PERKEMBANGAN NASIONALISME
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pengampuh Dr. Suranto
M. Pd
Paper
Oleh:
NUR
MA’RIFA 120210302087
KELAS
B
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
- Definisi Nasionalisme
Secara
etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin yakni natio.
Kata nation sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan
klasiknya cenderung memiliki makna negatif (peyoratif). Ini karena kata nasci
digunakan masyarakat Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari
orang yang dianggap kasar. Kata nation dari Bahasa Latin ini kemudian
diadopsi oleh bahasa-bahasa turunan Latin seperti Perancis yang
menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau tanah air. Juga
Bahasa Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah kelahiran”.
Bahasa Inggris pun menggunakan kata nation untuk menyebut “sekelompok orang
yang dikenal atau diidentifikasi sebagai entitas berdasarkan aspek sejarah,
bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh mereka”.
Nation berasal dari bhs
inggris yang berarti bangsa, itu pengertian secara singkat. Kalau dijabarkan
menjadi: Bangsa adalah sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah tertentu dan
memiliki hasrat serta kemauan untuk bersatu karena adanya persamaan nasib,
cita-cita, dan tujuan. Maksutnya dari pengertian diatas bangsa-bangsa merupakan
golongan yang beraneka ragam yang membuat mereka berbeda dari bangsa lain
misal, perbedaan bahasa daerah,perbedaan adat istiadat, tradis, agama,dll.
Sedangkan pengertian
Nasionalitas merupakan asas kebangsaan yang dibentuk atas dasar paham
nasionalisme lebih menekankan kemauan untuk hidup bersama dalam negara
kebangsaan, Menurut Fishman, nasionalitas adalah sekelompok orang yang merasa sebagai
sebagai suatu satuan nasional yang berbeda dari kelompok lain, tetapi tidak
didasarkan atas ukuran wilayah. Nasionalitas harus dibedakan dari istilah
kelompok etnis.
Menurut Hans Kohn (1968) menyatakan
bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan
tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan, maka proses ke
arah terwujudnya suatu kesadaran tiap-tiap individu untuk setia pada negara
bangsa. Tetapi proses terbentuknya negara kebangsaan tidaklah mudah. Dalam
sejarah bangsa-bangsa ternyata banyak faktor yang menentukan, sebagai contoh
proses terbentuknya ‘kesadaran nasional’ Bangsa Perancis dan negara bangsa
Perancis memakan waktu yang berabad-abad.
Otto Bouwer
mengungkapkan bahwa perasaan kebangsaan kebangsaan timbul karena persamaan
perangai dan tingkah laku dalam memperjuangkan perssatuan dan nasib bersama.
Jadi dapat disimpulkan dari pengertian diatas
bahwa Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan
tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan dan perasaan yang
sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya,
dengan tradisi-tradisi setempat.
- Latar Belakang Munculnya Nasionalisme
Ada dugaan kuat bahwa
Nasionalisme modern muncul untuk pertama kalinya di Inggris abad ke 17 yang
ditandai dengan ‘The Glorious Revolution’
tahun 1689 di mana parlemen berhasil memaksakan Bilt of Rights kepada Raja (Carlon Hayes, 1958:591 dalam Sutarjo
Adisusilo hal 101). Dengan ditandatanganinya Bilt of Rights oleh Raja Wilem III
dan Marry II maka Parlemen menganggap dirinya sebagai wakil seluruh rakyat
Inggris juga memutus hubungan gerejaninya dengan Sri Paus selaku pimpinan
tertinggi gereja Katolik seluruh dunia yang berkedudukan di Roma. Dari Inggris
Nasionalisme kemudian berkembang di Amerika Utara abad ke-18 dan ke Eropa
daratan abad ke-18 dan 19 dengan ditandainya Revolusi Industri dan Revolusi Perancis.
Salah satu pilar perkembangan
Nasionalisme di Eropa abad ke 18 adalah ketika kaum nasionalis Perancis
melancarkan Revolusi tahun 1789. Sejak Revolusi Perancis itu nasionalisme
mewabah ke seluruh Eropa bahkan seluruh dunia. Pemikiran awal nasionalis
Perancis abad ke-18 yang bersemboyan liberte, equalite, dan fraternite yang dua
abad kemudian oleh Charles de Gaulle diberi wujud baru dengan I’honner
(kehormatan), grandeur (keagungan) dan gloire (kemuliaan) bagi bangsa dan
negara (Alexander Werth, 1965; Louis Snyder, 1964; dan Hansen, 1969).
Sampai dekade tahun
1500 yang namanya bangsa Perancis belum ada, kalau ada nama Perancis maka itu
nama geografi dan bukan nama kebangsaan Perancis (Van der Meulen,1974:74).
