PERKEMBANGAN
KREATIVITAS DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Profesi Kependidikan
Dosen Pengampuh Dr.
Suranto, M. Pd
Makalah
Oleh:
BAYU SETIAWAN 120210302086
KELAS B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah
SWT, karena atas limpahan rahmat dan ridho-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah tentang “Perkembangan Kreativitas Dalam Pembelajaran
Sejarah” dengan tepat waktu. Yang mana penulisan makalah ini saya gunakan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi.
Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Dr. Suranto, M. Pd selaku dosen
pembimbing mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang
Studi. Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang
telah banyak membantu dan memberikan motivasi kepada saya dalam penyelesaian
makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan, sehingga saya selaku penyusun membutuhkan kritik dan
saran dari pembaca yang nantinya akan saya gunakan sebagai perbaikan makalah
ini selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun
pembaca.
Jember, September
2014
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kreatifitas itu sikap dan pola pikir yang dapat menciptakan
sesuatu yang baru, baik baru menurut dirinya maupun baru menurut orang lain.
Kreativitas itu berhubungan penciptaan sesuatu yang baru dan orisinal. Kreatifitas berhubungan
dengan pola pikir yang dapat menghubungan suatu masalah atau fenomena dengan
unsur-unsur yang lain sehingga menjadi sesuatu yang baru. Mata
Pelajaran IPS Sejarah merupakan pengetahuan tentang peristiwa dan perubahan
masyarakat masa lalu dengan prinsip sebab akibat dan kronologis peristiwa yang
terjadi di masyarakat.
Dengan mempelajari
sejarah diharapkan siswa mampu memahami fakta, peristiwa dan perubahan masyarakat
masa lalu, mengembangkan cara berfikir kritis dan mengimplementasikan ilmu yang
diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari.
Tingkat pengetahuan dan pemahaman siswa dalam materi sejarah masih
tergolong rendah. Hal ini disebabkan minat siswa belajar sejarah cenderung
rendah dan akhirnya berimplikasi pada rendahnya hasil belajar siswa. Rata-rata
nilai ulangan harian siswa hanya mencapai nilai KKM, yaitu 72. Padahal tingkat
pemahaman konsep dan analisis materinya tidaklah terlalu sulit.
Kurangnya minat dan
rendahnya prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran Sejarah kemungkinan juga
disebabkan oleh faktor guru yang belum mampu mengembangkan kreativitas dan
kurang optimal dalam melibatkan siswa pada kegiatan belajar mengajar serta
belum melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran. Pada kegiatan pembelajaran
siswa menyimak materi dan terlihat seakan-akan telah memahami materi, tetapi
ketika diadakan evaluasi dengan memberikan soal ulangan harian, rata-rata
ketuntasan siswa tidak mencapai hasil yang diharapkan.
Bertolak dari
kenyataan di atas, maka penulis sebagai guru IPS Sejarah mencoba melakukan
inovasi pembelajaran dengan tujuan meningkatkan kualitas proses belajar
mengajar sehingga hasil belajar siswa dapat dioptimalkan. Perhatian tertuju
pada berbagai kegiatan yang disenangi siswa dengan tujuan melakukan
sinkronisasi kesenangan siswa dengan kegiatan pembelajaran. Salah satu kegiatan
yang banyak disukai oleh siswa adalah menonton siaran televisi. Mereka sering
menghabiskan berjam-jam waktu menonton acara kesayangan mereka di televisi. Dialog interaktif dipilih karena
sesuai dengan karasteristik materi sejarah yang banyak mendeskripsikan
peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar belakang
diatas saya dapat mengemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1) Apakah hakikat dari kreativitas?
2) Bagaimanakah jenis-jenis kreativitas?
3) Bagaimanakah cara mengembangkan kreativitas peserta didik dalam
pembelajaran sejarah?
1.3
Tujuan
Dari latar belakang
dan rumusan masalah diatas saya dapat menyimpulkan tujuan dari pembuatan
makalah ini sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui apakah hakikat dari kreativitas.
2) Untuk mengetahui bagaimanakah jenis-jenis kreativitas.
3) Untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah cara mengembangkan
kreativitas peserta didik dalam pembelajaran sejarah.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Hakekat Kreativitas
Pengertian kreatifitas menurut KBBI berarti hasil dari
kemampuan mencipta. Untuk mengembangkan pribadi dan intelektual manusia perlu
memiliki pengetahuan dan kreatifitas. Kreativitas menurut
Drevdahl seperti yang dikutip oleh Hurlock (2000:5) mendifinisikan Kreativitas
merupakan suatu kemampuan untuk memproduksi komposisi dan gagasan-gagasan baru
yang dapat berwujud aktifitas imajinatif yang melibatkan pembentukan pola-pola
baru dan kombinasi dari pengalaman masa lalu yang dihubungkan dengan keadaan
yang sudah ada pada situasi sekarang, hal tersebut berguna, bertujuan, terarah,
dan tidak hanya sekedar fantasi.
Kreativitas terdiri dari 2 unsur, Pertama: Kefasihan
yang ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan sejumlah besar gagasan pemecahan
masalah secara lancar dan cepat. Kedua: Keluwesan yang pada umumnya
mengacu pada kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbeda-beda dan luar biasa
untuk memecahkan suatu masalah. Kreativitas berasal dari create
berarti pandai mencipta. Dalam pengertian yang lebih luas, kreativitas berarti
suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan originalitas berfikir.
