Rabu, 17 Desember 2014

Perkembangan Nasionalisme



PERKEMBANGAN NASIONALISME

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pengampuh Dr. Suranto M. Pd


Paper


Oleh:

NUR MA’RIFA        120210302087

KELAS B





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

  1. Definisi Nasionalisme
Secara etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin yakni natio. Kata nation sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cenderung memiliki makna negatif (peyoratif). Ini karena kata nasci digunakan masyarakat Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar. Kata nation dari Bahasa Latin ini kemudian diadopsi oleh bahasa-bahasa turunan Latin seperti Perancis yang menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau tanah air. Juga Bahasa Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah kelahiran”. Bahasa Inggris pun menggunakan kata nation untuk menyebut “sekelompok orang yang dikenal atau diidentifikasi sebagai entitas berdasarkan aspek sejarah, bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh mereka”.
Nation berasal dari bhs inggris yang berarti bangsa, itu pengertian secara singkat. Kalau dijabarkan menjadi: Bangsa adalah sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah tertentu dan memiliki hasrat serta kemauan untuk bersatu karena adanya persamaan nasib, cita-cita, dan tujuan. Maksutnya dari pengertian diatas bangsa-bangsa merupakan golongan yang beraneka ragam yang membuat mereka berbeda dari bangsa lain misal, perbedaan bahasa daerah,perbedaan adat istiadat, tradis, agama,dll.
Sedangkan pengertian Nasionalitas merupakan asas kebangsaan yang dibentuk atas dasar paham nasionalisme lebih menekankan kemauan untuk hidup bersama dalam negara kebangsaan, Menurut Fishman, nasionalitas adalah sekelompok orang yang merasa sebagai sebagai suatu satuan nasional yang berbeda dari kelompok lain, tetapi tidak didasarkan atas ukuran wilayah. Nasionalitas harus dibedakan dari istilah kelompok etnis.
Menurut Hans Kohn (1968) menyatakan bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan, maka proses ke arah terwujudnya suatu kesadaran tiap-tiap individu untuk setia pada negara bangsa. Tetapi proses terbentuknya negara kebangsaan tidaklah mudah. Dalam sejarah bangsa-bangsa ternyata banyak faktor yang menentukan, sebagai contoh proses terbentuknya ‘kesadaran nasional’ Bangsa Perancis dan negara bangsa Perancis memakan waktu yang berabad-abad.
Otto Bouwer mengungkapkan bahwa perasaan kebangsaan kebangsaan timbul karena persamaan perangai dan tingkah laku dalam memperjuangkan perssatuan dan nasib bersama. Jadi dapat disimpulkan dari pengertian diatas  bahwa Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan dan perasaan yang sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat.

