PERKEMBANGAN FASISME
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pengampuh Dr. Suranto
M. Pd
Paper
Oleh:
NUR
MA’RIFA 120210302087
KELAS
B
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
1. Hakekat
Fasisme
Istilah “Fasisme” pertama kali digunakan di Italia oleh
pemerintah yang berkuasa tahun 1922-1924 pimpinan Benito Mussolini. Dan gambar
tangkai-tangkai
yang diikatkan pada kapak menjadi lambang Partai Fasis pertama. Setelah
Italia, pemerintahan Fasis
kemudian berkuasa di Jerman dari 1933 hingga 1945
dan di Spanyol dari 1939 hingga 1975. Setelah
Perang Dunia II rezim-rezim diktatoris yang muncul di Amerika Selatan dan negara-negara belum berkembang lain
umumnya digambarkan sebagai Fasis.
Fasisme merupakan pengorganisasian pemerintah
dan masyarakat secara totaliter oleh kediktatoran partai tunggal yang sangat Nasionalis, Rasialis, Militeris dan Imperalis. Fasisme adalah sebuah gerakan
politik penindasan yang pertama kali berkembang di Italia setelah tahun 1919
dan kemudian di berbagai Negara Eropa,
sebagai reaksi atas perubahan sosial politik akibat Perang Dunia I. Nama
fasisme berasal dari kata latin “Fasces”
artinya kumpulan tangkai yang diikatkan
kepada sebuah kapak, melambangkan pemerintahan Romawi
Kuno.
Fasisme sesungguhnya merupakan ideologi
yang di bangun menurut hukum rimba, Fasisme juga bertujuan membuat individu dan
masyarakat berfikir dan bertindak seragam, untuk mencapai tujuan ini fasisme
menggunakan kekuatan dan kekerasan bersama semua metode propaganda bahkan
melakukan genocide (pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan atau
bangsa).Hal tersebut dikarenakan menurut ideologi fasis, Negara bukan ciptaan
rakyat merupakan ciptaan orang kuat. Bila orang kuat sudah membentuk organisasi
Negara, maka negara wajim menggembleng atau memaksakan dan mengisi jiwa rakyat.
Fasisme sebagai ideologi berkembang pada abad ke-20 ia menyebar dengan pesat di
seluruh dunia pada perang dunia. Ideologi
Fasisme memiliki beberapa sifat yaitu:
a.
Rasisme, diartikan sebagai paham yang
menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti warna kulit)
dalam masyarakat. Rasisme juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku,
agama, ras, golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu.
b. Militerisme
adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan keamanannya terletak
pada kekuatan militernya dan mengklaim bahwa perkembangan dan pemeliharaan
militernya untuk menjamin kemampuan itu adalah tujuan terpenting dari
masyarakat.Sistem ini memberikan kedudukan yang lebih utama kepada
pertimbangan-pertimbangan militer dalam kebijakannya daripada kekuatan-kekuatan
politik lainnya. Mereka yang terlibat dalam dinas militer pun mendapatkan
perlakuan-perlakuan istimewa.
c. Ultra
Nasionalis, ialah sikap membanggakan suatu negara secara berlebihan sehingga
sangat merendahkan negara yang lainnya. Sehingga mudah sekali memancing
pertengkaran atau peperangan.
d. Imperialisme
ialah politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan
diri sendiri yang dibentuk sebagai imperiumnya (hak memerintah).
"Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan
senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi, asal saja
dengan paksaan.
Empat sifat tersebut mengakibatkan
Ideologi Fasisme ini dapat manghambat multikulturalisme yaitu pandangan
seseorang terhadap ragam kehidupan seperti kubudayaan, agama, ras. Evriza (2008: 106) mengatakan bahwa Fasisme merupakan gaya politik,
daripada ideologi
sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama. Paham ini merupakan tipe nasionalisme yang
romantis dengan segala kemegahan upacara dan simbol yang mendukungnya untuk
mencapai kebesaran negara.
2. Perkembangan
Fasisme
Fasisme (fascism) merupakan
pengorganisasian pemerintah dan masyarakat secara totoaliter oleh kediktatoran
partai tunggal yang sangat nasionalis rasialis, militeristis dan imperialis.