Hurlock (2005:4), “Kreativitas adalah kemampuan untuk
menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru
dan sebelumnya tidak dikenal pembuatannya”. Munandar yang diterjemahkan
Sukmadinata (2003:104): “Kreativitas adalah kemampuan
a) untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data informasi atau unsur yang ada,
b) berdasarkan data atau informasi yang tersedia, menemukan banyak kemungkinan
jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya adalah pada kualitas,
ketepat gunaan dan keragaman jawaban, c) yang mencerminkan kelancaran,
keluwesan dan orisinalitas dalam berfikir serta kemampuan untuk mengelaborasi
suatu gagasan”.
Menurut Komite Penasehat Nasional Bidang Pendidikan Kreatif
dan Pendidikan Budaya yang diterjemahkan oleh Craft (2005:291), “Menggambarkan
kreativitas sebagai bentuk aktivitas imajinatif yang mampu menghasilkan sesuatu
yang bersifat original, murni, asli, dan memiliki nilai”. Menurut Suharnan
(2005:373), “Kreativitas dapat didefinisikan sebagai aktivitas kognitif atau
proses berfikir untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang baru dan berguna atau new
ideas and useful”. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kreativitas belajar adalah suatu kondisi, sikap, kemampuan,
dan proses perubahan tingkah laku seseorang untuk menghasilkan produk atau gagasan
mencari pemecahan masalah yang lebih efisien dan unik dalam proses belajar.
Menurut Torrance (1962), Kreatifitas dapat didefinisikan
secara inklusif, yaitu meliputi semua usaha produktif yang unik dari individu.
dengan kata lain kreatifitas dapat diartikan sebagai pola berfikir yang timbul
secara spontan dan imajinatif, yang bercirikan hasil artistik, penemuan ilmiah,
dan penciptaan mekanik. Dalam proses kreatifitas ada dua pandangan yaitu
1) Pandangan Asosiasi, bahwa
kreatifitas menyangkut pembentukan asosiasi stimulus-respons. Jadi pandangan
ini menekankan pada asosiasi yang dipelajari sebelumnya yang dihidupkan kembali
kemudian dirangkaikan.
2) Pandangan Kognitif, bahwa
kreatifitas melibatkan penggabungan gagasan dan informasi dalam cara baru yang
berbeda. Jadi pandangan ini menekankan bahwa analisis kognitif kreatifitas
tidak semata-mata pada asosiasi yang luar biasa tetapi pada gagasan baru yang
bermakna. contohnya ketrampilan berpikir lancar, ketrampilan berfikir luwes
atau fleksibel, ketrampilan berpikir orisional, ketrampilan merinci atau
mengelaborasi serta ketrampilan menilai.
Proses kreatif berlangsung mengikuti tahap-tahap tertentu.
tidak mudah mengidentifikasi secara persis pada tahap manakah suatu proses
kreatif itu sedang berlangsung dan dapat diamati adalah gejalanya berupa
prilaku yang ditampilkan oleh individu. Menurut Wallas (1991), ada empat
tahapan proses kreatif yaitu
1) Persiapan (Preparation). Pada tahap ini individu
berusaha mengumpulkan informasi atau data untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
individu mencoba memikirkan berbagai alternative pemecahan masalah terhadap
masalah yang dihadapi. Dengan bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki, individu berusaha menjajaki berbagai kemungkinan jalan yang dapat
ditempuh untuk memecahkan masalah. namun pada tahap ini belum ada arah yang
tetap meskipun sudah mampu mengeksplorasi berbagai alternative pemecahan
masalah. pada tahap ini masih amat diperlukan perkembangan kemampuan divergen.
2) Inkubasi (Incubation). Pada tahap ini, proses
pemecahan masalah “dierami” dalam alam prasadar. individu seolah-olah
melepaaskan diri untuk sementara waktu dari masalah yang dihadapinya, dalam
pengertian tidak memikirkannya secara sadar melainkan mengendapannya dalam alam
prasadar. Proses inkubasi ini dapat berlangsung lama( berhari-hari atau bahkan
bertahun) dan juga bisa sebentar (beberapa jam saja) kemudian timbul inspirasi
atau gagasan untuk pemecahan masalah.
3) Iluminasi (Illumination). Tahap ini sering disebut
sebagai tahap timbulnya insight. pada tahap ini sudah dapat timbul inspirasi
atau gagasan-gagasan baru. ini timbul setelah diendapkan dalam waktu yang lama
atau bisa juga sebentar pada tahap inkubasi.
4) Verifikasi (Verification). Pada tahap ini, gagasan
yang telah muncul dievaluasi secara kritis dan konvergen serta menghadapkannya
kepada realitas. pada tahap ini pemikiran divergen harus diikuti oleh pemikiran
selektif dan sengaja. penerimaan secara total harus diikuti oleh kritik. Filsafat
harus diikuti oleh pemikiran logis. keberanian harus diikuti oleh sikap
hati-hati. imajinasi harus diikuti oleh pengujian terhadap realitas. Jadi pada
tahap preparation, incubation, dan
illumination adalah proses berfikir divergen yang menonjol maka dalam tahap
verification yang lebih menonjol
adalah proses berpikir konvergen.
Menurut Parnes
(1972) Ada 4 macam prilaku kreatif (ciri kreatifitas), sebagai berikut
1) Fluency (kelancaran), yaitu kemampuan mengemukakan ide yang serupa
untuk memecahkan suatu masalah.