  1. Latar Belakang Munculnya Nasionalisme
Ada dugaan kuat bahwa Nasionalisme modern muncul untuk pertama kalinya di Inggris abad ke 17 yang ditandai dengan ‘The Glorious Revolution’ tahun 1689 di mana parlemen berhasil memaksakan Bilt of Rights kepada Raja (Carlon Hayes, 1958:591 dalam Sutarjo Adisusilo hal 101). Dengan ditandatanganinya Bilt of Rights oleh Raja Wilem III dan Marry II maka Parlemen menganggap dirinya sebagai wakil seluruh rakyat Inggris juga memutus hubungan gerejaninya dengan Sri Paus selaku pimpinan tertinggi gereja Katolik seluruh dunia yang berkedudukan di Roma. Dari Inggris Nasionalisme kemudian berkembang di Amerika Utara abad ke-18 dan ke Eropa daratan abad ke-18 dan 19 dengan ditandainya Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Salah satu pilar perkembangan  Nasionalisme di Eropa abad ke 18 adalah ketika kaum nasionalis Perancis melancarkan Revolusi tahun 1789. Sejak Revolusi Perancis itu nasionalisme mewabah ke seluruh Eropa bahkan seluruh dunia. Pemikiran awal nasionalis Perancis abad ke-18 yang bersemboyan liberte, equalite, dan fraternite yang dua abad kemudian oleh Charles de Gaulle diberi wujud baru dengan I’honner (kehormatan), grandeur (keagungan) dan gloire (kemuliaan) bagi bangsa dan negara (Alexander Werth, 1965; Louis Snyder, 1964; dan Hansen, 1969).
Sampai dekade tahun 1500 yang namanya bangsa Perancis belum ada, kalau ada nama Perancis maka itu nama geografi dan bukan nama kebangsaan Perancis (Van der Meulen,1974:74). Satu-satunya golongan yang bersifat orang Perancis adalah Raja dan para pembantunya yang terdekat dalam pemerintahan pusat. Abad ke-16 sampai 17 terjadi perkembangan yang mengarah semakin terwujudnya “Bangsa dan Negara” Perancis. Dalam dua bad itu terjadi suatu periode sentralisasi kekuasaan Raja, yang akan menjadi unsur penting bagi munculnya negara bangsa di kemudian hari. Ada beberapa sebab mengapa dapat ditarik kesimpulan bahwa terwujudnya negara kebangsaan diawali oleh proses sentralisasi kekuasaan ditangan Raja.
Pertama, dalam bidang kenegaraan (politik) sentralisasi itu melemahkan kekuatan kaum feodal, kekuasaannya Raja sampai kepada rakyat dan mereka menjadi insyaf bahwa mereka merupakan kesatuan besar yang mempunyai nasib yang sama. Kedua, dalam bidang administrasi dimana secara umum mulai dipakai bahasa dari pusat sehingga minimal rakyat mesti mengetahui secara pasti agar peraturan raja bisa mereka baca dan laksanakan. Ketiga, Raja menaruh perhatian dan ikut campur dalam menentukan kemajuan ekonomi negara dengan memberikan dukungan kepada pertanian, industri, dan perdagangan (merkantilisme). Dengan demikian Raja telah memaksa rakyat untuk sadar akan hak-hak dasarnya dalam penderitaan yang tak tertahankan. Ketidakpuasan meluas disemua lapisan masyarakat. Kaum bangsawan dan Rohaniwan mendapat berbagai fasilitas termasuk tidak membayar pajak. Mereka memelopori perjuangan demi kepentingan kaum borjuis sedangkan petani ingin sisa-sisa feodalisme disingkirkan.
Kemudian munculnya nasionalisme Timur seperti di kawasan Asia dan Afrika dilatar belakangi oleh perlakuan diskriminatif yang menimbulkan perasaan senasib dan sependeritaan, munculnya golongan terpelajar yang memiliki pola pikir dan etos juang yang tinggi sehingga ingin membebaskan diri dari penjajahan yang disadari tidak hanya di capai melalui perjuangan fisik tapi juga harus melalui kancah politik. Lalu adanya semangat persamaan derajat sebagai bentuk kesadaran akan harga diri sebagai suatu bangsa yang ingin hidup bebas, merdeka seperti bangsa-bangsa lain. Serta berkembangnya komunikasi yang memudahkan terjalinnya suatu hubungan masyarakat, sehingga informasi-informasi semakin cepat diketahui.