Italia merupakan negara pertama yang menjadi Fasis (1922) menyusul Jerman tahun
1933 dan kemudian Spanyol melalui Perang Saudara yang pecah tahun 1936. Di Asia
Jepang berubah menjadi Fasis dalam tahun 1930-an melalui perubahan secara
perlahan ke arah lembaga-lembaga yang totaliter setelah menyimpang dari budaya
aslinya.
Pada umunya Fasisme
muncul dan berkembang di negara-negara
yang relatif
lebih makmur dan secara teknologi lebih maju (Jerman di Eropa dan Jepang di Asia). Untuk pertumbuhan Fasisme adalah pencapaian tingkat atau
tahap tertentu dalam perkembangan industri.
Setidak-tidaknya ada dua titik temu antara Fasisme dan tingkat industrialisasi yang
relatif maju. Pertama,
aksi diperolehnya. Aksi terror dan propaganda memerlukan banyak pengaturan secara
teknologis dan teknologi. Kedua, sebagai suatu sistem mobolisasi permanen untuk keperluan
perang, Fasisme
tidak mungkin berhasil tanpa keahlian dan sumber-sumber daya industri yang maju.
Dari segi latar belakang sosial, Fasisme menarik minat dua kelompok secara
khusus. Pertama, sistem
itu menarik sekelompok kecil industriawan dan tuan tanah yang bersedia
membiayai gerakan-gerakan Fasis
dengan harapan bahwa sistem
itu dapat melenyapkan serikat-serikat buruh bebas. Di negara-negara yang memiliki Tradisi Liberal dan demokrasi yang kuat, misalnya
kaum industriawan memiliki keperayaan yang tidak lebih ataupun kurang dari
kelompok lainnya pada proses Demokrasi.
Tetapi jika demokrasi goyah, seperti yang terjadi di Jerman, Italia dan Jepang
hanya di butuhkan segelintir industriawan kaya dan tuan tanah saja untuk
membiayai gerakan-gerakan Fasis.
Sumber dukungan utama Fasisme datang dari kelas menengah bawah (lower-middle-claas), terutama dikalangan
pegawai negeri. Mereka melihat Fasisme
sebagai penyelamat bagi kedudukannya dan prestisenya. Para pegawai negeri, merasa cemburu dengan
perusahaan-perusahaan besar meskipun mereka tergerak untuk mencapai kedudukan yang tinggi dalam
perusahaan-perusahaan itu. Namun mereka juga takut ika dimasukkan kedalam
kelompok dunia Ploretar. Sumber
dukungan dari kaum buruh juga sangat berpengaruh bagi Fasis, kaum buruh yang terorganisir
sering menyokongkan ketidakpastian dan proses demorialisasi dikalangan pegawai
negeri tanpa menyadari manfaatnya.
Karena alasan
psikologis para pegwai kantor biasa enggan untuk menggabungkan diri dalam
berbagai serikat buruh. Akibatnya pendapatan para buruh biasa terutama yang
terorganisir dalam organisasi buruh cenderung naik daripada penghasilan pegawai
kantor. Karena jurang perbedaan status ekonomi para buruh yang biasa dan
pegawai kantor terus melebar maka para pegawai kantor semakin takut akan
kehilangan apa yang dianggapnya sebagai status yang sah dalam masyarakat.
Keadaan itu yang mendorong mereka dan beralih pada Fasisme yang mengendalikan para serikat
buruh.
Kelompok sosial lain yang rentan terhadap propaganda
Fasisme adalah kelompok militer bahkan
dalam Negara Demokrasi
yang sudah mapan personil militer professional cenderung untuk meremehkan
kedisiplinan dan persatuan. Jika Demokrasi
melemah, maka penyimpangan
Demokrasi Militer akan
menjadi bencana politik.
Pada tahap awal Nazisme
di Jerman kelompok militernya secara terbuka mendukung Hitler. Pemimpin-pemimpin puncak Jerman tahu bahwa sebagian pemimpin Nazi adalah jahat dan penderita psikopat yang tidak
bersalah. Walaupun demikian mereka tetap mendukung gerakan Nazi sebagai suatu langkah menuju militerisasi
rakyat Jerman.