2) Flexibility (keluwesan), yaitu kemampuan memberikan atau menemukan
berbagai macam ide untuk memecahkan suatu masalah diluar kategori biasa.
3) Originality (keaslian), yaitu kemampuan memberikan respon yang unik,
bahan ide secara terperinci untuk mewujudkan ide jadi kenyataan.
4) Sensitivity (kepekaan), yaitu kepekaan menangkap dan menghasilkan
masalah sebagai tanggapan suatu situasi.
Lebih lanjut, Munandar (1999) menjelaskan ciri-ciri pribadi kreatif meliputi ciri-ciri aptitude
dan non-aptitude. Ciri-ciri aptitude yaitu ciri yang berhubungan dengan kognisi
atau proses berfikir adalah
1) Keterampilan berpikir lancar yaitu mencetuskan
banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah, atau pertanyaan, memberikan
banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal, dan selalu memikirkan
lebih dari satu jawaban. Perilaku anak: Mengajukan banyak pertanyaan; Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan; Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu
masalah;
Lancar mengungkapkan gagasan-gagasannya; Bekerja lebih cepat dan melakukan
lebih banyak daripada anak-anak lain; dan Dapat dengan cepat melihat kesalahan
atau kekurangan pada suatu objek atau situasi.
2) Keterampilan berpikir luwes (fleksibel) yaitu menghasilkan gagasan,
jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari
sudut pandang yang berbeda-beda, mencari banyak alternatif atau arah yang
berbeda-beda, dan mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran. Perilaku
anak: Memberikan aneka ragam penggunaan yang tidak lazim terhadap suatu objek; Memberikan
macam-macam penafsiran (interpretasi) terhadap suatu gambar, cerita, atau
masalah; Menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang
berbeda-beda;
Memberi pertimbangan terhadap situasi, yang berbeda dari
yang diberikan orang lain; Dalam membahas/mendiskusikan suatu situasi selalu
mempunyai posisi yang berbeda atau bertentangan dari mayoritas kelompok; Jika diberikan suatu masalah biasanya memikirkan macam-macam cara yang
berbeda-beda untuk menyelesaikannya; Menggolongkan hal-hal menurut pembagian (kategori) yang
berbeda-beda;
dan Mampu mengubah arah berpikir spontan.
3) Keterampilan berpikir orisinal yaitu mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik, memikirkan cara yang
tidak lazim untuk mengungkapkan diri, dan mampu membuat kombinasi-kombinasi
yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Perilaku anak: Memikirkan
masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain; Mempertanyakan cara-cara lama dan berusaha memikirkan cara-cara baru; Memilih a-simetri
dalam menggambar atau membuat disain; Memiliki cara berpikir yang lain dari
yang lain;
Mencari pendekatan yang baru dari yang stereotip; Setelah membaca atau mendengar gagasan-gagasan, bekerja untuk menemukan
penyelesaian yang baru;
dan Lebih senang mensintesis daripada menganalisa situasi.
4)
Keterampilan
memperinci (mengelaborasi) yaitu mampu memperkaya dan
mengembangkan suatu gagasan atau produk dan menambahkan atau memperinci
detil-detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih
menarik.
Perilaku anak: Mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecah
masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci; Mengembangkan atau memperkaya gagasan
orang lain;
Mencoba atau menguji detil-detil untuk melihat arah yang
akan ditempuh;
Mempunyai rasa keindahan yang kuat sehingga tidak puas
dengan penampilan yang kosong atau sederhana; dan Menambahkan garis-garis, warna-warna, dan detil-detil (bagian-bagian)
terhadap gambarnya sendiri atau gambar orang lain.
5)
Keterampilan
menilai (mengevaluasi) yaitu menentukan patokan penilaian sendiri dan
menentukan apakah suatu pertanyaan benar, suatu rencana sehat, atau suatu
tindakan bijaksana, mampu mengambil keputusan terhadap situasi yang terbuka,
dan tidak hanya mencetuskan gagasan, tetapi juga melaksanakannya. Perilaku anak:
Memberi pertimbangan atas dasar sudut pandangnya sendiri; Menentukan pendapat sendiri mengenai suatu hal; Menganalisis
masalah atau penyelesaian secara kritis dengan selalu menanyakan “Mengapa?”; Mempunyai alasan (rasional) yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mencapai
suatu keputusan;
Merancang suatu rencana kerja dari gagasan-gagasan yang
tercetus;
Pada waktu tertentu tidak menghasilkan gagasan-gagasan
tetapi menjadi peneliti atau penilai yang kritis; dan Menentukan
pendapat dan bertahan terhadapnya.
Ciri-ciri
Afektif (Non-Aptitude)
1)
Rasa ingin
tahu yaitu selalu terdorong untuk mengetahui lebih banyak;
mengajukan banyak pertanyaan, selalu memperhatikan orang, obyek, dan situasi,
dan peka dalam pengamatan dan ingin mengetahui/meneliti. Perilaku
anak:
Mempertanyakan segala sesuatu; Senang menjajaki buku-buku,
peta-peta,gambar-gambar, dan sebagainya untuk mencari gagasan-gagasan baru; Tidak
membutuhkan dorongan untuk menjajaki atau mencoba sesuatu yang belum dikenal; Menggunakan
semua panca indranya untuk mengenal; Tidak takut menjajaki bidang-bidang
baru; Ingin mengamati perubahan-perubahan dari hal-hal atau kejadian-kejadian; dan Ingin bereksperimen dengan benda-benda mekanik.