Satu-satunya golongan yang bersifat orang Perancis adalah Raja dan para
pembantunya yang terdekat dalam pemerintahan pusat. Abad ke-16 sampai 17
terjadi perkembangan yang mengarah semakin terwujudnya “Bangsa dan Negara”
Perancis. Dalam dua bad itu terjadi suatu periode sentralisasi kekuasaan Raja, yang
akan menjadi unsur penting bagi munculnya negara bangsa di kemudian hari. Ada
beberapa sebab mengapa dapat ditarik kesimpulan bahwa terwujudnya negara
kebangsaan diawali oleh proses sentralisasi kekuasaan ditangan Raja.
Pertama,
dalam
bidang kenegaraan (politik) sentralisasi itu melemahkan kekuatan kaum feodal,
kekuasaannya Raja sampai kepada rakyat dan mereka menjadi insyaf bahwa mereka
merupakan kesatuan besar yang mempunyai nasib yang sama. Kedua, dalam bidang administrasi dimana secara umum mulai dipakai
bahasa dari pusat sehingga minimal rakyat mesti mengetahui secara pasti agar
peraturan raja bisa mereka baca dan laksanakan. Ketiga, Raja menaruh perhatian dan ikut campur dalam menentukan
kemajuan ekonomi negara dengan memberikan dukungan kepada pertanian, industri,
dan perdagangan (merkantilisme). Dengan demikian Raja
telah memaksa rakyat untuk sadar akan hak-hak dasarnya dalam penderitaan yang
tak tertahankan. Ketidakpuasan meluas disemua lapisan masyarakat. Kaum
bangsawan dan Rohaniwan mendapat berbagai fasilitas termasuk tidak membayar
pajak. Mereka memelopori perjuangan demi kepentingan kaum borjuis sedangkan
petani ingin sisa-sisa feodalisme disingkirkan.
Kemudian munculnya
nasionalisme Timur seperti di kawasan Asia dan Afrika dilatar belakangi oleh
perlakuan diskriminatif yang menimbulkan perasaan senasib dan sependeritaan,
munculnya golongan terpelajar yang memiliki pola pikir dan etos juang yang
tinggi sehingga ingin membebaskan diri dari penjajahan yang disadari tidak
hanya di capai melalui perjuangan fisik tapi juga harus melalui kancah politik.
Lalu adanya semangat persamaan derajat sebagai bentuk kesadaran akan harga diri
sebagai suatu bangsa yang ingin hidup bebas, merdeka seperti bangsa-bangsa
lain. Serta berkembangnya komunikasi yang memudahkan terjalinnya suatu hubungan
masyarakat, sehingga informasi-informasi semakin cepat diketahui.
- Sejarah Nasionalisme Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Nasionalisme
Indonesia yang dalam perkembanganya mencapai titik puncak setelah Perang Dunia
ke II yaitu dengan di prolkamasikannya kemerdekaan Indonesia berarti
pembentukan nation Indonesia berlangsung melalui proses sejarah yang panjang.
Timbulnya nasionalisme Indonesia mempunyai kaitan erat dengan kolonialisme
Belanda yang sudah beberapa abad lamanya berkuasa di Indonesia. Usaha untuk
menolak kolonialisme inilah yang merupakan manifestasi dari penderitaan dan
tekanan disebut nasionalisme Indonesia. Tahun 1799 pemerintah hindia belanda
mengeksploitasi ekonomi dan penetrasi politik sampai pada tahun 1830 dengan
memperkenalkan sistem administrasi dan birokrasi ”sewa tanah” tetapi mengalami
kegagalan. Kemudian diganti dengan sistem tanam paksa yang mengintensifkan
sistem tradisisonal yang terdapat dalam ikatan feodal, ini terjadi pada
pertengahan abad XIX. Kemudian pada awal abad XX menggantinya dengan “politik
balas budi atau politik etis.” Dalam politik etis terdapat usaha memajukan
pengajaran bagi anak-anak indonesia. Sehingga memunculkan beberapa respons yang
positif dari generasi bangsa Indonesia, diantaranya:
a.
Budi Utomo
Secara
historis, semangat nasionalisme Indonesia sudah mulai terasa sejak berdirinya
Boedi Oetomo yang merupakan keprihatinan dr. Wahiddn sudiro husodo yang
dikembangkan oleh Sutomo mahasiswa Stovia serta rekan-rekannya untuk mendirikan
Budi Utomo di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908, ini menampilkan fase pertama
dari Nasionalisme Indonesia dan menunjuk pada etno nasionalisme dan proses
penyadaran diri terhadap identitas diri Bangsa Indonesia.
b.
Sarekat Islam
Sarekat islam
adalah organisasi yang bertujuan menghidupakan kegiatan ekonomi pedagang islam
jawa yang diikat dengan agama yang pengaruhnya jauh lebih besar dari pada Boedi
Oetomo, namun berkembang menjadi gerakan nasionalisme.. Didirikan pada tahun
1912 oleh H. Samanhudi. Dalam waktu kurang dari satu tahun SI menjadi
organisasi raksasa yang mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda menjadi resah
akan keberadaannya.