Di Italia, pada tahap
awal Fasisme mendapat
dukungan kuat dari angkatan bersenjata. Di Jepang Fasisme berkembang atas dukungan yang
aktif dari militer yang memiliki alasan untuk menjadi tiang penyanggah utama
dari rezim yang memiliki kepentingan ekspansi Imperialis. Di Argenina pemerintahan yang
semi konstitusional disingkirkan dalam suatu pemberontakan oleh para perwira muda di bawah Pimpiman Peron. Yang memulai fasisme dengan
gayanya sendiri dan dari namanya sendiri yaitu Peronisme. Fasisme
melintasi semua kelompok sosial, para industriawan dan tuan tanah yang
makmur, kelas menengah ke bawah dan para guru biasa. Semuanya memiliki alasan
tersendiri dalam mendukung Fasisme.
Semakin
banyak Kaum
Nasionals dan Chauvinis yang memperlihatkan bahwa
mereka rentan. Terhadap janji-janji penaklukan dan terciptanya kerajaan menyangkut program-program eksplesit gerakan-gerakan Fasis harus membuat janji-janji yang berlawanan untuk memuaskan
seluruh pihak yang mengikutinya. kontradiksi-kontradiksi inilah yang menjadi kelemahan Fasisme, akan tetapi mengenai latar belakang
psikologis yang emplisit, Fasisme
mencari kelompok sosial
yang memiliki kesamaan yaitu
frustasi, kemarahan
dan rasa tidak aman.
Sikap-sikap psikologi
ini dapat diartikan sebagai sikap kebencian dan agresi melawan musuh dari dalam
maupun dari luar. Karena sikap-sikap sosial dan psikologis ini bukan merupakan
monopoli satu kelompok atau kelas sosial
saja maka Fasisme
dapat menarik masa secara besar-besaran diberbagai negara ketika Adolf Hitler menggabungkan diri dalam Partai Nazi tahun 1919 ia menjadi anggota no.7
tetapi 14 tahun
kemudian Nazisme
manjadi gerakan masa yang sangat besar di Negara Jerman.
Pada abad ke-20, fasisme muncul di
Italia dalam bentuk Benito Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul
sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan
Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan
tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat
sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa
lain yang dianggap lebih rendah.
Fasisme dikenal sebagai ideologi yang
lahir dan berkembang subur pada abad ke-20. Ia menyebar dengan pesat di seluruh
dunia pada permulaan Perang Dunia I, dengan berkuasanya rezim fasis di Jerman
dan Italia pada khususnya, tetapi juga di negara-negara seperti Yunani,
Spanyol, dan Jepang, di mana rakyat sangat menderita oleh cara-cara pemerintah
yang penuh kekerasan. Berhadapan dengan tekanan dan kekerasan ini, mereka hanya
dapat gemetar ketakutan. Diktator fasis dan pemerintahannya yang memimpin
sistem semacam itu di mana kekuatan yang brutal, agresi, pertumpahan darah, dan
kekerasan menjadi hukum mengirimkan gelombang teror ke seluruh rakyat melalui
polisi rahasia dan milisi fasis mereka, yang melumpuhkan rakyat dengan rasa
takut.
Lebih jauh lagi, pemerintahan fasis
diterapkan dalam hampir semua tingkatan kemasyarakatan, dari pendidikan hingga
budaya, agama hingga seni, struktur pemerintah hingga sistem militer, dan dari
organisasi politik hingga kehidupan pribadi rakyatnya. Pada akhirnya, Perang
Dunia II, yang dimulai oleh kaum fasis, merupakan salah satu malapetaka
terbesar dalam sejarah umat manusia, yang merenggut nyawa 55 juta orang.