2)
Bersifat
imajinatif yaitu mampu memperagakan atau membayangkan hal-hal yang
tidak atau belum pernah terjadi dan menggunakan khayalan, tetapi mengetahui
perbedaan antara khayalan dan kenyataan. Perilaku anak: Memikirkan/membayangkan hal-hal yang belum pernah terjadi; Memikirkan bagaimana jika melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan
orang lain;
Meramalkan apa yang akan dikatakan atau dilakukan orang
lain; Mempunyai firasat tentang sesuatu yang belum terjadi; Melihat
hal-hal baru dalam suatu gambar yang tidak dilihat orang lain; dan Membuat cerita tentang tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi atau
tentang kejadian-kejadian yang belum pernah dialami.
3)
Merasa
tertantang oleh kemajemukan yaitu terdorong untuk mengatasi
masalah yang sulit, merasa tertantang oleh situasi-situasi yang rumit, dan
lebih tertarik pada tugas-tugas yang sulit. Perilaku
anak: Menggunakan gagasan atau masalah yang rumit; Melibatkan
diri dalam tugas-tugas yang majemuk; Tertantang oleh situasi yang tidak dapat diramalkan
keadaannya;
Mencari penyelesaian tanpa bantuan orang lain; Tidak cenderung mencari jalan tergampang; Berusaha terus-menerus agar
berhasil; Mencari jawaban-jawaban yang lebih sulit/rumit daripada menerima yang
mudah; dan Senang menjajaki jalan yang lebih rumit.
4)
Sifat berani mengambil resiko yaitu berani
memberikan jawaban meskipun belum tentu benar, tidak takut gagal atau mendapat
kritik, dan tidak mejadi ragu-ragu karena ketidakjelasan, hal-hal yang tidak
konvensional, atau yang kurang berstruktur. Perilaku anak: Berani mempertahankan gagasan atau pendapatnya walaupun mendapat tantangan
atau kritik;
Bersedia mengakui kesalahan-kesalahannya; Berani menerima tugas yang sulit
meskipun ada kemungkinan gagal; Berani mengajukan pertanyaan atau mengemukakan
masalah yang tidak dikemukakan orang lain; Tidak mudah dipengaruhi orang lain; Melakukan
hal-hal yang diyakini, meskipun tidak disetujui sebagian orang; Berani mencoba hal-hal baru; dan Berani mengakui kegagalan dan berusaha
lagi.
5)
Sifat
menghargai yaitu dapat menghargai bimbingan dan pengarahan dalam
hidup, dan menghargai kemampuan dan bakat-bakat sendiri yang sedang berkembang. Perilaku anak: Menghargai hak-hak sendiri dan
hak-hak orang lain;
Menghargai diri sendiri dan prestasi; Menghargai makna orang
lain; Menghargai keluarga, sekolah, dan teman-teman; Menghargai kebebasan tetapi tahu bahwa kebebasan menuntut tanggung jawab; Tahu apa yang betul-betul penting dalam hidup; Menghargai
kesempatan-kesempatan yang diberikan; dan Senang dengan penghargaan terhadap
dirinya.
Ciri kreatifitas juga digolongkan kedalam dua bagian yaitu
anak yang kreatifitasnya tinggi dan anak yang kreatifitasnya rendah. Anak yang
kreatifitasnya tinggi cenderung lebih ambisius, mandiri, otonom, cenderung
percaya diri, efisien dalam berfikir, tertarik pada hal-hal komplek dan
perspektif, mampu mengambil resiko. Sedangkan anak yang rendah kreatifitasnya
kurang memiliki kesadaran diri akan arti hidup sehat dan sejahtera, kurang bisa
mengendalikan dirinya dan kurang efisien dalam berfikir.
2.2
Jenis-Jenis Kreativitas
1) Kreativitas dari
aspek pribadi, muncul dari keunikan pribadi individu dalam interaksi dengan
lingkungannya. setiap anak mempunyai bakat kreatif, namun masing-masing dalam
bidang dan kadar yang berbeda-beda. kreativitas sebagai kemampuan berfikir
meliputi kelancaran, kelenturan, orisinalitas, dan elaborasi.
a.
Kelancaran disini berkaitan dengan kemampuan untuk
membangkitkan sejumlah besar ide-ide, dengan hal tersebut akan semakin besar
kesempatan untuk menemukan ide-ide yang baik.
b.
Orisinalitas adalah kemampuan untuk menghasilkan ide-ide
luar biasa, memecahkan problem dengan cara yang luar biasa atau menggunakan
hal-hal atau situasi yang luar biasa. individu yang kreatif membuahkan
tanggapan yang luar biasa, membuat asosiasi jarak jauh dan membuahkan tanggapan
yang cerdik serta mempunyai gagasan yang jarang dimiliki oranglain.
c.
Elaborasi adalah kemampuan menyatakan pengarahan ide secara
terperinci untuk mewujudkan ide secara terperinci untuk mewujudkan ide jadi
kenyataan.
2) Pendorong menunjuk pada
perlunya dorongan dari dalam individu (berupa minat, hasrat, dan motivasi) dan
dari luar (keluarga, sekolah, masyarakat) agar bakat kreatif dapat diwujudkan.