Sarekat Islam
mengalami percepatan kemajuan yang merata hampir di seluruh Indonesia. Akan
tetapi, sifat keterbukaan organisasi ini telah memicu terjadinya perpecahan di
tubuh SI sehingga lahirlah “SI Putih” dan “SI Merah”. Jika “SI Putih” tetap
mengutamakan ideologi islam dan Pan-Islamisme sebagai landasan untuk
mempersatukan bangsa maka “SI Merah” di bawah pimpinan Semaun, Darso, dn Tan
Mlaka memiliki kecenderungan yang berbeda.Golongan kiri dalam SI inilah yang
akhirnya menjadi cikal-bakal lahirnya partai komunis Indonesia (23 Mei 1920),
dalam hal yang menyangkut dasar partai, PKI berpegang teguh prinsip sosialisme,
internasionalisme,dan menganggap nasionalisme. Sebagai musuh utama. Oleh karena
itu, dalam konperensi SI (Maret 1921), Fahrudin-wakil ketua Muhammadiyah
mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak mungkin berhasil
jika tetap bekerja sama dengan golongan komunis.
c.
Partai Nasional
Indonesia (PNI)
Sejarah
mencatat bahwa PKI berhasil menempatkan diri sebagai partai terbesar sehingga
mendorongnya melakukan pemberontakan kepada pemerintah Belanda pada 13 November
1926. Pemberontakan PKI ini telah meyebabkan banyak tokoh pergerakan nasional
harus dibuang ke Tanah Merah, Digul Atas, dan Irian Jaya.
Sesudah PKI
dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah Belanda, Soekarno merasakan
perlunya bangsa Indonesia memiliki partai sebagai wadah baru yang mampu menampung
gerakan “nasionalisme modern” yang radikal. Pada 4 Juli 1927, lahirlah Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang diawali oleh berdirinya Algeemene Study Club
(1925). Ideologi partai ini adalah nasionalisme radikal, sebagaimana tuisan
Soekarno dalam Nasionalisme, Islamisme, dan marxisme (1926). Tulisan
tersebut merupakan respons Soekarno atau tulisan H.O.S Tjokroaminoto tentang Islam
dan Sosialisme. Ketiga kekutan ideologi tersebut, yakni Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme, merupakan landasan pergerakan nasional secara garis
besar, dan oleh Soekarno dianggap sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia.
Ketiga tersebut kemudian terkenal dengan singkatan NASAKOM.
d.
Indische Partij
IP adalah
organisasi campuran yang menginginkan kerjasama orang Indo dengan orang Bumiputra.
Organisasi ini didirikan oleh E.F.E Douwes Dekker alias setyabudi di Bandung
pada tanggal 25 Desember 1912. Oganisasi ini melalui kesatuan aksi dpat
mengubah sistem yang berlaku dengan antitesis antara penjajah dan terjajah.
e.
Muhammadiyah
Agama Islam
adalah lambang persatuan rakyat, makadari itu K.H. Ahmad Dahlan di yogajakarta
pada 18 November 1912 menjadikan Muhammadiah sebagai organisasi yang
bertumpu pada cita-cita agama dengan aliran modernis islam dan
memperbaiki agama bagi umat islam Indonesia. Organisasi ini melakukan perbaikan
melalui 3 bidang yaitu, keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan. Pembaharuan
pada bidang keagamaan adalah memurnika dan mengembalikan sesui pada aslinya
(Al-Qur’an dan Sunnah). Pembaharuan pada bidang pendidikan mencakup perbaikan
dan pembentukan muslim yang berbudi, alim, luas pengetahuan dan faham masalah
ilmu dunia dan masyarakat dengan sistem pendidikan yang menggabungkan cara
tradisional dan cara modern. Perbaikan pada bidang kemasyarakatan dengan
mendirikan rumahsakit, poliklinik, rumah yatim piatu yang dikelola oleh
lembaga. Pada tahun 1923 berdirilah Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) yang
merupakan bentuk kepedulian sosial dan tolong menolong sesama muslim.
Di samping
organisasi politik terdapat pergerakan keagamaan bersifat nasionalisme seperti
Muhammadiyah di Jogjakarta pada 18 November 1912 yang didirikan oleh KH. Ahmad
Dahlan dengan tujuan memajukan pendidikan berdasarkan agama Islam dengan
mendirikan sekolah-sekolah agama, masjid, langgar, dan rumah sakit. Setelah itu
lahir Nahdhatul Ulama di Surabaya pada 31 Januari 1926, organisasi ini
merupakan respon atas maraknya semangat nasionalisme dan respon terhadap
kebijakan dan langkah SI dan Muhammadiyah yang tidak mengikutsertakan golongan
tradsional dalam konggres Islam sedunia di Kairo.
f.
Kelompok
Katolik lahir Indiche katholieke Partij (IKP)
Pada November
1918 yang bertujuan memajukan bangsa berdasarkan agama katolik. Pada Setember
1917 lahir Christelijke Ethische Partij (CEP) yang bertujuan menjadikan agama Kristen
sebagai dasar dalam menyusun negara dan memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda. Pada 22 februari 1925, berdiri dari umat Nasrani Partai
Katolik Djawi di Djogjakarta, partai ini terbuka untuk semua Golongan tidak
dibatasi dari orang Jawa saja dengan menjadikan bahasa Melayu, sebagai bahasa
resmi partai.
g.