Ebenstein (2006:154) mengatakan fasis mungkin tidak lagi
merupakan sebagai ancaman bagi negara-negara yang menganut sistem demokrasi
yang terkemuka. Tetapi tidak menutup kemungkinan gejala-gejala untuk megambil
oper pemerintah jika dilihat-gejala-gejala masih ada. Gejala-gejala
ini bisa dilihat adanya gerakan-gerakan yang terjadi misalnya di Amerika
serikat yang anti-intelektual yang melemahkan proses-proses rasionalitas.
Gejala lain adalah munculnya gejala rasialisme dibebarapa
negara, gejala lain adalah bermunculan keresahan-keresahan sosial di tengah
masyarakat yang muncul akibat ketidak berhasilan sistem demokrasi, yang juga
anti komunis. Alternatif praktis bukanlah diantara 100 persen baik dan 100
persen jahat, tetapi selalu diantara campuran-campuran kedua keadan itu dengan
porsi yang berbeda. Ebenstein (2006:154) mengatakan
fasis mungkin tidak lagi merupakan sebagai ancaman bagi negara-negara yang
menganut sistem demokrasi yang terkemuka. Tetapi tidak menutup kemungkinan
gejala-gejala untuk megambil oper pemerintah jika dilihat-gejala-gejala masih
ada.
Gejala-gejala ini bisa dilihat adanya gerakan-gerakan yang
terjadi misalnya di Amerika Serikat yang anti-intelektual yang melemahkan proses-proses
rasionalitas. Gejala lain adalah munculnya gejala rasialisme dibebarapa negara,
gejala lain adalah bermunculan keresahan-keresahan sosial di tengah masyarakat
yang muncul akibat ketidak berhasilan sistem demokrasi, yang juga anti komunis.
Alternatif praktis bukanlah diantara 100 persen baik dan 100 persen jahat,
tetapi selalu diantara campuran-campuran kedua keadan itu dengan porsi yang
berbeda. Negara-negara yang pernah menganut Ideologi Fasisme
adalah Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Italia dan Jerman.
Perang satu-satunya
yang akan membawa seluruh energi manusia ke tingkat tertinggi dan membubuhkan cap
kebangsawanan kepada orang-orang yang berani menghadapinya.
Kaum Fasis memahami
hidup sebagai tugas, perjuangan
dan penaklukan, tetapi di atas semua untuk orang lain bersama dan mereka yang
jauh, sejaman, dan mereka datang setelahnya. Ciri lain adalah bahwa Fasisme merupakan Ideologi Nasionalistik dan Agresif yang didasarkan pada Rasisme. Nasionalisme semacam ini sama
sekali berbeda dari sekedar
kecintaan pada negara.
Dalam Nasionalisme
Agresif seseorang mempunyai
cita-cita agar bangsanya menguasai bangsa lain, menghinakan
mereka, dan tidak menyesali timbulnya penderitaan hebat rakyatnya sendiri. Selain itu, Nasionalisme Fasistik menggunakan peperangan,
pendudukan, pembantaian, dan pertumpahan darah sebagai alat untuk mencapai
tujuan-tujuan politis tersebut.
Dasar kebijakan sosial Fasisme adalah pemaksaan gagasan dan
keharusan rakyat untuk menerimanya.
Fasisme bertujuan membuat individu dan masyarakat berpikir dan bertindak
seragam dengan menggunakan
kekuatan dan kekerasan bersama semua metode propaganda. Fasisme menyatakan siapapun yang tidak
mengikuti gagasan-gagasan sebagai musuh, bahkan sampai melakukan genocide (pemusnahan secara teratur
terhadap suatu golongan atau bangsa), seperti
dalam kasus Nazi Jerman.
Penyelesaian yang di
tempuh oleh Dictator
Fasisme adalah mengarahkan atau
menyalurkan rasa permusuhan dari rakyat untuk melawan musuh-musuh yang nyata
maupun imajiner. Bagi Kaum
Komunis yang menjadi musuh adalah Kaum Borjuis, Pengikut Trotsky, Tito, atau
pengusaha-pengusaha yang ada di wall
street. Pada mulanya Hitler
mulai memilih Bangsa
Yahudi sebagai sasaran agresi Jerman yang berakibat lenyapnya 6 juta orang Yahudi dalam kamar-kamar gas.