Sehubungan dengan hal ini pendidik diharapkan dapat member dukungan, perhatian,
serta sarana prasarana yang diperlukan.
3) Kreatifitas sebagai
proses ialah proses bersibuk diri secara kreatif. Pada anak usia prasekolah
hendaknya kreatifitas sebagai proses yang diutamakan, dan jangan terlalu cepat
mengharapkan produk kreatif yang bermakna dan bermanfaat. jika pendidik terlalu
cepat menuntut produk kreatif yang memenuhi mutu tertentu, hal ini akan
mengurangi kesenangan dan keasyikan anak untuk berkreasi.
4) Kreatifitas sebagai
produk merupakan suatu ciptaan baru yang bermakna bagi individu dan atau bagi lingkungannya. Pada
seorang anak, hasil karyanya sudah dapat disebut kreatif, jika baginya hal itu
baru, ia belum pernah membuat itu sebelumnya dan ia tidak meniru atau mencontoh
pekerjaan orang lain. dan yang penting produk kreatifitas anak perlu dihargai agar
ia merasa puas dan tetap bersemangat dalam berkreasi.
Kegiatan kreatif ini
bertujuan membentangkan alam pikiran dan perasaan anak, menjangkau masa lalu,
dan masa depan, menantang maka menjajaki bidang-bidang baru, memikirkan hal-hal
baru yang belum terpikir sebelumnya, mengantisipasi akibat-akibat dari
hipotesis, menggunakan daya imajinasi dan firasatnya dalam memecahkan masalah.
2.3
Cara Mengembangkan Kreativitas Peserta Didik Dalam Pembelajaran Sejarah
Merujuk dari pendapat Sartono Kartodirdjo (1988) bahwa dalam
rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk
memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah tetapi
juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran sejarahnya.
Karena, seperti yang tertuang dalam Peraturam Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi, pengetahuan masa lampau
tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih
kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian peserta didik.
Untuk itu nilai-nilai sejarah harus dapat tercermin dalam
pola perilaku nyata peserta didik. Dengan melihat pola prilaku yang tampak,
dapat mengetahui kondisi kejiwaan berada pada tingkat penghayatan pada makna
dan hakekat sejarah pada masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian baru
dapat diketahui pembelajaran sejarah terlah berfungsi dalam proses pembentukan
sikap. Terkait dengan itu, I Gde Widja (1989), mengungkapkan bahwa bertolak
dari pikiran tiga dimensi sejarah maka proses pendidikan, khususnya pengajaran
sejarah, ibarat mengajak peserta didik menengok ke belakang dengan tujuan
melihat ke depan.
Makna yang tertuang dari pendapat ahli tersebut adalah
dengan mempelajari nilai-nilai kehidupan masyarakat di masa lampau, diharapkan
peserta didik mencari atau mengadakan seleksi terhadap nilai-nilai itu, mana
yang relevan atau dapat dikembangkan dalam menghadapi tantangan zaman yang
kompleks di masa kini maupun yang akan datang. Proses mencari atau proses
seleksi jelas menekankan pada pendekatan proses, serta menuntut untuk lebih
diciptakan aktivitas fisik-mental dan kreativitas siswa dalam belajar sejarah.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1992)
bahwa hendaknya pengajaran sejarah memberi pengertian yang mendalam serta suatu
keterampilan.
Untuk dapat meningkatkan pengertian serta keterampilan dalam
pembelajaran sejarah, bisa merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh
Soejatmoko (1976), berikut ini. Pengajaran sejarah hendaknya diselenggarakan
sebagai suatu avontuzir bersama dari pengajar maupun yang diajar. Dalam
konsepsi maka bukan hafalan fakta melainkan riset bersama antara guru dan
mahasiswa (peserta didik, penulis) menjadi metode utama. Dengan jalan ini si
mahasiswa langsung dihadapkan dengan tantangan intelektual yang memang
merupakan ciri khas dari pada sejarah sebagai ilmu. Demikian pula ia dilibatkan
langsung dalam suatu engagement baru dengan arti sejarah untuk hari kini. Dia
menjadi peserta pelaku dalam usaha penemuan diri bangsa kita sendiri.
Berdasarkan pada apa yang dikemukakan di atas, maka usaha
untuk menciptakan aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam pembelajaran
sejarah bisa ditempuh, merujuk dari pendapatnya Habib Mustopo, dkk (1987),
dengan melibatkan secara langsung dalam proses mencari, menelusuri, mengamati,
menyeleksi serta mengkaji nilai-nilai kehidupan masa lalu dari jejak-jejak
kesejarahan yang ada, kemudian menyusunnya dalam bentuk laporan ceritera
sebagai suatu cara untuk dapat memahami dan menghayati sebenar-benarnya apa
yang ingin dimengerti (emfuhlend einleber dalam bahasa Jerman).
Sesudah mendapat pengertian dan penghayatan yang
sebenar-benarnya diharapkan peserta didik mampu mengembangkan nilai-nilai itu
supaya relevan untuk menghadapi permasalahan hidup di masa kini dan di masa
datang. Mereka diharapkan tanggap atau peka dalam melihat serta menghadapi
problema sesuai dengan kondisi zaman yang pada dasarnya selalu berubah. Peserta
didik ditantang untuk tidak sekedar mewarisi nilai-nilai dari masa lampau tetapi
dituntut untuk kreatif, kritis dan dapat mengembangkannya, sehingga dapat
berfungsi dalam kehidupannya.