Nahdlotul
Ulama’
Berdiri pada
tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, sebagai organisasi sosial keagamaan yang
didirikan oleh para ulama’, pemegang teguh salah satu dari 4 madzhab, berhaluan
Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah, bertujuan mengembangkan dan mengamalkan ajarang islam
serta memperhatikan maslah sosial, ekonomi, dan sebagainya dalam rangka
pengabdian kepada umat manusia. Pusat-pusat NU ada di Surabaya, Kediri,
Bojonegoro, Bondowoso, Kudus.
h.
Perhimpunan
Indonesia
Dipimpin oleh
Iwa Kusuma Sumantri, J.B.Sitanala, Moh. Hatta, Sastra Mulyono, D. Mangun
Kusumo, dan Majalah “Indonesia Merdeka”. PI bertujuan menyadarkan para
mahasiswa agar mempunyai komitmen yang bulat tentang persatuan dan kemerdekaan
indonesia sebagai Elite Intelektual dan Prfesional harus bertanggung jawab
untuk memimpin rakyat melawan penjajah, membuka mata rakyat belanda bahwa
pemerintah kolonial sangat opresif dan meyakinkan rakyat Indonesia tentang
kebenaran perjuangan kaum Nasionalis, mengembangkan Edeologi yang bebas dan
kuat diluar pembatasan Islam dan komunisme. Empat pikiran pokok PI tahun 1965
yaitu: kesatuan Nasional, solidaritas, Non koperasi, dan suadaya.
i.
Kongres pemuda
dan Sumpah pemuda
Para pelajar
dan mahasiswa dan beberapa organisasi bergabung dalam PPPI (Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia) pada tahun 1926 dan melakukan kongres pemuda Perdana
pada bulan mei 1926 dengan mengesampingkan perbedaan sempit berdasarkan daerah
dan menciptakan kesatuan seluruh bangsa Indonesia. Kongres pemuda kedua tanggal
26-28 Oktober 1928 yang dihadiri oleh sembilan organisasi pemuda beserta
sejumlah tokoh politik. Diantaranya Soekarno, Sartono, dan Sumaryo. Ini
merupakan puncak ideologi integrasi Nasional dan peristiwa Nasional yang belum
pernah terjadi terbukti dengan pengucapan sumpah setia dengan bunyi sebagai
berikut:
- Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa pemersatu, bahasa indonesia.
Dalam penutupan
kongres di kumandangkan lagu Indonesia Raya untuk mengiringi pengibaran bendera
merah putih. Tiga sumpah diatas mengandung tiga pengertian yang merupakan
kesatuan yaitu pengertian wilayah, bangsa yang merupakan massa dan bahasa
sebagai alat komunikasi yang homogen. Kesatuan dalam pluralisme sosial-budaya
itulah yang menjadi cita-cita Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda memang tidak identik
dengan nasionalisme, tetapi mengintegrasikan potensi bangsa, yang berarti pula
sejalan dengan hakikat nasionalisme sebagai faktor integratif bagi berbagai
potensi kultural masyarakat.
j.
Partai
Indonesia
Pada tanggal 1
mei 1931 pendirian PARTINDO di bawah pimpinan Sartono adalah lanjutan PNI yang telah
dibubarkan, dengan tujuan mencapai satu negara Republik Indonesia Merdeka dan
kemerdekaan akan tercapai jika ada persatuan seluruh bangsa Indonesia. PARTINDO
adalah partai politik yang menghendaki kemerdekaan Indonesia yang didasarkan
atas prinsip menentukan nasib sendiri, kebangsaan, menolong diri sendiri, dan
demokrasi.
k.
Organisasi
pemuda dan kepanduan
Kaderisasi
pemimpin yang dibutuhkan oleh negara denganciri Regionalisme sebagai
perkumpulan kedaerahan yang terjun kelapangan sosial politik. Trikoro Darmo
didirikan tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta oleh dr. R. Satiman Wiryo Sanjoyo,
Kaderman, dan Sunardi serta beberapa pemuda lainnya yang mempunyai cita-cita
cinta tanah air, memperluas persaudaraan dan mengembangkan kebudayaan Jawa.
Tapi pada tahun 1915 berubah menjadi Jong Java yang orientasinya lebih luas
mencakup Jaya Raya, Milisi, dan pergerakan rakyat pada umumnya. Sedangkan pda
ahir tahun 1928 Jong Java dibubarkan dan diganti dengan Indonesia Muda dengan
maksud menempuh orientasi Nasionalis yang sebenarnya.