Kemudian musuh-musuh baru sebagai pengganti Bangsa Yahudi, yaitu
Inggris, Amerika Serikat, Churchill, Roseevelt, Bholsevisme
dan gereja. Ketika akhir
riwayatnya Hitler dan pengikutnya melampiaskan rasa dendamnya terhadap
orang-orang Jerman dengan
menolak untuk menyerah melalui perundingan. Apabila
mereka tunduk, rakyat Jerman harus dihancurkan bersama mereka. Dalam Rezim Fasis baru yaitu Argentina di bawah Peron
yang menjadi sasaran
utama aksi propaganda kebencian adalah Imperialisme
Amerika Serikat dan sistem keuangan internasional. Bagi mereka yang tidak mampu memimpin
dirinya sendiri, Fasisme menjanjikan penguasaan atas orang lain. Apabila Fasisme tidak memberikan
kemenangan-kemenangan yang dijanjikan maka kekesalan rakyat akan dilampiaskan
kepada pemimpin-pemimpinnya.
Akar Filsafat dan Doktrin Fasisme
Akar filsafat Fasisme bisa dilacak dalam pemikiran Plato, Aristoteles,
Hegel, Rosenberg, Doriot, Farinasi, Gobinau, Sorel, Darwin, Zietzche, Marinetti,
Oswald Spengler, Chamberlain. Fasisme
memiliki akar-akar intelektual dan filosofis ratusan bahkan ribuan tahun yang
lalu. Dalam bentuk yang modern dan kontemporer dan dalam formatnya yang par exellence terjadi ketika Benito
Mussolini menguasasi Italia (1922) Hitler dengan Nazinya mendominasi jerman
(1933) Franco berkuasa di Spanyol (1936) TennoHeika memerintah jepang (1930-an)
dan Amerika Latin dimasa kekuasan Juan Peron (1950-an). Suhelmi (2004:334).
Ajaran-ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein
Kampft, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model
Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis didunia, karena wawasannya
yang bersifat moderat. Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme terdiri
dari tujuh unsur: Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan
nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah
sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama
pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan
atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan.
Bagi fasisme manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong
munculnya idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer
melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang
satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi
fasisme menolak konsep perramaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang
berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideologi yang mengedepankan kekuatan.
Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada
kekerasan dan kebohongan. Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga
tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak
negara, maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan
mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap
orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin
pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada
perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif
kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit.
Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang
lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat. Jika ada pertentangan
pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan si-elit. Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai
tujuannya, fasisme bersifat total dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap
“kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya
ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan
kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan
yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan
dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam, Rasialisme dan imperialisme.
Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan
massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan
antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak
memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara
rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain
harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat
imperialisme.
Terakhir atau ketujuh,
fasisime memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus
internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan
cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut.
Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi
peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang hukum dan
ketertiban internasional.
3. Perkembangan
Fasisme di Indonesia
Pada tahun 1965,
kekuatan militer melakukan kudeta dan mendirikan kediktatoran militer. Walau
banyak kemiripannya dengan rejim Nazi, dengan pembantaian yang tidak kalah
kejamnya dengan kamp konsentrasi Nazi, namun rejim kediktatoran militer Orde
Baru bukanlah rejim fasis. Ada perbedaan mendasar terkait dengan keterlibatan
massa fanatik borjuis kecil yang menjadi fitur utama dari fasisme Italia dan
Jerman. Akan tetapi ada juga kesamaan-kesamaan yang fundamental terkait dengan proses
perkembangannya: krisis akut tak-terpecahkan di dalam masyarakat Indonesia
yang secara efektif telah berlangsung sejak 1945; kekuatan buruh dan tani yang
terus meningkat dan memasuki periode revolusioner, dengan sejumlah kesempatan
untuk merebut kekuasaan; ketidakmampuan kepemimpinan buruh, dalam hal ini PKI,
untuk memberikan jalan keluar dari kebuntuan kapitalisme; kebangkrutan borjuasi
nasional, yang terlalu lemah untuk membangun sebuah parlemen borjuasi yang
stabil dan mengendalikan situasi.