Untuk membantu meningkatkan pemahaman dan penghayatan yang
sebenar-benarnya terhadap nilai-nilai kesejarahan serta gaerah belajar, peserta
didik dapat melakukan kegiatan langsung di lapangan yaitu di lingkungannya
sendiri, untuk mengkaji jejak-jejak kesejarahan dalam rangka mengumpulkan fakta
sejarah. Dengan menempuh kegiatan ini, peserta didik dalam proses pembelajaran
tidak hanya menerima informasi guru serta inkuiri kepustakaan, tetapi dapat
memperoleh pengalaman secara langsung dalam menelusuru jejak-jejak kesejarahan
yang ada di lingkungannya.
Termasuk di sini dapat melihat, mengamati, mengkaji serta
memperoleh informasi secara langsung dari tokoh masyarakat di sekitar tempat
itu yang mengetahui tentang peristiwa yang ada kaitannya dengan jejak
kesejarahan yang ada. Kegiatan ini bisa dikembangkan dalam kaitannya dengan
sejarah lokal, dimana setelah peserta didik mengumpulkan fakta-fakta lalu mengkaji
dan menyeleksi kemudian menyusunnya dalam bentuk uraian ceritera, sehingga
dengan cara itu siswa dapat mendapatkan keterampilan menyusun sejarah.
Memang harus diakui bahwa untuk menciptakan proses
pembelajaran yang demikian, terdapat berbagai masalah yang dirasa merupakan
kendala. Seperti diketahui dalam pembelajaran sejarah segala sesuatunya
digariskan dalam kurikulum, antara lain yang berkaitan dengan tujuan umum,
bahan, waktu dan cara-cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan.
Ruang lingkup bahan yang dijabarkan dalam standar kompetensi
(SK) dan Kompetensi Dasar (KD), biasanya cukup luas atau bisa dikatakan bahwa
bahan cukup padat. Dengan demikian guru dibebani tugas untuk menyelesaikan
bahan (materi) kurikulum atas dasar kontrol dari pimpinan sekolah. Tuntutan ini
erat terkait dengan sistem evaluasi yang mesti dilaksanakan. Oleh karena itu,
maka sesuai dengan apa yang digariskan dalam kurikulum maka kegiatan
pembelajaran di dalam sejarah, umumnya meruapakan kegiatan pembelajaran di
dalam kelas. Interaksi diciptakan antar guru-peserta didik serta teks yang
kadang-kadang dibantu dengan media buatan yang disediakan oleh guru untuk
mengkongkritkan hal-hal yang bersifat abstrak.
Tuntutan seperti itu, harus dimaknai dalam kerangka
melaksanakan proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, melalui
pendekatan kontekstual. Untuk mengarah ke proses pembelajaran yang terpusat
pada peserta didik di dalam kelas untuk mengkaji jejak-jejak kesejarahan bisa
ditempuh dengan mengkaji kepustakaan dibantu dengan alat-alat visual maupun
audio visual, yang antara lain berupa model, maket, sketsa, photo, film, kaset
dan lain-lain, yang merupakan bagian dari kelengkapan laboratorium sejarah yang
dilengkapi dengan kepustakaan yang menunjang, sehingga sebelum peserta didik
mendapat kesempatan memperoleh pengalaman secara langsung di lapangan, sudah
mendapat mengalaman buatan dengan belajar dalam laboratorium sejarah.
Dimana peserta didik dapat belajar secara aktif mengamati,
meneliti, dibantu dengan sumber kepustakaan yang ada dalam mengkaji suatu
permasalahan kemudian membuat laporan. Supaya peserta didik dapat belajar
melalui pengalaman buatan harus ditunjang dengan sarana (fasilitas) yang
memadai. Sekolah harus memiliki sarana sebagai sumber belajar berupa laboratorium
sejarah, yang memiliki perpustakaan yang memadai. Di sinilah biasanya timbul
masalah, karena pada umumnya satuan pendidikan di Indonesia memiliki sarana
media serta perpustakaan yang terbatas.
Untuk terciptanya pembelajaran yang
kontekstual bagi peserta didik, maka kendala (masalah) tersebut harus mendapat
penyelesaian atau dilengkapi. Pembelajaran dengan model kontekstual akan sangat
bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidupannya. Mengingat, sebagaimana
tertuang dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional
(2010), bahwa pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh
komponen utama pembelaaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism),
bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic
assessment).
Pendekatan pembelajaran kontekstual, yang berpusat pada
peserta didik, memang menuntut kecuali pembelajaran di dalam kelas, perlu juga
diciptakan kegiatan pembelajaran di luar kelas. Dengan kegiatan di luar kelas
peserta didik secara langsung dapat melihat kehidupan masyarakat atau
jejak-jejak kesejarahan yang ada di lingkungan peserta didik, dimana
jejak-jejak kesejarahan itu pada dasarnya dapat menciptakan kehidupan
masyarakat pada zamannya. Peserta didik melihat secara langsung, aktif
mencari/meneliti aspek kehidupan masyarakat pembuatnya (pendukungnya) di masa
lalu serta nilai-nilai yang tercermin di dalamnya dapat dicari informasinya
dari sumber-sumber yang berasal dari masyarakat setempat, kemudian
menuliskannya dalam bentuk laporan.