  1. Sejarah Nasionalisme Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Nasionalisme Indonesia yang dalam perkembanganya mencapai titik puncak setelah Perang Dunia ke II yaitu dengan di prolkamasikannya kemerdekaan Indonesia berarti pembentukan nation Indonesia berlangsung melalui proses sejarah yang panjang. Timbulnya nasionalisme Indonesia mempunyai kaitan erat dengan kolonialisme Belanda yang sudah beberapa abad lamanya berkuasa di Indonesia. Usaha untuk menolak kolonialisme inilah yang merupakan manifestasi dari penderitaan dan tekanan disebut nasionalisme Indonesia. Tahun 1799 pemerintah hindia belanda mengeksploitasi ekonomi dan penetrasi politik sampai pada tahun 1830 dengan memperkenalkan sistem administrasi dan birokrasi ”sewa tanah” tetapi mengalami kegagalan. Kemudian diganti dengan sistem tanam paksa yang mengintensifkan sistem tradisisonal yang terdapat dalam ikatan feodal, ini terjadi pada pertengahan abad XIX. Kemudian pada awal abad XX menggantinya dengan “politik balas budi atau politik etis.” Dalam politik etis terdapat usaha memajukan pengajaran bagi anak-anak indonesia. Sehingga memunculkan beberapa respons yang positif dari generasi bangsa Indonesia, diantaranya:
a.       Budi Utomo
Secara historis, semangat nasionalisme Indonesia sudah mulai terasa sejak berdirinya Boedi Oetomo yang merupakan keprihatinan dr. Wahiddn sudiro husodo yang dikembangkan oleh Sutomo mahasiswa Stovia serta rekan-rekannya untuk mendirikan Budi Utomo di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908, ini menampilkan fase pertama dari Nasionalisme Indonesia dan menunjuk pada etno nasionalisme dan proses penyadaran diri terhadap identitas diri Bangsa Indonesia.
b.      Sarekat Islam
Sarekat islam adalah organisasi yang bertujuan menghidupakan kegiatan ekonomi pedagang islam jawa yang diikat dengan agama yang pengaruhnya jauh lebih besar dari pada Boedi Oetomo, namun berkembang menjadi gerakan nasionalisme.. Didirikan pada tahun 1912 oleh H. Samanhudi. Dalam waktu kurang dari satu tahun SI menjadi organisasi raksasa yang mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda menjadi resah akan keberadaannya.
Sarekat Islam mengalami percepatan kemajuan yang merata hampir di seluruh Indonesia. Akan tetapi, sifat keterbukaan organisasi ini telah memicu terjadinya perpecahan di tubuh SI sehingga lahirlah “SI Putih” dan “SI Merah”. Jika “SI Putih” tetap mengutamakan ideologi islam dan Pan-Islamisme sebagai landasan untuk mempersatukan bangsa maka “SI Merah” di bawah pimpinan Semaun, Darso, dn Tan Mlaka memiliki kecenderungan yang berbeda.Golongan kiri dalam SI inilah yang akhirnya menjadi cikal-bakal lahirnya partai komunis Indonesia (23 Mei 1920), dalam hal yang menyangkut dasar partai, PKI berpegang teguh prinsip sosialisme, internasionalisme,dan menganggap nasionalisme. Sebagai musuh utama. Oleh karena itu, dalam konperensi SI (Maret 1921), Fahrudin-wakil ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak mungkin berhasil jika tetap bekerja sama dengan golongan komunis.
c.       Partai Nasional Indonesia (PNI)
Sejarah mencatat bahwa PKI berhasil menempatkan diri sebagai partai terbesar sehingga mendorongnya melakukan pemberontakan kepada pemerintah Belanda pada 13 November 1926. Pemberontakan PKI ini telah meyebabkan banyak tokoh pergerakan nasional harus dibuang ke Tanah Merah, Digul Atas, dan Irian Jaya.
Sesudah PKI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah Belanda, Soekarno merasakan perlunya bangsa Indonesia memiliki partai sebagai wadah baru yang mampu menampung gerakan “nasionalisme modern” yang radikal. Pada 4 Juli 1927, lahirlah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diawali oleh berdirinya Algeemene Study Club (1925). Ideologi partai ini adalah nasionalisme radikal, sebagaimana tuisan Soekarno dalam Nasionalisme, Islamisme, dan marxisme (1926). Tulisan tersebut merupakan respons Soekarno atau tulisan H.O.S Tjokroaminoto tentang Islam dan Sosialisme. Ketiga kekutan ideologi tersebut, yakni Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, merupakan landasan pergerakan nasional secara garis besar, dan oleh Soekarno dianggap sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia. Ketiga tersebut kemudian terkenal dengan singkatan NASAKOM.