Pada tahun 1927
di Bandung, didirikan pemuda Indonesia. Pada 9 Desember 1917 di Jakarta
didirikan Jong Sumatranen Bond dengan tujuan memperkokoh ikatan sesama murid
Sumatra dan mengembangkan kebudayaan Sumatra. Tahun 1918 didirikan Jong
Minahasa dan Jong celebes. Keinginan bersatu dari berbagai organisasi kepanduan
adalah refleksi dari keinginan untuk bersatu guna merealisasikan perasaan
kebangsaan, bukan hanya dikalangan pemuda dan organisasi politik, tetapi juga
tampak terang dikalangan kepanduan.
Era pergerakan
Nasional lahir juga organisasi kedaerahan seperti pasundan (1920), srikat
Sumatra (1918), perkumpulan orang Ambon, perkumpulan orang Minahasa (Agustus
1912), perkumpulan kaum Betawi (1 Januari 1923). Dikalangan pemuda lahir
organisasi para pemuda seperti: Jong Java (7 Maret 1915), Jong Sumatren bond (9
Desember 1917), Jong Mina Hasa (1918), Jong Ambon, Jong Cebelles, Jong
Islamieten Bond, dan Perhimpunan Indonesia tahun 1922 di Belanda. Jadi, masa Nasionalis Indonesia
tumbuh dari perasaan senasib dan sependeritaan akibat penjajahan. Walaupun dari
suku, agama, dan ras yang majemuk tetapi satu bangsa dan berusaha membebaskan
diri dari penderitaan tersebut dengan cita-cita mewujudkan masa depan yang
lebih baik.
- Sejarah Nasionalisme Indonesia Sesudah Kemerdekaan
Nasionalisme
pada masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan secara umum dibentuk dengan
cara menciptakan suatu common enemy yakni musuh bersama bagi bangsa
Indonesia. Dengan hal tersebut maka rasa memiliki bangsa Indonesia yang
ingin menjaga negaranya dari musuh yag ingin memeceah kesatuan Republik
Indonesia akan terpupuk dan menjadikan semangat nasionalisme. Bung Karno
memaknai musuh bersama bangsa Indonesia adalah kolonialisme dan
neo-kolonialisme. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia bentuk gerakan nasionalisme adalah
dalam wujud perlawanan fisik dan upaya diplomasi bangsa Indonesia dalam upaya
untuk mempertahankan kedaulatan RI.
Adapun
bentuk-bentuk dari wujud nasionalisme rakyat Indonesia yaitu: Peristiwa
pertempuran tanggal 10 November 1945 di Surabaya, peristiwa Bandung Lautan Api,
Palagan Ambarawa, Konferensi Linggar Jati, Konferensi Renville, serta KMB.
Termasuk di dalamnya upaya penanggulangan pemberontakan dari dalm negeri
seperti: DI/ TII, PRRI/ Permesta, RMS baik Belanda maupun para pemberontak
adalah sama-sama musuh bersama bangsa Indonesia yang harus dilawan demi
menegakkan kedaulatan negera RI. Pada tahun 1963, Soekarno menentang
pembentukan Negara Federasi Malaysia karena menganggap itu sebagai proyrk
neo-kolonialisme Inggris yang dapat membahayakan revolusi Indonesia yang belum
selesai. Maka pada saat itu bangsa Indonesia di kondisikan untuk kemudian menganggap
Malaysia sebagai musuh bersama bangsa Indonesia dan harus dilawan, yang
kemudian melahirkan ultimatum Ganyang Malaysia. Tahun 1966, gerakan
nasionalisme Indonesia dimanifestasikan dengan menciptakan musuh bersama PLI
dan Orla.
Dalam era
Reformasi 1998-2003, gerakan nasionalisme menampakkan wujudnya dalam wajah yang
baru dan berbeda dari model nasionalisme pada masa rezim Soekarno yakni dalam
bentuk perlawanan terhadap represi politik rezim yang berkuasa dan dalam
perlawanan daerah terhadap pusat. Tragedi 12 Mei 1998 terjadi penembakan
mahasiswa Trisakti, dan 1 Januari 2001 saat diberlakukannya OTODA merupakan
momentum puncak dari gerakan nasionalisme pada masa transisi menuju demokrasi
di Indonesia. Ada beberapa masa nasionalisme yang dialami Indonesia setelah kemerdekaan,
diantaranya:
a.
Nasionalisme
kaum muda pasca kemerdekaan 1945
Gerakan
mahasiswa angkatan 1998 orde reformasi adalah penggugatan atas penyelewengan
pemerintahan dan penguasa dalam mengatur negara. Gerakan mahasiswa tahun 1996
organisasi mahasiswa berorientasi politik berafiliasi dengan partai politik
tertentu dan para aktifisnya memiliki hubungan emosional dan historis dengan
para elit politik nasional, ini terlepas dari gejala yang muncul sejak zaman
sistem demokrasi liberal atau sistem demokrasi parlementer ditahun 1950-1959.
Dekrit presiden 1959 dibawah pemerintahan Soekarno pada masa sistem demokrasi terpimpin.