Dengan kegiatan ini peserta didik dapat membandingkan
informasi yang telah diperoleh melalui belajar (tatap muka) di kelas dengan apa
yang diperoleh di lapangan. Sehingga melalui hasil belajar itu dapat
meningkatkan pemahaman peserta didik. Kegiatan belajar di luar kelas merupakan
pelaksanaan dari pendekatan inkuiri, yang dapat meningkatkan keterlibatan fisik
dan mental secara optimal, serta dapat memberikan variasi model pembelajaran
yang dapat menghilangkan kesan bahwa pelajaran sejarah semata-mata merupakan
pelajaran hafalan. Disamping itu, dengan model pembelajaran ini peserta didik
didorong untuk mengembangkan sikap kritis, kreatif, tanggap terhadap berbagai
permasalahan, serta peka dalam menghadapi gejala perubahan zaman.
Oemar Hamalik (2003), mengatakan pengajaran berdasarkan
inkuiri adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa di mana kelompok siswa inquiry
kr adalam suatu isu atau atau mencari jawaban-jawaban terhadap isi pertanyaan
melalui suatu prosedur yang digariskan secara jelas dan struktural kelompok.
Dalam pengertian yang lain, seperti dikemukakan oleh Nana Sudjana (2005),
pendekatan “inquiry” merupakan pendekatan mengajar yang berusaha meletakkan
dasar dan mengembangkan cara berpikir ilmiah. Pendekatan ini menempatkan siswa
lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kekreatifan dalam memecahkan
masalah. Siswa betul-betul ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan
guru dalam pendekatan “inquiry” adalah pembimbing belajar dan fasilitator
belajar.
Untuk menciptakan kegiatan yang demikian memang menuntut
waktu yang lebih banyak dan biaya yang tidak sedikit, baik bagi guru maupun
peserta didik. Namun di sinilah dituntut kreativitas guru dalam pengelolaan
pembelajaran dan pengekolaan kelas. Guru harus menyiapkan perencanaan
pembelajaran yang lebih mantap. Meneliti SK dan KD yang proses pembelajarannya
bisa dilanjutkan dengan model inkuiri lapangan untuk mencapai tujuan.
Mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan dan menetapkan langkah-langkah
kegiatan yang akan dilakukan oleh peserta didik, dengan sudah mempertimbangkan
alokasi waktu yang disediakan dalam kurikulum.
Penerapan proses pembelajaran dengan model seperti itu,
berangkat dari landasan berpikir bahwa pendidikan sejarah pada dasarnya tidak
untuk masa sekarang saja, tetapi juga untuk masa mendatang. Mengingat sejarah
merupakan mata pelajaran yang pada dasarnya bertujuan untuk membangun karakter
bangsa. Dengan kata lain, merujuk pada isi Permendiknas Nomor 22 Tahun 2003,
mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Materi sejarah:
1) Mengandung
nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme,
dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan
kepribadian peserta didik;
2) Memuat khasanah
mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi
tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan
penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan;
3) Menanamkan kesadaran
persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam
menghadapi ancaman disintegrasi bangsa;
4) Syarat dengan ajaran
moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari;
5) Berguna untuk
menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara
keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Pendidikan sejarah, pada hakekatnya membudayaan pada peserta
didik tentang perspektif sejarah yang memberi kemampuan untuk melihat bahwa
segala sesuatu adalah produk dari perkembangan masa lampau. Apabila hendak
dilakukan proyeksi ke masa depan berdasarkan pengalaman masyarakat di masa
lampau maupun kini, maka menurut Sartono Kartodirdjo (1988), harus dilakukan
melalui pendekatan diakronis melengkapi pendekatan sinkronis
untuk digunakan dalam mempelajari sejarah.
Kehidupan tokoh atau para pahlawan dapat diungkapkan untuk
diteladani generasi penerus dalam hal sikapnya terhadap bangsa dan tanah air,
pengabdian tanpa pamrih, tanggung jawab sosial, mengekang kepentingan pribadi,
mendahulukan kepentingan umum, dan menekankan jerih payah dalam meraih
cita-cita. Keteladanan yang terungkap itu merupakan motivasi nagi generasi
penerus untuk mengembangkan kemampuan serta aktivitas dalam menghadapi
kehidupan yang makin kompleks serta perubahan yang pesat di masa mendatang.
Keteladanan serta kemampuan dalam mengembangkan aktivitas
dalam pengabdian kepda masyarakat, bangsa dan tanah air, serta terbentuknya
sikap tanggap terhadap permasalahan hidup yang kompleks dan perubahan yang
pesat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi,
sangat dituntut atau diperluakan dalam pembinaan karakter bangsa. Sejarah pada
dasarnya merupakan sumber inspirasi dan aspirasi untuk generasi baru (muda)
dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan menggali nilai-nilai yang tercermin
pada peristiwa di masa lampau, maka nilai-nilai itu bisa dijadikan sumber
inspirasi dan aspirasi generasi muda dalam mengembangkan sikap untuk membangun
bangsa dan negara.
Untuk mencapai sasaran tersebut, kiranya pendekatan
pembelajaran yang terpusat pada siswa, pendekatan kontekstual dan pendekatan
inkuiri, perlu dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, karena seperti sudah
dijelaskan di atas, pendekatan ini mampu meningkatkan usaha penangkapan makna
masa lampau oleh peserta didik. Melalui aktivitas fisik-mental yang lebih
meningkat (termasuk kegiatan di luar kelas), peserta didik lebih terdorong
dalam keterampilan berpikir melalui proses inkuiri dan dalam sentuhan pada
makna/nilai pengalaman masa lampau sebagai unsur utama dan pembelajaran
sejarah.
