan pertautan
hidup yang lebih baik.
Di
tengah kondisi sosial-budaya dan politik yang silang sengkarut, perumusan
Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (RUUK-Y) yang semakin
mengambang, sudah saatnya upacara grebeg menemukan aktualisasinya. Aktualisasi
nilai historis dari upacara grebeg diharapkan akan mampu menyatukan suara demi
keistimewaan Yogyakarta. Upacara gunungan grebeg yang dilaksanakan sebagai
upaya pelestarian nilai ajaran islam dan kearifan lokal Jawa diharapkan akan
(sedikit) mampu memberikan oase harapan hidup. Ada makna, nilai dan filosofis
hubungan antara raja sebagai pengayom dan rakyat yang diayomi. Dimana raja
mentransformasikan nilai-nilai upacara gunungan untuk lebih melihat dan menaruh
perhatian terhadap kondisi sosial-budaya, ekonomi dan politik yang berkembang.
Upacara grebeg merupakan bentuk penyatuan semangat dan harapan antara raja dan
rakyat demi kesatuan daerah istimewa Yogyakarta.
BAB 3.
SIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Sekaten merupakan sebuah upacara keraton
yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon, asal-usul upacara ini telah
muncul sejak zaman Kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan perayaan
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Menurut cerita rakyat, kata sekaten berasal
dari istilah kredo dalamagama Islam, yaitu Syahadatain. Sekaten berhubungan erat
dengan proses Islamisasi di Tanah Jawa. Dahulu kala, pada saat Kerajaan Demak
ada Wali Songo yang sedang menyebarkan ajaran Agama Islam.
Mereka menggunakan berbagai macam cara
berdakwah, diantaranya menggunakan media budaya. Pada waktu itu orang Jawa
masih menganut paham Hindhu, kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang masih
kuat. Para ulama sepakat untuk mengislamkan masyarakat Jawa. Sebelum Islam
masuk, masyarakat Jawa sudah gemar akan gamelan. Gamelan biasanya dipakai
sebagai pengiring dalam pertunjukan wayang, pengiring gendhing Jawa. Maka oleh
para wali menggunakan gamelan sebagai media dakwah.
Grebeg Maulud adalah upacara tradisional yang telah berlangsung turun
temurun dan mendapatkan perhatian luas dari warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Acara Grebeg Maulud yang sudah digelar beberapa bulan kemarin sedikit berbeda,
upacara tradisional Gregeg Maulud tahun ini Gunungan yang dikirap ditambah satu
Gunungan yang diberi nama Gunungan Bromo karena bertepatan dengan tahun Dal
(tahun dalam kalender Jawa). Secara garis
besar rangkaian upacara sekaten adalah
1)
Perayaan sekaten diawali dengan slametan atau wilujengan yang bertujuan untuk mencari ketenraman dan ketenangan.
2)
Satu minggu sebelum puncak
acara sekaten gamelan dikeluarkan dari keraton dibawa ke Masjid Agung, kemudian diletakkan di Pagongan Utara dan Pagongan
Selatan atau mitos gongso.
3)
Upacara numlak wajig yang bertempat di magangan kidul.
4)
Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta.
5)
Puncak acara dari perayaan
Sekaten adalah grebeg maulid, yaitu keluarnya sepasang
gunungan dari Mesjid Agung seusai didoakan oleh ulama Kraton.
Sekaten tidak hanya
menjadi milik kerajaan saja, tetapi juga
rakyat biasa. Bagi sebagian besar
masyarakat Yogyakarta baik yang di perkotaan
maupun pedesaan, dari berbagai lapisan sosial,
memandang sekaten sebagai sesuatu yang penting
dan merupakan upacara khas kejawen dengan
hikmah dan berkah, merupakan kebanggaan
daerah serta mengingatkan pada sejarah kerajaan
Mataram lslam yang didirikan Panembahan Senopati.
DAFTAR
PUSTAKA
Notosusanto,
Nugraha. 2008. Sejarah Nasional Indonesia
3, Jakarta : Balai Pustaka.
Soekmono. 1973. Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Jakarta: PENERBIT
KANISIUS.
2014. Sekaten
dan Grebeg Maulud. [Serial online].
http://indahnyaduniashare.blogspot.com/2014/02/sekaten-dan-grebeg-maulud.html. [Diakses pada tanggal 7 April
2015].
2012. Makalah
Sejarah Grebeg Maulud. [Serial online].
http://rutamirizky.blogspot.com/2012/11/makalah-sejarah-grebeg-maulud.html. [Diakses pada tanggal 7 April 2015].
2012. Sekaten
Sebagai Sarana Dakwah Islam. [Serial online].
http://vicky-nurul.blogspot.com/2012/02/sekaten-sebagai-sarana-dakwah-islam-di.html. [Diakses pada tanggal 7 April 2015].
2013. Upacara
Sekaten. [Serial online].
https://ruryarvianto.wordpress.com/2013/01/01/upacara-sekaten/. [Diakses pada tanggal 7 April 2015].
terimakasih banyak sudah berbagi.. sangat bermanfaat :)
BalasHapusterima kasih info tentang sekaten
BalasHapusinformasi menarik, komentar juga ya ke blog saya www.belajarbahasaasing.com
BalasHapus