Kesatuan aksi mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1965 untuk
melancarkan perlawanan terhadap kekuatan PKI dan antek-anteknya sampai
puncaknya runtuh pada rezim Soekarno sebagai orde lama. Tahun 1973 kembali
terjadi aksi mahasiswa, keraguan akan strategi pembangunan orde baru dan
berlanjut dengan peristiwa Malari tahun 1974 dengan isu anti monopoli produksi
Jepang.
Gerakan
mahasiswa di era 1980-an memunculkan isu lokal sebagai akibat ketidak adilan
dalam pembangunan terhadap rakyat yang diangkat ke permukaan sebagai isu
nasional yang bersifat sporadis dan fragmentaris. Nilai perjuangan pada angkatan
1998 dalam simpul perubahan sejarah politik negara, nilai-nilai perjuangan yang
diangkat lebih kepada isu konkrit berkaitan dengan penyimpangan dan
penyelewengan penyelenggara pemerintah serta pembangunan yang dirasakan
masyarakatdengan tidak bersistem.
b.
Nasionalisme
kaum muda di Indonesia era reformasi
Peran mahasiswa
sebagai ujung tombak muncul belakangan sebelum gerakan moral yang dilakukan
mahasiswa telah terjadi sebelumnya seperti gerakan mahasiswa tahun 1971 (aksi
penolakan TMII), 1974 peristiwa Malari (aksi penolakan monopoli Jepang), aksi
1978 (protes atas sidang MPR). Akan tetapi gerakan perubahan sosial oleh
angkatan 1998 membuktikan reformasi mengalami mati suri. Keberadaan KAMMI
mengingatkan kita dengan peran HMI pada tahun 1966 saat runtuhnya rezim orde
lama dan tampilnya pemerintahan orde baru, dimana tokoh mahasiswa HMI masuk
dalam dalam gerbong pemerintahan baru sebagai sub ordinasi kekuasaan Suharto.
c.
Penegakan hukum
dan HAM sebagai realitas simbolik
Penegakan hukum
di Indonesia saat ini baru sebatas slogan belaka dan belum dilaksanakan
secara optimal. Penyebab utamanya adalah karena pejabat dan aparat penegak
hukum masih terdiri dari orang-orang lama yang mereka sendiri belum bersih dan
juga oarang-orang yang bermasalah. Penegakan hukum semestinya dimulai dari
pucuk pimpinannya dan dari aparat yang bersentuhan langsung dengan persoalan
tersebut. Berkaitan dengan pelanggaran hukum dalam kehidupan sehari-hari (legalisasi
perjudian), seorang muslim yang menjadi pejabat negara harus memiliki sikap
untuk mendahulukan kepentingan masyarakat secara umum. Seorang pemimpin harus
mempunyai ketegasan dalam menjalankan kaidah hukum tanpa pandang bulu. Oleh
karena itu, penegakan hukum dan HAM tidak boleh menjadi realitas simbolik
belaka. Dan untuk menjamin semua itu posisi hukum menjadi sangat penting.
d.
Sparatisme
dengan topeng agama
Subjek
penelitian berpendapat bahwa konflik Aceh bukanlah konflik agama melainkan
murni termotifasi kepentingan politik dengan topeng agama, yakni konflik
vertikal anatara GAM yang ingin memisahkan Aceh dari pangkuan NKRI. Apalagi
Aceh sudah menjadi sebuah daerah yang istimewa yang bernama Nangrue Aceh Darussalam,
dimana aturan hkum, sosial dan budaya diupayakan sangat Islami. Dan itu adalah
bentuk pemberian hak yang sangat istimewa karena tidak diberikan kepada
daerah-daerah lain.
Dengan adanya
gerakan sparatisme yang ada di sana tentu sangat mengganggu mantapnya
nasionalisme Indonesia. Dan untuk menyelesaikan kasus sparatis yang ada di Aceh
perlu melakukan dialog dan akomodasi politik anatra kedua belah pihak dengan
tujuan agar kepentingan Indonesia dan kepentingan GAM bisa mendekati titik temu
yang akan melenjutkan solusi konflik di sana. Para Ulama berpendapat bahwa GAM
memang ingin merdeka dan ingin menjadikan Aceh sebagai negara Islam dengan
dasar Amar ma’ruf nahi munkar. Akan tetapi, dalam pandangan para Ulama hal itu
tidak perlu dilakukan dengan cara memberontak dan menebarkan kerusakan.
e.
Demokrasi,
civil society dan pluralitas: civilian politics yang masih tertunda
Banyak pihak
memyamakan istilah civil society dengan masyarakt madani. Akan tetapi dala
prespektif para Ulama menggunaka istilah masyarakat mutammidin daripapada
menyebut masyarakat madani, karena mereka berargumen bahwa terjemahan yang
benar dari civil society adalah kosa kata tersebut (masyarakat tamadun). Adapun wacana pluralitas,
mendasarkan pandangannya pada pernyataan al-Qur’an bahwa Tuhan telah
menciptakan manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Perbedaan antar
komunitas tersebut bukan untuk saling merugikan melainkan agar perbedaan
tersebut bisa menjadi potensi untuk merealisasikan kebijakan.