d.      Indische Partij
IP adalah organisasi campuran yang menginginkan kerjasama orang Indo dengan orang Bumiputra. Organisasi ini didirikan oleh E.F.E Douwes Dekker alias setyabudi di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912. Oganisasi ini melalui kesatuan aksi dpat mengubah sistem yang berlaku dengan antitesis antara penjajah dan terjajah.
e.       Muhammadiyah
Agama Islam adalah lambang persatuan rakyat, makadari itu K.H. Ahmad Dahlan di yogajakarta pada 18 November 1912 menjadikan Muhammadiah sebagai organisasi yang bertumpu  pada cita-cita agama dengan aliran modernis islam dan memperbaiki agama bagi umat islam Indonesia. Organisasi ini melakukan perbaikan melalui 3 bidang yaitu, keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan. Pembaharuan pada bidang keagamaan adalah memurnika dan mengembalikan sesui pada aslinya (Al-Qur’an dan Sunnah). Pembaharuan pada bidang pendidikan mencakup perbaikan dan pembentukan muslim yang berbudi, alim, luas pengetahuan dan faham masalah ilmu dunia dan masyarakat dengan sistem pendidikan yang menggabungkan cara tradisional dan cara modern. Perbaikan pada bidang kemasyarakatan dengan mendirikan rumahsakit, poliklinik, rumah yatim piatu yang dikelola oleh lembaga. Pada tahun 1923 berdirilah Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) yang merupakan bentuk kepedulian sosial dan tolong menolong sesama muslim.
Di samping organisasi politik terdapat pergerakan keagamaan bersifat nasionalisme seperti Muhammadiyah di Jogjakarta pada 18 November 1912 yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan tujuan memajukan pendidikan berdasarkan agama Islam dengan mendirikan sekolah-sekolah agama, masjid, langgar, dan rumah sakit. Setelah itu lahir Nahdhatul Ulama di Surabaya pada 31 Januari 1926, organisasi ini merupakan respon atas maraknya semangat nasionalisme dan respon terhadap kebijakan dan langkah SI dan Muhammadiyah yang tidak mengikutsertakan golongan tradsional dalam konggres Islam sedunia di Kairo.
f.       Kelompok Katolik lahir Indiche katholieke Partij (IKP)
Pada November 1918 yang bertujuan memajukan bangsa berdasarkan agama katolik. Pada Setember 1917 lahir Christelijke Ethische Partij (CEP) yang bertujuan menjadikan agama Kristen sebagai dasar dalam menyusun negara dan memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Pada 22 februari 1925, berdiri dari umat Nasrani Partai Katolik Djawi di Djogjakarta, partai ini terbuka untuk semua Golongan tidak dibatasi dari orang Jawa saja dengan menjadikan bahasa Melayu, sebagai bahasa resmi partai.
g.      Nahdlotul Ulama’
Berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, sebagai organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh para ulama’, pemegang teguh salah satu dari 4 madzhab, berhaluan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah, bertujuan mengembangkan dan mengamalkan ajarang islam serta memperhatikan maslah sosial, ekonomi, dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada umat manusia. Pusat-pusat NU ada di Surabaya, Kediri, Bojonegoro, Bondowoso, Kudus.
h.      Perhimpunan Indonesia
Dipimpin oleh Iwa Kusuma Sumantri, J.B.Sitanala, Moh. Hatta, Sastra Mulyono, D. Mangun Kusumo, dan Majalah “Indonesia Merdeka”. PI bertujuan menyadarkan para mahasiswa agar mempunyai komitmen yang bulat tentang persatuan dan kemerdekaan indonesia sebagai Elite Intelektual dan Prfesional harus bertanggung jawab untuk memimpin rakyat melawan penjajah, membuka mata rakyat belanda bahwa pemerintah kolonial sangat opresif dan meyakinkan rakyat Indonesia tentang kebenaran perjuangan kaum Nasionalis, mengembangkan Edeologi yang bebas dan kuat diluar pembatasan Islam dan komunisme. Empat pikiran pokok PI tahun 1965 yaitu: kesatuan Nasional, solidaritas, Non koperasi, dan suadaya.