Dalam pelaksanaan pendekatan kontesktual atau inkuiri dalam
pembelajaran sejarah, hendaknya tidak semata-mata menekankan aktifnya peserta
didik dalam pembelajaran, tetapi lebih dari itu perlu diperhatikan maknanya
yang lebih luas, sebagaimana diungkapkan oleh I Gede Widja (1991), berikut ini.
1) Mengembangkan sikap
kritis analitik dalam menerima uraian guru atau dalam mengamati
gejala/peristiwa sejarah;
2) Membiasakan murid
berpikir konsep (merumuskan pandangan konseptual), bukan sekedar mengulangi apa
yang dia dibaca atau dengar dari guru;
3) Mendorong siswa membaca/menemukan
sendiri informasi tangan pertama, bukan sekedar yang disampaikan/diberitahukan
orang lain/guru, yang memungkinkan mereka lebih mampu berpikir orisinil dalam
menghadapi gejala/peristiwa sejarah;
4) Membiasakan murid
membuat karangan singkat yang bersifat analitik projektif yang berkaitan dengan
usaha meningkatkan kemampuan mereka dalam melihat tiga dimensi sejarah (masa
lampau, masa kini dan masa yang akan datang);
5) Membiasakan murid
bersifat mandiri dalam mengajukan pendapat, meskipun mereka dianjurkan pula
untuk bekerja secara kelompok;
6) Membiasakan siswa
berpikir multidimensional (terutama dalam arti tidak bersufat deterministic)
dalam membahas suatu masalah;
7) Membiasakan siswa
bersifat terbuka atau demokratis, dalam arti selalu bersedia menerima pendapat
pihak lain, kalau pendapat pihak lain tersebut memang lebih kuat argumentasinya
dari pendapatnya sendiri.
BAB 3. SIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Pengertian kreatifitas
menurut KBBI berarti hasil dari kemampuan mencipta. Untuk mengembangkan pribadi
dan intelektual manusia perlu memiliki pengetahuan dan kreatifitas. Kreativitas
menurut Drevdahl seperti yang dikutip oleh Hurlock (2000:5) mendifinisikan
Kreativitas merupakan suatu kemampuan untuk memproduksi komposisi dan
gagasan-gagasan baru yang dapat berwujud aktifitas imajinatif yang melibatkan
pembentukan pola-pola baru dan kombinasi dari pengalaman masa lalu yang
dihubungkan dengan keadaan yang sudah ada pada situasi sekarang, hal tersebut
berguna, bertujuan, terarah, dan tidak hanya sekedar fantasi.
Menurut Suharnan (2005:373),
“Kreativitas dapat didefinisikan sebagai aktivitas kognitif atau proses
berfikir untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang baru dan berguna atau new
ideas and useful”. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kreativitas belajar adalah suatu kondisi, sikap, kemampuan,
dan proses perubahan tingkah laku seseorang untuk menghasilkan produk atau
gagasan mencari pemecahan masalah yang lebih efisien dan unik dalam proses
belajar. Munandar (1999) menjelaskan
ciri-ciri pribadi kreatif meliputi ciri-ciri aptitude dan non-aptitude.
Ciri-ciri aptitude yaitu ciri yang berhubungan dengan kognisi atau proses
berfikir dan non-aptitude berhubungan dengan rasa ingin tahu.
Untuk dapat meningkatkan
pengertian serta keterampilan dalam pembelajaran sejarah, bisa merujuk pada
pendapat yang dikemukakan oleh Soejatmoko (1976), berikut ini. Pengajaran
sejarah hendaknya diselenggarakan sebagai suatu avontuzir bersama dari pengajar
maupun yang diajar. Dalam konsepsi maka bukan hafalan fakta melainkan riset bersama
antara guru dan mahasiswa (peserta didik, penulis) menjadi metode utama. Dengan
jalan ini si mahasiswa langsung dihadapkan dengan tantangan intelektual yang
memang merupakan ciri khas dari pada sejarah sebagai ilmu. Demikian pula ia
dilibatkan langsung dalam suatu engagement baru dengan arti sejarah untuk hari
kini. Dia menjadi peserta pelaku dalam usaha penemuan diri bangsa kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Sudjana
Nana. 2005. Dasar-dasar Proses
Belajar Mengajar. Bandung:Sinar Baru Algensindo.
Widja
I Gde. 1989. Sejarah Lokal:Suatu
Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta LPTK Departeman P
dan K.
Anonim. Kumpulan
Artikel Kreativitas. [serial online]
http://ierckhampkreativity101.wordpress.com/kumpulan- artikel/kreativitas/. [diakses pada
tanggal 28 September 2014]
Anonim. 2010. Kreativitas Anak-Anak Dapat Dilihat Dari. [serial online]
http://ramlimpd.blogspot.com/2010/09/kreativitas-anak-dapat-dilihat- dari.html. [diakses pada tanggal
28 September 2014]
anonim. 2013. Definisi
Kreativitas Menurut Ahli. [serial online]
http://definisiahli.blogspot.com/2013/05/definisi-kreativitas-menurut- ahli.html. [diakses pada tanggal
28 September 2014]