Sedangkan
wacana demokrasi para Ulama sepakat bahwa padananterm demokrasi dalam Islam
adalah kosa kata musyawarah. Mereka mengimplementasikan teknis demokrasi dalam
proses pemilihan seorang pemimpin. Dengan demikian, yang paling penting dari
masalah demokrasi adalah adanya keseimbangan antara kedaulatan rakyat dan
kedaulatan negara. Oleh karena itu diharapkan agar semua pemimpin pemerintahan
dan masyarakat segera meluruskan ulang masalh visi kebangsaan, konsepsi
kewarganegaraan dan penciptaan keadilan sosial secara serius dan lebih transparan
dalam prespektif civilian politics.
f.
Tantangan
global dan kepemimpinan kaum muda
Nasionalisme
lama cenderung bercorak emosional, tidak rasional, sloganistik, heroik, reaktif
dan konfrotatif. Nasionalisme baru lebih bercorak realistis, mengedepankan pertimbangan
rasional, bersifat komprehensif, solutif, menomorsatukan aspek kualitas sumber
daya manusia, dan kemampuan untuk berkompetisi, khususnya di arena global di
tengah derasnya arus globalisasi dunia. Tantangan inilah yang sedang dihadapi
pemuda Indonesia baik tantangan eksternal maupun tantangan internal. Tantangan
eksternal diantaranya kecenderungan pengaruh negatif ideologi global bagi
kalangan muda terpelajar yang cenderung menjadi birokratis dan menjadi sekrup
ideologi penjajah yang menindas bangsanya sendiri. Isu HAM, demokratisasi,
kebebasan, keterbukaan dan pasar bebas sebagai wujud keinginan perubahan dalam
masyarakat, harus disikapi secara kritis, responsif dan antisispasi dengan
kemampuan kita memilih dan memilah.
Dalam
menghadapi pengaruh global (politik barat) yang tidak semuanya positif, kita
harus mempunyai nilai-nilai unggulan budaya yang menjadi perhatian untuk
dikembangkan yakni nilai-nilai budaya bangsa yang positif bukan yang negatif
termasuk juga dalam menyerap nilai-nilai budaya dari luar sebagai kenyataan
dari prises globalisasi budaya bangsa yang terus berlangsung dengan perubahan
yang begitu cepat dan sangat bervariasi serta kecenderungan terjadinya
disorientasi terhadap budaya bangsa suatu negara. Tantangan internal idealisme masyarakat
Indonesia terkini, mengenai fenomena dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi
karena sulit meraih kesempatan hiduo yang lebih layak pada berbagai aspek
termasuk mendapatkan pendidikan yang baik, masalah kemiskinan bangsa Indonesia,
tekanan budaya yang hedonis, materialisme dan pragmatis mengakibatkan kaum muda
kita untuk mencari jalan keluar dengan cara pola hidup jalan pintas, menganut
budaya tisu dan meraih kenikmatan hidup yang fatamorgana. Melihat kondisi
seperti itu maka posisi dan peran pemuda menghadapi globalisasi adalah dengan
tiga cara:
1)
Pemahamn yang
baik dan benar akan hakekat dan makna globalisasi, berikut manfaat dan
mudharatnya. Dengan ini diharapkan pemuda dapat mengetahui dimana dan bagaimana
memposisikan diri serta perannya sebagai generasi masa depan bangsa secara
tepat.
2)
Kepandaian dan
kecerdasan pemuda dalam menyikapi dan memerankan diri ditengah arus globalisasi
yang diharapkan dengan pemahaman yang baik serta mendalam, muncul pola sikap
dan kebijakan yang tepat ketika merespon ekses-eksesnya.
3)
Faktor
kemampuan pemuda untuk memperkuat jaringan kerjasama yang saling menguntungkan
serta sinergitas dengan berbagai komponen strategis dalam globalisasi, khusus
dengan kalangan elemen pemuda dunia dari berbagai mancanegara baik di tingkat
regional maupun internasional untuk bersama-sama merumuskan dan
mengimplementasikan agenda bersama.
- Perkembangan Nasionalisme Di Dunia
Nasionalisme
yang muncul di Eropa berbeda dengan nasionalisme yang muncul di Asia sebab
Nasionalisme di Asia muncul sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan
imperialisme bangsa Eropa. Mereka menumbuhkan nasionalisme untuk melawan
penjajahan.
a.
Abad ke 17, Pada abad ke-17 muncul
nasionalisme di Inggris yang diikuti dengan munculnya nasionalisme di Amerika
dan Perancis pada abad ke-18.
b.
Abad ke 19, Pada pertengahan abad ke-19
nasionalisme semakin berkembang di Eropa dari nasionalisme yang awalnya
bersifat kemanusiaan berubah menjadi agresif dan memusuhi bangsa lain. Sejak
itu muncullah negara-negara yang berusaha melakukan imperialisme dan
kolonialisme. Nasionalisme Eropa terjadi pada masa transisi dari masyarakat
feodal ke masyarakat industri yang menghasilkan paham kapitalisme dan
liberalisme.
Bangsa Eropa pertama kali sampai di
Asia Tenggara pada abad keenam belas. Ketertarikan di bidang perdaganganlah
yang umumnya membawa bangsa Eropa ke Asia Tenggara, sementara para misionaris
turut serta dalam kapal-kapal dagang dengan harapan untuk menyebarkan agama
Kristen ke wilayah ini. Portugis adalah kekuatan Eropa pertama yang membuka akses
jalur perdagangan yang sangat menguntungkan ke Asia Tenggara tersebut, dengan
cara menaklukkan Kesultanan Malaka pada tahun 1151. Belanda dan Spanyol
mengikutinya dan segera saja mengatasi Portugis sebagai kekuatan-kekuatan
European utama di wilayah Asia Tenggara. Belanda mengambil-alih Malaka dari
Portugis di tahun 1641, sedangkan Spanyol mulai mengkolonisasi Filipina (sesuai
nama raja Phillip II dari Spanyol) sejak tahun 1560-an.
Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur yang bertindak atas nama
Belanda, mendirikan kota Batavia (sekarang Jakarta) sebagai pusat perdagangan
dan ekspansi ke daerah-daerah lainnya di pulau Jawa, serta wilayah sekitarnya.
Inggris, yang diwakili oleh British East India Company, secara relatif datang
ke wilayah ini lebih kemudian. Diawali dengan Penang, Inggris mulai
memperluaskan kerajaan mereka di Asia Tenggara. Mereka juga menguasai
wilayah-wilayah Belanda selama Perang Napoleon. Di tahun 1819, Stamford Raffles
mendirikanSingapura sebagai pusat perdagangan Inggris dalam rangka persaingan
mereka dengan Belanda. Meskipun demikian, persaingan tersebut mereda di tahun
1824 ketika dikeluarkannya traktat Anglo-Dutch yang memperjelas batas-batas
kekuasaan mereka di Asia Tenggara. Sejak tahun 1850-an dan seterusnya, mulailah
terjadi peningkatan kecepatan kolonisasi di Asia Tenggara. Kejadian ini, yang
disebut juga dengan nama Imperialisme Baru, memperlihatkan terjadinya
penaklukan atas hampir seluruh wilayah di Asia Tenggara, yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan
kolonial Eropa. VOC dan East India Company masing-masing dibubarkan oleh
pemerintah Belanda dan pemerintah Inggris, yang kemudian mengambil-alih secara
langsung administrasi wilayah jajahan mereka.
Hanya Thailand saja yang terlepas
dari pengalaman penjajahan asing, meskipun Thailand juga sangat terpengaruh
oleh politik kekuasaan dari kekuatan-kekuatan Barat yang ada. Tahun 1913,
Inggris telah berhasil menduduki Burma, Malaya dan wilayah-wilayah Borneo,
Perancis menguasai Indocina, Belanda memerintah Hindia Belanda, Amerika Serikat
mengambil Filipina dari Spanyol, sementara Portugis masih berhasil memiliki
Timor Timur. Penguasaan kolonial memberikan dampak yang nyata terhadap Asia
Tenggara. Kekuatan-kekuatan kolonial memang memperoleh keuntungan yang besar
dari sumber daya alam dan dan pasar Asia Tenggara yang besar, akan tetapi
mereka juga mengembangkan wilayah ini dengan tingkat pengembangan yang
berbeda-beda.
Perdagangan hasil pertanian,
pertambangan dan ekonomi berbasis eksport berkembang dengan cepat dalam periode
ini. Peningkatan permintaan tenaga kerja menghasilkan imigrasi besar-besaran,
terutama dari India dan China, sehingga terjadilah perubahan demografis yang
cukup besar. Munculnya lembaga-lembaga negara bangsa modern seperti birokrasi
pemerintahan, pengadilan, media cetak, dan juga pendidikan modern (dalam
lingkup yang terbatas}, turut menaburkan benih-benih kebangkitan grakan-gerakan
nasionalisme di wilayah-wilayah jajahan tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2012. Perkembangan Nasionalisme Di Indonesia.
[serial online]
http://amrikhan.wordpress.com/2012/12/03/perkembangan-nasionalis-di-indonesia/. [diakses pada tanggal 1 November
2014]
Anonim. 2012. Nasionalisme Dunia. [serial online]
Maschan Moesa, Ali. 2007. Nasionalisme Kyai.
Jogjakarta: LKIS.
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan
Nasional. Jogjakarta: Pustaka pelajar.
Terima kasih banyak atas informasi nya, Sangat membantu artikel nya. Teruslah sebar kebaikan dijalan allah swt.. jangan lupa share and kunjungi juga website mp3 kami di http://daftarmp3.exnaid.com semoga sukses slalu ya gan.
BalasHapus