i.        Kongres pemuda dan Sumpah pemuda
Para pelajar dan mahasiswa dan beberapa organisasi bergabung dalam PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) pada tahun 1926 dan melakukan kongres pemuda Perdana pada bulan mei 1926 dengan mengesampingkan perbedaan sempit berdasarkan daerah dan menciptakan kesatuan seluruh bangsa Indonesia. Kongres pemuda kedua tanggal 26-28 Oktober 1928 yang dihadiri oleh sembilan organisasi pemuda beserta sejumlah tokoh politik. Diantaranya Soekarno, Sartono, dan Sumaryo. Ini merupakan puncak ideologi integrasi Nasional dan peristiwa Nasional yang belum pernah terjadi terbukti dengan pengucapan sumpah setia dengan bunyi sebagai berikut:
  1. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
  2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
  3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa pemersatu, bahasa indonesia.
Dalam penutupan kongres di kumandangkan lagu Indonesia Raya untuk mengiringi pengibaran bendera merah putih. Tiga sumpah diatas mengandung tiga pengertian yang merupakan kesatuan yaitu pengertian wilayah, bangsa yang merupakan massa dan bahasa sebagai alat komunikasi yang homogen. Kesatuan dalam pluralisme sosial-budaya itulah yang menjadi cita-cita Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda memang tidak identik dengan nasionalisme, tetapi mengintegrasikan potensi bangsa, yang berarti pula sejalan dengan hakikat nasionalisme sebagai faktor integratif bagi berbagai potensi kultural masyarakat.
j.        Partai Indonesia
Pada tanggal 1 mei 1931 pendirian PARTINDO di bawah pimpinan Sartono adalah lanjutan PNI yang telah dibubarkan, dengan tujuan mencapai satu negara Republik Indonesia Merdeka dan kemerdekaan akan tercapai jika ada persatuan seluruh bangsa Indonesia. PARTINDO adalah partai politik yang menghendaki kemerdekaan Indonesia yang didasarkan atas prinsip menentukan nasib sendiri, kebangsaan, menolong diri sendiri, dan demokrasi.
k.      Organisasi pemuda dan kepanduan
Kaderisasi pemimpin yang dibutuhkan oleh negara denganciri Regionalisme sebagai perkumpulan kedaerahan yang terjun kelapangan sosial politik. Trikoro Darmo didirikan tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta oleh dr. R. Satiman Wiryo Sanjoyo, Kaderman, dan Sunardi serta beberapa pemuda lainnya yang mempunyai cita-cita cinta tanah air, memperluas persaudaraan dan mengembangkan kebudayaan Jawa. Tapi pada tahun 1915 berubah menjadi Jong Java yang orientasinya lebih luas mencakup Jaya Raya, Milisi, dan pergerakan rakyat pada umumnya. Sedangkan pda ahir tahun 1928 Jong Java dibubarkan dan diganti dengan Indonesia Muda dengan maksud menempuh orientasi Nasionalis yang sebenarnya.
Pada tahun 1927 di Bandung, didirikan pemuda Indonesia. Pada 9 Desember 1917 di Jakarta didirikan Jong Sumatranen Bond dengan tujuan memperkokoh ikatan sesama murid Sumatra dan mengembangkan kebudayaan Sumatra. Tahun 1918 didirikan Jong Minahasa dan Jong celebes. Keinginan bersatu dari berbagai organisasi kepanduan adalah refleksi dari keinginan untuk bersatu guna merealisasikan perasaan kebangsaan, bukan hanya dikalangan pemuda dan organisasi politik, tetapi juga tampak terang dikalangan kepanduan.
Era pergerakan Nasional lahir juga organisasi kedaerahan seperti pasundan (1920), srikat Sumatra (1918), perkumpulan orang Ambon, perkumpulan orang Minahasa (Agustus 1912), perkumpulan kaum Betawi (1 Januari 1923). Dikalangan pemuda lahir organisasi para pemuda seperti: Jong Java (7 Maret 1915), Jong Sumatren bond (9 Desember 1917), Jong Mina Hasa (1918), Jong Ambon, Jong Cebelles, Jong Islamieten Bond, dan Perhimpunan Indonesia tahun 1922 di Belanda. Jadi, masa Nasionalis Indonesia tumbuh dari perasaan senasib dan sependeritaan akibat penjajahan. Walaupun dari suku, agama, dan ras yang majemuk tetapi satu bangsa dan berusaha membebaskan diri dari penderitaan tersebut dengan cita-cita mewujudkan masa depan yang lebih baik.