Seperti yang telah kita
paparkan, kaum kapitalis biasanya lebih memilih berkuasa dengan metode-metode
parlementer borjuis. Metode ini lebih murah dan efektif. Akan tetapi di
negeri-negeri Dunia Ketiga yang kontradiksinya sangat akut dan sistem
parlementer borjuisnya lemah (yang merefleksikan lemahnya kaum borjuasi itu
sendiri), sering kali mereka tidak punya privilese ini. Dalam banyak situasi,
mereka terpaksa menggunakan aparatus pemaksa Negara, secara parsial maupun
terbuka lewat kudeta militer.
Dalam konteks Indonesia,
militer di bawah Soeharto terdorong melakukan kudeta setelah ada periode
panjang revolusioner di Indonesia di mana tidak ada satu pun kekuatan yang
mampu menyediakan jalan keluar. PKI menolak merebut kekuasaan dan mengekor pada
borjuasi nasional dengan dalih bahwa tahapan selanjutnya dari revolusi
Indonesia adalah revolusi borjuasi yang akan membawa kapitalisme yang mandiri,
dan baru setelah itu sosialisme di masa depan yang jauh. Kaum borjuasi nasional
sendiri terpecah-pecah. Di satu pihak adalah sayap kirinya yang
personifikasinya adalah Soekarno, yang hanya bisa mendapatkan dukungan massa
dengan retorika-retorika anti-imperialis dan populis, tapi tanpa bisa
merealisasikan secara riil program-program anti-imperialis dan populisnya
karena logika kapitalisme tidak memungkinkan realisasi penuhnya. Mereka, karena
posisi kelasnya, terkutuk menjadi impoten. Sementara sayap kanan kaum borjuasi
tidak punya basis dukungan sama sekali dari rakyat. Argumen pro-pasar dan
pro-kapital mereka tidak menemukan gaungnya. Situasi revolusioner yang
menggantung ini tidak bisa bertahan lama. Masyarakat borjuasi tidak bisa
menolerir sebuah situasi di mana jutaan rakyat pekerja terorganisir ke dalam
organisasi-organisasi revolusioner, di mana angkatan bersenjatanya juga terbelah.
Inilah kondisi-kondisi yang menyiapkan kudeta militer di Indonesia. Melihat
borjuasi nasional tidak bisa menyelesaikan situasi yang ada, bergeraklah
aparatus militer Negara untuk mengembalikan ketertiban dan kedamaian.
Kebijakan kolaborasi
kelas PKI dengan borjuasi nasional yang katanya “progresif” tidak menyelamatkan
mereka dari kudeta militer, tetapi justru menyiapkan kondisi-kondisi untuk
kehadiran intervensi militer. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebijakan
kolaborasi kelas tidak pernah menghentikan fasisme atau kudeta militer.
Kebijakan Front Popular di Spanyol yang diusung oleh Partai Komunis Spanyol
yang Stalinis, dimana diserukan agar buruh bersatu dengan kaum borjuasi
nasional “progresif” untuk melawan Franco, justru memperlemah perlawanan revolusioner
terhadap Franco. Ini harus dibayar mahal dengan kediktatoran fasisme Franco
selama 36 tahun. Di Chile, Allende percaya pada jalan reformisme dan
parlementerisme untuk mencapai sosialisme. Ia percaya pada metode kolaborasi
dan kompromi. Dalam ironi sejarah yang paling memilukan, Allende sendiri yang
mengangkat Pinochet sebagai kepala Angkatan Darat 3 minggu sebelum kudeta, dan
sampai menit terakhir, ketika tank-tank sudah di jalan-jalan kota Santiago,
Allende masih meminta mencoba menghubungi Pinochet lewat telepon. Sejarah
dipenuhi dengan contoh-contoh ini, tetapi sayangnya sejarah itu adalah seperti
seorang guru yang tanpa murid.