  1. Sejarah Nasionalisme Indonesia Sesudah Kemerdekaan
Nasionalisme pada masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan  secara umum dibentuk dengan cara menciptakan suatu common enemy  yakni musuh bersama  bagi bangsa Indonesia.  Dengan hal tersebut maka rasa memiliki bangsa Indonesia yang ingin menjaga negaranya dari musuh yag ingin memeceah kesatuan Republik Indonesia akan terpupuk dan menjadikan semangat nasionalisme.  Bung Karno memaknai musuh bersama bangsa Indonesia adalah kolonialisme dan neo-kolonialisme. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia bentuk gerakan nasionalisme adalah dalam wujud perlawanan fisik dan upaya diplomasi bangsa Indonesia dalam upaya untuk mempertahankan kedaulatan RI.
Adapun bentuk-bentuk dari wujud nasionalisme rakyat Indonesia yaitu: Peristiwa pertempuran tanggal 10 November 1945 di Surabaya, peristiwa Bandung Lautan Api, Palagan Ambarawa, Konferensi Linggar Jati, Konferensi Renville, serta KMB. Termasuk di dalamnya upaya penanggulangan pemberontakan dari dalm negeri seperti: DI/ TII, PRRI/ Permesta, RMS baik Belanda maupun para pemberontak adalah sama-sama musuh bersama bangsa Indonesia yang harus dilawan demi menegakkan kedaulatan negera RI. Pada tahun 1963, Soekarno menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia karena menganggap itu sebagai proyrk neo-kolonialisme Inggris yang dapat membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai. Maka pada saat itu bangsa Indonesia di kondisikan untuk kemudian menganggap Malaysia sebagai musuh bersama bangsa Indonesia dan harus dilawan, yang kemudian melahirkan ultimatum Ganyang Malaysia. Tahun 1966, gerakan nasionalisme Indonesia dimanifestasikan dengan menciptakan musuh bersama PLI dan Orla.
Dalam era Reformasi 1998-2003, gerakan nasionalisme menampakkan wujudnya dalam wajah yang baru dan berbeda dari model nasionalisme pada masa rezim Soekarno yakni dalam bentuk perlawanan terhadap represi politik rezim yang berkuasa dan dalam perlawanan daerah terhadap pusat. Tragedi 12 Mei 1998 terjadi penembakan mahasiswa Trisakti, dan 1 Januari 2001 saat diberlakukannya OTODA merupakan momentum puncak dari gerakan nasionalisme pada masa transisi menuju demokrasi di Indonesia. Ada beberapa masa nasionalisme yang dialami Indonesia setelah kemerdekaan, diantaranya:
a.       Nasionalisme kaum muda pasca kemerdekaan 1945
Gerakan mahasiswa angkatan 1998 orde reformasi adalah penggugatan atas penyelewengan pemerintahan dan penguasa dalam mengatur negara. Gerakan mahasiswa tahun 1996 organisasi mahasiswa berorientasi politik berafiliasi dengan partai politik tertentu dan para aktifisnya memiliki hubungan emosional dan historis dengan para elit politik nasional, ini terlepas dari gejala yang muncul sejak zaman sistem demokrasi liberal atau sistem demokrasi parlementer ditahun 1950-1959. Dekrit presiden 1959 dibawah pemerintahan Soekarno pada masa sistem demokrasi terpimpin. Kesatuan aksi mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1965 untuk melancarkan perlawanan terhadap kekuatan PKI dan antek-anteknya sampai puncaknya runtuh pada rezim Soekarno sebagai orde lama. Tahun 1973 kembali terjadi aksi mahasiswa, keraguan akan strategi pembangunan orde baru dan berlanjut dengan peristiwa Malari tahun 1974 dengan isu anti monopoli produksi Jepang.
Gerakan mahasiswa di era 1980-an memunculkan isu lokal sebagai akibat ketidak adilan dalam pembangunan terhadap rakyat yang diangkat ke permukaan sebagai isu nasional yang bersifat sporadis dan fragmentaris. Nilai perjuangan pada angkatan 1998 dalam simpul perubahan sejarah politik negara, nilai-nilai perjuangan yang diangkat lebih kepada isu konkrit berkaitan dengan penyimpangan dan penyelewengan penyelenggara pemerintah serta pembangunan yang dirasakan masyarakatdengan tidak bersistem.
b.      Nasionalisme kaum muda di Indonesia era reformasi
Peran mahasiswa sebagai ujung tombak muncul belakangan sebelum gerakan moral yang dilakukan mahasiswa telah terjadi sebelumnya seperti gerakan mahasiswa tahun 1971 (aksi penolakan TMII), 1974 peristiwa Malari (aksi penolakan monopoli Jepang), aksi 1978 (protes atas sidang MPR). Akan tetapi gerakan perubahan sosial oleh angkatan 1998 membuktikan reformasi mengalami mati suri. Keberadaan KAMMI mengingatkan kita dengan peran HMI pada tahun 1966 saat runtuhnya rezim orde lama dan tampilnya pemerintahan orde baru, dimana tokoh mahasiswa HMI masuk dalam dalam gerbong pemerintahan baru sebagai sub ordinasi kekuasaan Suharto.
c.       Penegakan hukum dan HAM sebagai realitas simbolik
Penegakan hukum di Indonesia saat ini baru sebatas slogan belaka dan belum  dilaksanakan secara optimal. Penyebab utamanya adalah karena pejabat dan aparat penegak hukum masih terdiri dari orang-orang lama yang mereka sendiri belum bersih dan juga oarang-orang yang bermasalah. Penegakan hukum semestinya dimulai dari pucuk pimpinannya dan dari aparat yang bersentuhan langsung dengan persoalan tersebut. Berkaitan dengan pelanggaran hukum dalam kehidupan sehari-hari (legalisasi perjudian), seorang muslim yang menjadi pejabat negara harus memiliki sikap untuk mendahulukan kepentingan masyarakat secara umum. Seorang pemimpin harus mempunyai ketegasan dalam menjalankan kaidah hukum tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, penegakan hukum dan HAM tidak boleh menjadi realitas simbolik belaka. Dan untuk menjamin semua itu posisi hukum menjadi sangat penting.
d.      Sparatisme dengan topeng agama
Subjek penelitian berpendapat bahwa konflik Aceh bukanlah konflik agama melainkan murni termotifasi kepentingan politik dengan topeng agama, yakni konflik vertikal anatara GAM yang ingin memisahkan Aceh dari pangkuan NKRI. Apalagi Aceh sudah menjadi sebuah daerah yang istimewa yang bernama Nangrue Aceh Darussalam, dimana aturan hkum, sosial dan budaya diupayakan sangat Islami. Dan itu adalah bentuk pemberian hak yang sangat istimewa karena tidak diberikan kepada daerah-daerah lain.
Dengan adanya gerakan sparatisme yang ada di sana tentu sangat mengganggu mantapnya nasionalisme Indonesia. Dan untuk menyelesaikan kasus sparatis yang ada di Aceh perlu melakukan dialog dan akomodasi politik anatra kedua belah pihak dengan tujuan agar kepentingan Indonesia dan kepentingan GAM bisa mendekati titik temu yang akan melenjutkan solusi konflik di sana. Para Ulama berpendapat bahwa GAM memang ingin merdeka dan ingin menjadikan Aceh sebagai negara Islam dengan dasar Amar ma’ruf nahi munkar. Akan tetapi, dalam pandangan para Ulama hal itu tidak perlu dilakukan dengan cara memberontak dan menebarkan kerusakan.
e.       Demokrasi, civil society dan pluralitas: civilian politics yang masih tertunda
Banyak pihak memyamakan istilah civil society dengan masyarakt madani. Akan tetapi dala prespektif para Ulama menggunaka istilah masyarakat mutammidin daripapada menyebut masyarakat madani, karena mereka berargumen bahwa terjemahan yang benar dari civil society adalah kosa kata tersebut (masyarakat tamadun). Adapun wacana pluralitas, mendasarkan pandangannya pada pernyataan al-Qur’an bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Perbedaan antar komunitas tersebut bukan untuk saling merugikan melainkan agar perbedaan tersebut bisa menjadi potensi untuk merealisasikan kebijakan.
Sedangkan wacana demokrasi para Ulama sepakat bahwa padananterm demokrasi dalam Islam adalah kosa kata musyawarah. Mereka mengimplementasikan teknis demokrasi dalam proses pemilihan seorang pemimpin. Dengan demikian, yang paling penting dari masalah demokrasi adalah adanya keseimbangan antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara. Oleh karena itu diharapkan agar semua pemimpin pemerintahan dan masyarakat segera meluruskan ulang masalh visi kebangsaan, konsepsi kewarganegaraan dan penciptaan keadilan sosial secara serius dan lebih transparan dalam prespektif civilian politics.
f.       Tantangan global dan kepemimpinan kaum muda
Nasionalisme lama cenderung bercorak emosional, tidak rasional, sloganistik, heroik, reaktif dan konfrotatif. Nasionalisme baru lebih bercorak realistis, mengedepankan pertimbangan rasional, bersifat komprehensif, solutif, menomorsatukan aspek kualitas sumber daya manusia, dan kemampuan untuk berkompetisi, khususnya di arena global di tengah derasnya arus globalisasi dunia. Tantangan inilah yang sedang dihadapi pemuda Indonesia baik tantangan eksternal maupun tantangan internal. Tantangan eksternal diantaranya kecenderungan pengaruh negatif ideologi global bagi kalangan muda terpelajar yang cenderung menjadi birokratis dan menjadi sekrup ideologi penjajah yang menindas bangsanya sendiri. Isu HAM, demokratisasi, kebebasan, keterbukaan dan pasar bebas sebagai wujud keinginan perubahan dalam masyarakat, harus disikapi secara kritis, responsif dan antisispasi dengan kemampuan kita memilih dan memilah.
Dalam menghadapi pengaruh global (politik barat) yang tidak semuanya positif, kita harus mempunyai nilai-nilai unggulan budaya yang menjadi perhatian untuk dikembangkan yakni nilai-nilai budaya bangsa yang positif bukan yang negatif termasuk juga dalam menyerap nilai-nilai budaya dari luar sebagai kenyataan dari prises globalisasi budaya bangsa yang terus berlangsung dengan perubahan yang begitu cepat dan sangat bervariasi serta kecenderungan terjadinya disorientasi terhadap budaya bangsa suatu negara. Tantangan internal idealisme masyarakat Indonesia terkini, mengenai fenomena dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi karena sulit meraih kesempatan hiduo yang lebih layak pada berbagai aspek termasuk mendapatkan pendidikan yang baik, masalah kemiskinan bangsa Indonesia, tekanan budaya yang hedonis, materialisme dan pragmatis mengakibatkan kaum muda kita untuk mencari jalan keluar dengan cara pola hidup jalan pintas, menganut budaya tisu dan meraih kenikmatan hidup yang fatamorgana. Melihat kondisi seperti itu maka posisi dan peran pemuda menghadapi globalisasi adalah dengan tiga cara:
1)      Pemahamn yang baik dan benar akan hakekat dan makna globalisasi, berikut manfaat dan mudharatnya. Dengan ini diharapkan pemuda dapat mengetahui dimana dan bagaimana memposisikan diri serta perannya sebagai generasi masa depan bangsa secara tepat.
2)      Kepandaian dan kecerdasan pemuda dalam menyikapi dan memerankan diri ditengah arus globalisasi yang diharapkan dengan pemahaman yang baik serta mendalam, muncul pola sikap dan kebijakan yang tepat ketika merespon ekses-eksesnya.
3)      Faktor kemampuan pemuda untuk memperkuat jaringan kerjasama yang saling menguntungkan serta sinergitas dengan berbagai komponen strategis dalam globalisasi, khusus dengan kalangan elemen pemuda dunia dari berbagai mancanegara baik di tingkat regional maupun internasional untuk bersama-sama merumuskan dan mengimplementasikan agenda bersama.

  1. Perkembangan Nasionalisme Di Dunia
Nasionalisme yang muncul di Eropa berbeda dengan nasionalisme yang muncul di Asia sebab Nasionalisme di Asia muncul sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa. Mereka menumbuhkan nasionalisme untuk melawan penjajahan.
a.       Abad ke 17, Pada abad ke-17 muncul nasionalisme di Inggris yang diikuti dengan munculnya nasionalisme di Amerika dan Perancis pada abad ke-18.
b.      Abad ke 19, Pada pertengahan abad ke-19 nasionalisme semakin berkembang di Eropa dari nasionalisme yang awalnya bersifat kemanusiaan berubah menjadi agresif dan memusuhi bangsa lain. Sejak itu muncullah negara-negara yang berusaha melakukan imperialisme dan kolonialisme. Nasionalisme Eropa terjadi pada masa transisi dari masyarakat feodal ke masyarakat industri yang menghasilkan paham kapitalisme dan liberalisme.
Bangsa Eropa pertama kali sampai di Asia Tenggara pada abad keenam belas. Ketertarikan di bidang perdaganganlah yang umumnya membawa bangsa Eropa ke Asia Tenggara, sementara para misionaris turut serta dalam kapal-kapal dagang dengan harapan untuk menyebarkan agama Kristen ke wilayah ini. Portugis adalah kekuatan Eropa pertama yang membuka akses jalur perdagangan yang sangat menguntungkan ke Asia Tenggara tersebut, dengan cara menaklukkan Kesultanan Malaka pada tahun 1151. Belanda dan Spanyol mengikutinya dan segera saja mengatasi Portugis sebagai kekuatan-kekuatan European utama di wilayah Asia Tenggara. Belanda mengambil-alih Malaka dari Portugis di tahun 1641, sedangkan Spanyol mulai mengkolonisasi Filipina (sesuai nama raja Phillip II dari Spanyol) sejak tahun 1560-an.
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur yang bertindak atas nama Belanda, mendirikan kota Batavia (sekarang Jakarta) sebagai pusat perdagangan dan ekspansi ke daerah-daerah lainnya di pulau Jawa, serta wilayah sekitarnya. Inggris, yang diwakili oleh British East India Company, secara relatif datang ke wilayah ini lebih kemudian. Diawali dengan Penang, Inggris mulai memperluaskan kerajaan mereka di Asia Tenggara. Mereka juga menguasai wilayah-wilayah Belanda selama Perang Napoleon. Di tahun 1819, Stamford Raffles mendirikanSingapura sebagai pusat perdagangan Inggris dalam rangka persaingan mereka dengan Belanda. Meskipun demikian, persaingan tersebut mereda di tahun 1824 ketika dikeluarkannya traktat Anglo-Dutch yang memperjelas batas-batas kekuasaan mereka di Asia Tenggara. Sejak tahun 1850-an dan seterusnya, mulailah terjadi peningkatan kecepatan kolonisasi di Asia Tenggara. Kejadian ini, yang disebut juga dengan nama Imperialisme Baru, memperlihatkan terjadinya penaklukan atas hampir seluruh wilayah di Asia Tenggara, yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan kolonial Eropa. VOC dan East India Company masing-masing dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pemerintah Inggris, yang kemudian mengambil-alih secara langsung administrasi wilayah jajahan mereka.
Hanya Thailand saja yang terlepas dari pengalaman penjajahan asing, meskipun Thailand juga sangat terpengaruh oleh politik kekuasaan dari kekuatan-kekuatan Barat yang ada. Tahun 1913, Inggris telah berhasil menduduki Burma, Malaya dan wilayah-wilayah Borneo, Perancis menguasai Indocina, Belanda memerintah Hindia Belanda, Amerika Serikat mengambil Filipina dari Spanyol, sementara Portugis masih berhasil memiliki Timor Timur. Penguasaan kolonial memberikan dampak yang nyata terhadap Asia Tenggara. Kekuatan-kekuatan kolonial memang memperoleh keuntungan yang besar dari sumber daya alam dan dan pasar Asia Tenggara yang besar, akan tetapi mereka juga mengembangkan wilayah ini dengan tingkat pengembangan yang berbeda-beda.
Perdagangan hasil pertanian, pertambangan dan ekonomi berbasis eksport berkembang dengan cepat dalam periode ini. Peningkatan permintaan tenaga kerja menghasilkan imigrasi besar-besaran, terutama dari India dan China, sehingga terjadilah perubahan demografis yang cukup besar. Munculnya lembaga-lembaga negara bangsa modern seperti birokrasi pemerintahan, pengadilan, media cetak, dan juga pendidikan modern (dalam lingkup yang terbatas}, turut menaburkan benih-benih kebangkitan grakan-gerakan nasionalisme di wilayah-wilayah jajahan tersebut.



DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2012. Perkembangan Nasionalisme Di Indonesia. [serial online]
            http://amrikhan.wordpress.com/2012/12/03/perkembangan-nasionalis-di-indonesia/. [diakses pada tanggal 1 November 2014]
Anonim. 2012. Nasionalisme Dunia. [serial online]
            http://ichazeon.blogspot.com/2012/03/nasionalisme-dunia.html.[diakses pada tanggal 1 November 2014]
Maschan Moesa, Ali. 2007. Nasionalisme Kyai. Jogjakarta: LKIS.
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional. Jogjakarta: Pustaka pelajar.

1 komentar:

  1. Terima kasih banyak atas informasi nya, Sangat membantu artikel nya. Teruslah sebar kebaikan dijalan allah swt.. jangan lupa share and kunjungi juga website mp3 kami di http://daftarmp3.exnaid.com semoga sukses slalu ya gan.

    BalasHapus