Munculnya Politik Fasisme di Indonesia mulai
sejak kemenangan Partai Nazi di Jerman yang memenangkan pemilu 1933. Dr. Notonind,
bekas anggota PNI (lama) asal Pekalongan adalah tokoh teras Partai Fasis
Indonesia (PFI) yang berdiri tahun 1933. Ide dasar pendirian PFI ini memang
agak unik karena tidak di dasarkan kepentingan ideologi, melainkan oleh
cita-cita pembangunan kembali kerajaan-kerajaan Jawa seperti Majapahit dan
Mataram, Sriwijaya di Sumatera, dan kerajaan-kerajaan di Kalimantan.
Gema fasisme yang melanda dunia menuai respon beragam dari
kalangan pergerakan di Indonesia. Kelompok PNI Baru, PKI dan Partindo adalah kelompok
yang menentang gigih fasisme. Alasan dasarnya karena fasisme adalah benteng
terakhir dari kapitalisme untuk mempertahankan diri dari krisis ekonomi dan
politiik. Sedangkan di luar kedua kelompok ini, Wilson menilai kaum pergerakan
kebingungan dalam merespon fasisme. Kelompok PSII dan Parindra misalnya, karena
percaya ramalan politik Jayabaya menganggap fasisme Jepang sebagai saudara tua
yang akan membebaskan bumiputera dari belenggu kolonialisme Belanda.
Istilah Indonesia Raya dan Indonesia Mulia yang getol
dikampanyekan oleh Parindra misalnya, mengingatkan kita pada ide Jerman Raya
milik kaum Nazi Jerman yang mengakibatkan pembantaian jutaan orang Yahudi.
Bahkan Agus Salim melihat potensi fasisme sebagai solusi mengusir kolonial. Tren politik fasis rupanya bukan
hanya melanda kaum Bumi Putera. Kalangan Indo di Hindia-Belanda yang sedang
dilanda krisis pertarungan politik dengan kalangan pergerakan bumi putra dan
tekanan fasis Jepang juga merasa ingin cepat keluar dari krisis dengan harapan
kadatangan dewa fasisme. Di Solo misalnya, pada tahun 1933 pernah dibentuk
organisasi Anti Inlander Clud untuk melindungi kepentingan kaum Indo. Sementara
kaum kaum fasisme Jepang di Hindia-Belanda yang tergabung dalam NIFO nampak
paling agresif bergerak melakukan rapat-rapat akbar (vergadering). Aksi agresif
NIFO ini mendapat reaksi keras dari Pemerintah Hindia-Belanda.
Fasisme di zaman sekarang tidak sepopuler di waktu
kelahirannya di Indonesia. Benar bahwa fasisme tinggal catatan sejarah ini
terbukti dengan tidak adanya organisasi atau negara yang menganut fasisme
lagi. Namun, sebagaimana kekhawatiran Mansour Fakih (Alm) delapan tahun silam,
krisis gawat yang terus melanda negeri ini tidak mustahil menjadi bibit-bibit
persemaian fasisme. Hal ini bisa dibuktikan oleh fakta berbagai organisasi yang
gemar mobilisasi massa, arak-arakan dan gemar melakukan tindak kekerasan untuk
memaksakan kehendaknya. Hal yang mengkhawatirkan, gerakan itu muncul dalam
praktek politik keagamaan simbol keagamaan digelar. Teriakan jihad dikumandangkan.
Agama yang selama ini dikenal sebagai piranti kohesifitas budaya berubah
menjadi alat propaganda khas fasisme.
DAFTAR RUJUKAN
Ebenstein William and Fogeiman Edwin. 1994. Isme-Isme
Dewasa Ini penerjemah: Alex Jemadu. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Azhar,
Muhammad. 1996. Filsafat politik.
Yogyakarta: PT. Grafindo Persada
Anonim. 2009. Faham
Fasisme. [serial online]
Anonim. 2012. Makalah Ideologi Fasisme Negara. [serial
online]
http://nefi34na.blogspot.com/2012/10/makalah-ideologi-fasisme- negara.html. [diakses pada tanggal 7 November 2014]
Anonim. 2012. Perkembangan
Fasisme di Indonesia. [serial online]
http://transformasipengetahuan.blogspot.com/2012/10/perkembangan- fasisme-di-indonesia-dan.html. [diakses pada tanggal
7 November 2014]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar